
Oleh: M. Rendi Nanda Saputra
Perkembangan Artificial Intelligence kian hari semakin sulit diabaikan. Kecerdasan buatan itu masuk ke hampir semua aspek kehidupan, bermula dari pertanyaan yang kompleks sampai receh, hingga mampu menulis dan melukis layaknya manusia. Wajahnya selalu bersinar disetiap manusia yang berinteraksi dengannya, bisa sesuai mode yang manusia inginkan, dan menjawab apapun yang manusia tanyakan. Kemajuan tersebut membawa pesona yang memikat bagi manusia, Pekerjaan yang dahulu memakan waktu berhari-hari kini rampung dalam hitungan detik hingga menit. Tidak bisa dipungkiri bahwa AI menjanjikan efisiensi, produktivitas, dan akses pengetahuan yang bahkan melampaui imajinasi manusia.
Teknologi yang semakin cerdas membuat batas antara manusia dan mesin kian kabur. Nalar kreativitas, dan beberapa keputusan lainnya seakan mulai digantikan oleh mesin. Manusia terkadang terlalu larut dalam otomatisasi dapat membuat ia terjebak pada rutinitas tanpa makna. Maka muncul pertanyaan, Jika mesin dapat menulis esai yang indah, melahirkan karya seni, atau bahkan merancang solusi kompleks, apa yang membedakan manusia dari ciptaannya sendiri? Lalu dimana letak autensitas diri manusia saat ini?
Makna Autensitas Manusia
Autentisitas secara umum adalah keadaan ketika seseorang hidup secara jujur, konsisten, dan selaras dengan diri sejatinya baik dalam pikiran, perasaan, nilai, maupun tindakannya. Autentisitas mencerminkan keaslian dan kejujuran, yakni keberanian untuk menjadi diri sendiri tanpa terjebak dalam kepalsuan, ataupun tuntutan sosial yang memaksa. Autensitas bukan hanya sekedar menjadi “apa adanya” melainkan keberanian untuk menunjukkan keaslian dirinya dan menjadikan pedoman dalam bertindak.
Dalam dimensi eksistensial, autentisitas berarti manusia berani menerima keterbatasannya sekaligus mengakui kebebasan yang ia miliki untuk menentukan arah hidup. Kehidupan yang autentik tidak sekadar mengikuti pola yang dibentuk oleh masyarakat, melainkan berpijak pada nilai dan keyakinan yang lahir dari refleksi diri yang dalam. Maka, autentisitas adalah sebuah sikap kritis dan reflektif yang membebaskan manusia dari keterasingan, baik terhadap dirinya maupun terhadap dunia.
Krisis Autensitas di Era AI
Søren Kierkegaard memandang autentisitas sebagai keberanian individu untuk menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar larut dalam arus massa yang ia sebut the crowd. Bagi Kierkegaard, manusia autentik adalah mereka yang berani mengambil keputusan personal dengan penuh tanggung jawab, meskipun pilihan itu menimbulkan kecemasan atau berlawanan dengan opini mayoritas. Autentisitas bukanlah hidup dalam kepalsuan sosial, melainkan kesetiaan pada diri sejati yang lahir dari refleksi mendalam atas kebebasan dan tanggung jawab eksistensial.
Kian hari perkembangan teknologi kian canggih. Semakin canggih teknologi dalam meniru manusia, semakin kita tercerabut dari esensi kemanusiaan itu sendiri. Di era AI, autentisitas manusia menghadapi tantangan serius karena kehidupan semakin dipenuhi oleh representasi yang diproduksi mesin. Krisis autensitas ini menggejala dalam beragam bentuk, mulai dari gaya hidup yang glamor dan mengikuti standar medsos, hingga merambah ke ranah professional terkhusus pada sendi-sendi pekerja baik professional maupun kreatif.
Identitas sering kali dibentuk bukan melalui refleksi diri, melainkan oleh logika algoritmik yang menentukan tren dan citra ideal. Akibatnya, keaslian sebagai inti kemanusiaan terancam memudar, digantikan oleh representasi artifisial yang lebih dominan daripada pengalaman manusia itu sendiri. Inilah krisis autentisitas terbesar dalam sejarah peradaban, Suatu kondisi di mana manusia secara masif kehilangan kontak dengan dirinya yang sejati, terperangkap dalam labirin persona digital dan tergerus oleh AI yang tidak pernah mereka minta, tetapi juga tidak bisa lagi mereka tinggalkan.
Menjadi Manusia Autentik di Era AI
Menjadi manusia autentik di era kecerdasan buatan (AI) menuntut kemampuan adaptasi yang seimbang antara pemanfaatan teknologi dan penjagaan nilai-nilai kemanusiaan. Individu perlu membangun kesadaran digital yang mengintegrasikan etika, empati, dan tanggung jawab sosial dalam setiap interaksi dengan AI. Kesadaran ini memastikan bahwa teknologi tidak menggerus jati diri manusia, melainkan mendukung pengembangan potensi unik yang hanya dimiliki manusia.
Seiring berkembangnya AI, penting bagi manusia untuk terus menggali makna dan tujuan hidup yang lebih dalam, tanpa terjebak dalam pola konsumtif teknologi yang semu. Dengan mempertahankan nilai-nilai kebijaksanaan, kejujuran, dan kreativitas, manusia dapat menghindarkan diri dari homogenitas perilaku yang dihasilkan oleh dominasi mesin dan algoritma. Proses refleksi kritis terhadap pengaruh teknologi menjadi kunci untuk mempertahankan keotentikan personal dan sosial. tanggung jawab sosial dan kolaborasi antar manusia menjadi pondasi dalam menjaga kemanusiaan di tengah lompatan teknologi yang cepat. Melalui pendidikan dan pembelajaran berkelanjutan, masyarakat dapat mengembangkan kecakapan yang tidak hanya teknis, tetapi juga filosofis dan etis. Dengan cara ini, manusia autentik mampu memberikan kontribusi bermakna bagi kemajuan yang inklusif dan berkelanjutan di era AI.
Catatan Akhir
Menjadi manusia autentik di era AI bukan sekadar menghadapi kemajuan teknologi, tetapi juga sebuah perjalanan mempertahankan dan mengembangkan esensi kemanusiaan yang unik. Dengan kesadaran kritis, etika yang kuat, dan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, individu dapat memanfaatkan teknologi secara bijak tanpa kehilangan jati diri. Upaya ini penting agar kemajuan AI dapat menjadi alat yang memperkaya kehidupan manusia, bukan justru mengikis keautentikan dan kebebasan manusia dalam menentukan arah hidupnya.
Editor: Hammam Alghazy