BeritaInspirasiJateng

Perempuan dan Pencak Silat: Antara Stigma dan Prestasi

KABARMUH.ID, SURAKARTA – Pukulan, tendangan, dan bantingan dari perempuan tomboy dan pecicilan ternyata membawanya menapaki arena besar Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) XIX 2025 di Gedung Edutorium KH Ahmad Dahlan UMS. Dialah Febrila Widya Noer Azizah, pesilat putri kontingen Jawa Tengah, yang akrab dipanggil Bela oleh rekan-rekannya.

Di kontingen Jawa Tengah, Bela dikenal sebagai atlet paling mungil. Rekan-rekannya bahkan menjulukinya “gantungan kunci” atau “miniatur”.

Bela masuk pada kategori tanding kelas under A putri dengan berat badan kurang dari 45 kg. Alih-alih tersinggung, Bela justru merasa akrab dengan panggilan itu karena mempererat kebersamaan tim.

Perkenalan Bela dengan pencak silat bermula dari sebuah perkelahian kecil dengan teman laki-lakinya saat berada di bangku kelas 3 SD. Sang guru olahraga lalu memintanya mencoba pencak silat. Tidak disangka, di pertandingan perdana ia langsung meraih juara pertama. Sejak saat itu, Bela jatuh cinta pada olahraga bela diri khas Indonesia tersebut.

“Apalagi pencak silat itu budaya Indonesia. Terus kalau perempuan misal dilihatnya biar keren, tapi sebenernya juga dari perempuan itu nunjukin kalau perempuan juga bisa, ngga cuma laki-laki doang yang kuat,” ujarnya, Kamis (25/9) usai berlaga di partai semifinal POMNAS 2025 cabang olahraga pencak silat.

Bagi Bela, pencak silat bukan hanya perkara teknik. Ia meyakini kunci utama ada pada kesiapan mental. “Misal di silat itu bukan cuma diajari untuk menjadi juara, tapi diajarin bagaimana memiliki mental yang kuat, percaya diri, dan diajarkan untuk berani,” kata Bela.

Orang tua dan lingkungan sekitar pun memberikan dukungan penuh. Ayah dan ibunya sering menyempatkan diri hadir di pertandingan. Namun, ibunya kerap memilih tidak menonton langsung saat Bela bertanding karena rasa cemas.

“Namanya pencak silat pasti banyak risikonya, jadi gimana caranya kita emang harus kuat mental, nggak boleh takut,” tambahnya.

Tetangga pun mendukung, mendoakan, bahkan ikut bangga dengan pencapaian Bela. Padahal, di mata sebagian masyarakat, pencak silat kerap distigma sebagai olahraga yang keras dan arogan. Bela ingin menghapus stigma pencak silat itu.

“Pencak silat itu juga bisa berprestasi,” tegasnya.

Rasa gugup saat pertandingan baginya adalah hal wajar. Namun, Bela punya cara tersendiri untuk mengatasinya. “Caranya ngga usah dipikirin, enjoy, rileks. Mau ketemu siapa aja harus lawan, karena sama-sama kita latihan, terus inget perjuangan kita latihan gimana,” ungkapnya.

Bela juga pernah merasakan pahitnya cedera. Saat bertanding melawan kontingen Lampung untuk tiket menuju final, ia menerima serangan hingga mulutnya berdarah.

“Ini first time saya sampai berdarah-darah, ini. Dari awal sampai akhir yang sampai berdarah-darah mbonjrot gitu baru kali ini,” kenangnya.

Menurutnya, lawan terberat datang dari pesilat Jawa Barat karena duel harus berlangsung kejar-kejaran poin.

Meski ini debutnya di POMNAS, Bela tidak ingin tampil setengah hati. Ia berpesan kepada dirinya sendiri bahwa ia hebat, tidak perlu minder, karena sudah mampu berada di tahap mewakili Jawa Tengah.

Bagi Putu Meisya Tiarani Putri, pesilat kontingen Jawa Timur kategori tanding kelas under A putri, kecintaan pada pencak silat tumbuh sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Dorongan orang tua membuatnya mantap menekuni olahraga ini hingga akhirnya bisa berlaga di ajang sebesar POMNAS.

“Mungkin ada beberapa yang berpandangan negatif, dikira buang-buang waktu atau bagaimana. Padahal kita di sini turun di bidang olahraga buat meraih prestasi,” kata Putu.

Pandangan masyarakat terhadap pencak silat memang beragam. Ada yang menilai positif karena dianggap mampu melestarikan budaya bangsa sekaligus menjadi jalan untuk meraih prestasi. Namun, tidak sedikit pula yang memandang sebaliknya, seolah menekuni silat berarti mengabaikan akademik. Anggapan-anggapan seperti itu tidak membuatnya lantas berhenti menekuni pencak silat.

Selama mengikuti pertandingan POMNAS, ia mendapatkan dispensasi. Dianggapnya tidak berkontribusi pada akademik padahal dengan mengikuti POMNAS dapat membawa nama baik almamater kampus.

“Di pencak silat itu selain kita melestarikan budaya Indonesia dan bela diri Indonesia, kita juga bisa meraih prestasi. Kalau negatifnya, mungkin kita meninggalkan kegiatan-kegiatan akademik,”

Dalam perjalanannya di POMNAS, Putu harus berhadapan dengan lawan-lawan tangguh. Ia menyebut pesilat DKI Jakarta sebagai salah satu lawan terberat. Namun ujian terbesar justru datang di partai final, ketika ia berhadapan dengan Bela, pesilat asal Jawa Tengah. (Maysali/Humas)

Editor: unaise albunayya

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button