OLEH : NASHRUL MU’MININ, MAHASISWA UNIVESITAS COKROAMINOTO YOGYAKARTA

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah didesak untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah, khususnya mengenai ambang batas pencalonan oleh partai politik dan titik penghitungan usia calon kepala daerah.

Pasalnya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak hanya bagi pemohon, tetapi juga bagi pihak lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden).

Pembangkangan terhadap putusan MK dapat memicu terjadinya krisis konstitusional, yang pada akhirnya akan berdampak pada legitimasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) itu sendiri.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, menyatakan bahwa konstitusi mendesain MK sebagai puncak penyelesaian sengketa norma. Dalam konteks pengujian undang-undang, pemohon adalah pihak yang menyengketakan suatu norma yang dianggap merugikan dirinya. MK kemudian menjatuhkan putusan yang final dan mengikat semua pihak, termasuk pembentuk undang-undang.

DPR seharusnya memahami hal tersebut mengingat MK telah berusia 21 tahun. Artinya, DPR sudah seharusnya memahami bahwa apa yang sudah dibatalkan oleh MK tidak dapat dihidupkan kembali, sebab itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip konstitusionalisme.

Saya sebagai gerakan mahasiswa yang aktif memperjuangkan demokratisasi dan supremasi hukum, kami sangat prihatin dengan sikap DPR dan Pemerintah yang belum sepenuhnya memahami dan mematuhi putusan MK terkait syarat pencalonan kepala daerah.

Kami meyakini bahwa menegakkan supremasi hukum dan menghormati putusan lembaga peradilan, khususnya MK, merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya demokrasi yang sesungguhnya. MK sebagai “puncak penyelesaian sengketa norma” harus ditempatkan pada posisi yang terhormat dan strategis dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Namun, sikap DPR dan Pemerintah yang seolah-olah “membangkang” putusan MK terkait syarat pencalonan kepala daerah, menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya memahami dan menghayati peran vital MK dalam menjaga stabilitas konstitusional.

Kami, sebagai gerakan mahasiswa, memandang bahwa tindakan DPR  dan Pemerintah yang mengabaikan putusan MK ini merupakan pengingkaran terhadap spirit konstitusionalisme dan dapat berimplikasi buruk pada legitimasi Pilkada itu sendiri. Jika putusan MK diabaikan, maka integritas dan kredibilitas Pilkada akan dipertaruhkan, yang pada akhirnya akan mencederai demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, kami sebagai gerakan mahasiswa, menyerukan kepada DPR dan Pemerintah untuk segera mematuhi dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah. Tidak ada alasan bagi mereka untuk “membangkang” terhadap putusan lembaga peradilan tertinggi ini, sebab itu justru akan menodai prinsip negara hukum dan demokrasi yang telah lama diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.

Kami akan terus berjuang untuk menegakkan supremasi hukum dan menjaga integritas demokrasi di negeri ini. Kami akan mengawal dan memantau setiap langkah DPR dan Pemerintah agar tunduk dan patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, demi menjaga stabilitas konstitusional dan legitimasi Pilkada di masa mendatang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here