BeritaInspirasiJateng

Bahasa Indonesia: Dari Bahasa Melayu Menjadi Anugerah Bangsa Indonesia

KABARMUH.ID, SURAKARTA – “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Kalimat itu begitu melekat dalam ingatan bangsa. kalimat tersebut adalah satu butir dari beberapa butir keluaran Kerapatan Besar Pemuda II tahun 1928 yang mulai tahun 30-an disebut sebagai bagian dari tiga sumpah, dan sejak tahun 50-an hingga kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Di balik lahirnya kalimat bersejarah itu, tersimpan kisah tentang bagaimana bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan.

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dipa Nugraha Suyitno, Ph.D., mengungkap bahwa perubahan dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia bukanlah proses yang terjadi seketika.

“Butir dari keluaran Kerapatan Besar Pemuda II tahun 1928 yang kemudian sekarang disebut Sumpah Pemuda. Itu sebenarnya proses yang tidak terjadi seketika. Jadi, mulai dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia itu ada ceritanya sendiri,” jelas Dipa, Selasa (28/10).

Menurutnya, kisah ini tak bisa dilepaskan dari peran Mohammad Tabrani, seorang wartawan asal Madura yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional. Dalam buku Masa-masa Awal Bahasa Indonesia, Tabrani disebut Harimurti Kridalaksana sebagai pemberi nama Bahasa Indonesia. Lebih jauh lagi, ia juga menyebut bahwa bahasa Indonesia lahir tanggal 2 Mei 1926 sebab Tabrani mengusulkan nama bahasa Indonesia sebagai sebutan atas bahasa Melayu untuk kebangsaan Indonesia.

“Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia itu ada kaitannya dengan semangat yang dibawa oleh Tabrani. Seorang wartawan dari Madura, seorang pahlawan nasional yang kalau di bukunya Harimurti Kridalaksana itu, tanda petik, disebut sebagai pemberi nama Bahasa Indonesia,” ujarnya.

Sebelum peristiwa Kerapatan Besar Pemuda 1928 berlangsung, rancangan awal butir-butir yang akan disepakati masih menyebut Bahasa Melayu. Dalam draft itu, tidak tercantum istilah Bahasa Indonesia seperti yang dikenal saat ini.

“Waktu itu Tabrani berdiskusi dengan Muhammad Yamin. Tabrani berkata, ‘Loh, itu yang satu sudah berbangsa Indonesia, bertanah Indonesia, lah kok bahasanya Bahasa Melayu?’ Jadi Tabrani memprotes, dan dalam diskusi itu sebenarnya Muhammad Yamin bersikukuh untuk tetap menggunakan nama Bahasa Melayu,” Dipa memberi rekaan ulang diskusi.

Namun, 28 Oktober 1928 menjadi titik balik. Kertas yang diberikan Muhammad Yamin kepada Soegondo Djojopoespito kala itu ternyata sudah tertulis bahasa Indonesia.

“Lalu ketika 28 Oktober 1928, entah bagaimana ceritanya, kertas yang diberikan Muhammad Yamin pada Soegondo Joepoeswito bunyinya bahasa Indonesia. Jadi artinya Muhammad Yamin akhirnya menyadari kalau tetap menggunakan bahasa Melayu, mungkin ya, ini saya menduga saja, [bahasa Indonesia yang menjadi bagian dari kebangsaan Indonesia tidak pernah ada] karena Muhammad Yamin tidak pernah bercerita mengapa akhirnya dia menyetujui usulan Tabrani untuk mengubah menjadi bahasa Indonesia,” gelaknya.

Menurut Dipa, perubahan istilah ini bukan hanya soal nama, tetapi juga makna dan semangat kebangsaan yang ingin dirangkul oleh semua golongan.

“Tapi logika saja, jadi ketika bangsanya Indonesia, tanahnya Indonesia, maksudnya bahasanya bahasa Melayu. Dan itu juga dengan penggunaan nama bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu itu, kemudian membuat bahasa Indonesia merangkul semua yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Kalau Melayu kan nanti alam Melayu, tanah Melayu, orang Melayu. Jadi masuk akal [jika kemudian nama bahasa Indonesia harus lahir]. Itu sejarahnya bahasa Indonesia,” tuturnya.

Seiring waktu, muncul berbagai anggapan mengenai alasan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Salah satunya, bahwa bahasa Indonesia dianggap mudah dipelajari dan bersifat egaliter.

“Jadi begini, ada mitos mengenai bahasa Indonesia. Mitos yang paling sering muncul ini ya, yang pertama adalah bahasa Indonesia dipilih karena bahasa Indonesia mudah dipelajari,” ujarnya.

Menurut Dipa, pandangan tersebut keliru jika tidak dilihat dari konteks sosial-politik yang melingkupinya. Ia menegaskan bahwa faktor politik dan kebijakan penerbitan buku oleh Balai Pustaka berperan besar dalam memperkuat posisi bahasa Indonesia di masyarakat.

Ada mitos mengapa Bahasa Indonesia itu menjadi Bahasa Nasional disebut karena mudah dipelajari dan egaliter. Padahal ada faktor lain seperti kebijakan politik yang dilakukan oleh Balai Pustaka dengan buku-buku terbitannya berbahasa Indonesia, meskipun ada beberapa terbitan dengan bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Selain itu, percobaan yang dilakukan oleh Soekarno ketika mencoba menggunakan bahasa ngoko di dalam pergerakan nasionalisme namun mengalami kegagalan.

Ia menegaskan, mudah atau tidaknya sebuah bahasa bukanlah faktor utama dalam penetapan bahasa nasional.

“Jadi bukan karena bahasa Indonesia tanda petik bahasa Melayu itu mudah dipelajari, tidak. Atau misalkan ada yang menulis bahwa orang Jawa legawa, menerima saja penggunaan bahasa Melayu demi atau atas nama persatuan. Itu hanya dongeng saja,” katanya.

Sebenarnya, lanjutnya, satu bahasa dipilih menjadi bahasa nasional di dalam sejarah kebangsaan seluruh dunia tidak ada kaitannya dengan bahasa itu mudah atau susah dipelajari.

Dipa menyebut bahasa Indonesia sebagai salah satu anugerah terbesar bagi bangsa ini. Ia menjadi wadah komunikasi lintas suku, budaya, dan wilayah di tanah air.

“Kalau saya boleh sebut ya bahasa Indonesia itu anugerah bagi bangsa Indonesia. Tidak hanya sejarah perjalanan yang panjang, tetapi juga bahasa Indonesia itu mengerucut menjadi pilihan satu-satunya. Pilihan satu-satunya yang tersedia bagi para pemuda, pengusung gerakan kebangsaan Indonesia [sehingga memudahkan mereka melaju bersama dalam satu medium bahasa],” tuturnya.

Bagi Dipa, bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol identitas kolektif dan pengikat bangsa. Sejak 1950-an hingga kini, perayaan Sumpah Pemuda selalu menjadi momentum untuk meneguhkan semangat itu. “Nah poin ketiganya ada bahasa Indonesia di situ. Jadi akhirnya tercipta semacam, ini ya, sesuatu yang inherent atau ada di dalam bawah sadar kita semua tanda petik, bahwa paketnya itu ya kebangsaan Indonesia, ketanahairan Indonesia, kebahasaan Indonesia. Jadi menjadi satu paket itu [yang menguatkan ide kebangsaan Indonesia],” kata Dipa.

Ia menambahkan, kemampuan bangsa Indonesia untuk saling memahami melalui satu bahasa merupakan berkah besar dalam kehidupan bernegara. Apakah itu baik atau tidak? Baginya, itu adalah hal baik jika dalam konteks akhirnya penduduk dengan latar belakang yang berbeda akhirnya bisa berkomunikasi dan nyaman menggunakan bahasa Indonesia.

“Misalkan saya ketemu dengan orang asing yang sama-sama warga negara Indonesia, saat belum tahu latar belakangnya, saya bisa memulai pembicaraan dengan bahasa Indonesia,” tutur Dipa mencontohkan.

Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bagian dari identitas nasional sebagai sesuatu yang melekat tanpa disadari. Bahkan di antara sesama penutur bahasa daerah yang sama pun, bahasa Indonesia secara “natural” digunakan dalam konteks formal.

“Jadi itu sebagai sesuatu yang tadi saya sebut menjadi semacam indera di dalam identitas kita sebagai, ya saya orang Jawa, tapi saya juga bagian dari bangsa Indonesia. Dan ketika kebangsaan yang tadi saya sebut, kebangsaan, ketanahairan Indonesia, dan kebahasaan Indonesia itu menjadi satu paket, ya itu sudah otomatis,” sebut Dipa.

Ia menutup refleksinya dengan pandangan bahwa meski bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu Riau–Lingga, namun perubahan nama dan konteks kebangsaan telah menjadikannya milik bersama. Ditambah lagi dengan adanya politik bahasa nasional tahun 1975/1976, yang kemudian membuat pengembangan bahasa Indonesia menyerap dari bahasa-bahasa daerah yang ada di seluruh Nusantara sekaligus meletakkan bahasa Melayu sejajar sebagai satu dari sekian bahasa daerah di Nusantara, bahasa Indonesia menjadi satu bahasa “baru” milik bangsa Indonesia.

“Itu juga penting menurut saya di dalam melihat bahasa Indonesia, karena kemudian ada bahasa Indonesia, di bawahnya ada bahasa-bahasa daerah, salah satunya bahasa Melayu. Jadi, “bahasa Indonesia itu unik,” tutupnya. (Maysali/Humas)

Editor: Choiril Amirah Farida

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button