“Sumpah Pemuda: Ketika Ruh Persatuan Bangsa Turun ke Bumi Nusantara”
Tiga kalimat sederhana yang diucapkan tanggal 28 Oktober 1928 itu bukan sekadar janji, melainkan “wahyu sejarah” yang menghidupkan kesadaran bangsa.

Oleh : Amir Hady (Sekretaris PWM Kaltim)
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
– KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
– KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
– KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928
Sumpah Pemuda bukan sekadar teks sejarah yang dihafal di sekolah. Ia adalah getaran batin yang mempersatukan bangsa di saat belum ada negara, belum ada lambang, bahkan belum ada peta resmi bernama Indonesia. Di balik tiga kalimat pendek itu tersimpan kekuatan spiritual yang melampaui nalar manusia biasa.
Bayangkan, para pemuda dari latar belakang suku, agama, dan daerah berbeda berkumpul pada 28 Oktober 1928. Mereka tidak membawa senjata, tidak memiliki kekuasaan, tapi memiliki satu hal yang lebih dahsyat: kesadaran akan “kesatuan.” Kata-kata “bertumpah darah yang satu”, “berbangsa yang satu”, dan “menjunjung bahasa persatuan” bukan hasil perdebatan intelektual semata, tetapi lahir dari kedalaman jiwa dan ketajaman rohani.
Redaksi sumpah itu terasa sakral, bahkan bagi sebagian orang memiliki aura mistis. Sebab, tidak ada bangsa pada masa itu yang mengucapkan ikrar sejelas dan setegas itu sebelum merdeka. Seolah ada tangan tak terlihat yang menuntun lidah para pemuda untuk mengucapkan kata-kata suci yang kelak menjadi fondasi Indonesia.
Kata “satu” dalam ketiga sumpah itu memancarkan semangat tauhid. Tauhid bukan hanya pengakuan tentang keesaan Tuhan, tetapi juga kesatuan dalam ciptaan dan kemanusiaan. “Satu tanah air” berarti satu ruang kehidupan di bawah langit Allah. “Satu bangsa” bermakna satu cita pengabdian kepada-Nya. Dan “satu bahasa” mencerminkan kesatuan hati dan komunikasi antar manusia.
Sumpah Pemuda membuktikan bahwa semangat tauhid bisa menjelma menjadi kekuatan sosial. Ia bukan konsep keagamaan yang kering, melainkan energi yang menyalakan cinta tanah air dan tanggung jawab kebangsaan. Tak heran jika sampai hari ini, kalimat-kalimat itu masih membuat merinding siapa pun yang menghayatinya.
Namun sayang, semangat itu mulai pudar di generasi muda kita. Pelajaran sejarah kini terasa datar, kehilangan ruh dan makna. Padahal dulu, lewat pelajaran PSPB, nilai patriotisme diajarkan dengan rasa, bukan hafalan. Kini, saatnya bangsa ini menghidupkan kembali pendidikan kebangsaan yang menggugah hati — bukan hanya otak.
Sumpah Pemuda harus kembali menjadi teks hidup, bukan tulisan mati. Ia harus dihidupkan lewat seni, teater, film, dan kegiatan kebudayaan yang membangkitkan rasa bangga dan cinta tanah air. Karena sejatinya, Sumpah Pemuda bukan masa lalu — ia adalah denyut nadi yang membuat bangsa ini tetap bernama Indonesia.



