Waspadalah dari Sengkuni Zaman Now!

| Oleh: M. Andhim | Editor: AM |

Semasa kecil, saya suka mendengarkan cerita dari ayah.  Namun, tidak seperti teman-teman  pada umumnya.  Kebanyakan mereka diberikan cerita oleh orang tuanya tentang dongeng “kancil mencuri timun”, “ayam dan elang” ataupun “kisah mulia para nabi dan rasul yang penuh keteladanan”. Sebelum tidur, saya terbiasa mendengar kisah-kisah pewayangan yang kisahnya heroik, dramatis dan sesekali jenaka. Di sela-sela itu ayah selalu menyampaikan pesan tersirat dibalik apa yang telah diceritakan.

Banyak kisah yang telah saya dengarkan dari beliau. Namun kisah yang sampai saat ini masih saya ingat ialah kisah perang Mahabharata. Perang saudara antara putra-putra dari Destrarata dan istrinya Gendari yang masyhur dengan sebutan kurawa. Melawan pasukan  pandawa yang taklain ialah putra-putra dari adiknya Destrarata sendiri yakni prabu Pandu. Dalam perang ini pihak pandawa sebagai simbol kebaikan (protagonis) sedangkan kurawa beserta sekutunya adalah simbol kejahatan (antagonis). Perang ini terjadi karena pandawa yang terus didzholimi oleh pasukan kurawa. Di sisi lain pihak kurawa dengan jumawanya merasa benar sendiri. Sehingga pertempuran 18 hari yang dikenal dengan perang Mahabharata ini terjadi. akhir tragis menimpa kurawa karena kemenangan telak ada di tangan pandawa.

Di balik huru-hara Mahabharata ada banyak tokoh yang terlibat di dalamnya. Dan hemat saya, salah satu tokoh yang masih populer sampai detik ini ialah Sengkuni. Buktinya hari ini jika ada seseorang yang namanya dinisbatkan sebagai Sengkuni maka ia akan merasa risih dan tidak menyukainya. Mengapa Sengkuni?

Sengkuni merupakan biang-keladi dari huru-hara di kerajaan Kurusetra dalam kisah Mahabharata. Ia adalah aktor intelektual yang bekerja di balik layar sehingga terjadi perang saudara yang maha dahsyat.  Kebencian Sengkuni bermula sejak melihat saudarinya (Gendari) menikah dengan Destrarata si buta. Baginya menjadi istri dari orang yang buta merupakan sebuah penghinaan terhadap kehormatan keluarganya. Sehingga ia bersumpah akan membuat keluarga dari Destrarata dan adiknya (Pandu) menjadi hancur sehancur-hancurnya. Karena baginya hanya dengan melihat kehancuran yang ada pada keluarga merekalah, kehormatan keluarganya bisa kembali sedia kala.

Singkat cerita Sengkuni ditunjuk oleh saudarinya untuk mengasuh putra-putranya yang tak kurang dari 100 bersaudara. Anak yang paling tua dari mereka bernama Duryudhana. Dialah yang menjadi pemimpin pasukan kurawa ketika pecah perang mahabharata. Sejak kecil pasukan kurawa ditanamkan rasa kebencian oleh sang paman (Sengkuni). Sehingga dendam yang membara memenuhi ruang dada mereka terhadap lima bersaudara dari pandawa. Mereka berlima ialah Puntadewa, Werkudara, Arjuna, dan si kembar Nakula-Sadewa. Berbeda dengan Kurawa, para pundawa mendapat asuhan dari punakawan yang selalu mengajarkan kebaikan.

Dalam dunia pewayangan tokoh Sengkuni ini digambarkan dengan sosok yang lebar mulutnya. Filosofinya ialah karena ia ahli dalam bersilat lidah. Dengan kefasihan bertutur kata membuat orang yang bicara dengannya selalu menjadi terperdaya oleh manis bibirnya. Banyak kedustaan yang terucap dari mulutnya. Ketika ia mendapat kabar tentang sesuatu, dengan ‘kreatifitasnya’ ia pun merubahnya. Bisa dibilang dia ini  tidak amanah dalam menyampaikan suatu pesan berita. Kecerdikan dalam bersiasat yang ia punya,  menjadikan banyak orang tertipu oleh muslihatnya. Ia juga terkenal pandai merayu dan meyakinkan seseorang dengan susunan kata-kata yang ia racik. Sehingga Duryudhana dan para saudaranya tak bisa lepas dari pengaruh pamannya itu.

Sosok Sengkuni yang sakti mandraguna, tubuhnya kebal dari berbagai macam senjata. Ia terlampau besar kepala seakan tak ada yang mampu menggagalkan aksinya. Tragis, sayang sekali ia mati di hari terakhir peperangan Mahabharata. Kematiannya oleh tangan keponakannya sendiri si Duryudhana, setelah babak belur dihajar oleh Werkudara. kisah ini saya cukupkan sampai di sini. Jika penasaran seperti apa kisah lengkapnya, silahkan baca sendiri dalam kisah pewayangan.

Sahabat-sahabati yang budiman. Ada banyak hal yang dapat kita ambil pelajaran dari kisah tragisnya Sengkuni. Betapa cerdasnya ia, betapa kuatnya ia dan betapa hebatnya ia. Semua pemberian dari Yang maha kuasa telah ia salah gunakan. Kecerdikan telah berubah menjadi kelicikan dan melahirkan kepicikan sehingga ia tak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.  Semua terjadi karena nafsu telah membutakan mata dzohir dan mata batinnya. Tetapi ternyata setiap keburukan akan berakhir pada kehancuran.

Sosok Sengkuni ini menjadi simbol keburukan yang sempurna dalam pewayangan. Di dalam ajaran Islam karakter yang melekat pada dirinya diabadikan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai tanda-tanda kemunafikan. Ketika ia bicara, ia berdusta. Ketika diberikan amanat, ia berkhianat. Dan ketika berjanji, ia suka mengingkari. Sikap takabur atau besar kepala yang ia punya juga pernah disebutkan sebagai sikap yang dimiliki oleh iblis yang dulunya pernah di surga. Dari sikap takabur itulah, yang menyebabkan iblis dikeluarkan dari surga. Sehingga kebencian dan dendam membara iblis lampiaskan kepada Adam dan keturunannnya. Padahal di balik itu semua, sebenarnya Sengkuni memiliki tujuan yang mulia. Karena ia ingin mengangkat kehormatan keluarganya. Namun, jalan sesat yang ia pilih menjadikan kehancuran harus ia tebus sebagai konsekwensinya.

Beberapa sikap buruk di atas sering kali kita jumpai dalam kehidupan nyata. Bahkan tak jarang nampak  pada diri orang-orang di dekat kita. Atau justru mendarah daging dalam tubuh kita. Hanya kita yang tahu tentunya. Maka dari itu mari kita hindari. Dan sebisa mungkin kita perbaiki diri dari karakteristiknya  Sengkuni. Jika kita tidak mau dijuluki sebagai sengkuni-sengkuninya zaman ini.

Dalam tulisan kali ini selain mengajak saudara-saudari untuk mengambil ibrah dari pewayangan. Penulis juga ingin menyampaikan bahwa ada titik temu antara agama dan budaya yang terletak pada “nilai luhur” yang terkandung pada keduanya. Hal inipun pernah dicontohkan oleh raden Mas Said atau yang terkenal dengan Sunan Kalijaga. Beliau pernah berdakwah melalui pendekatan budaya berupa wayang sebagai media dakwahnya. Sayang sekali jika generasi saat ini lebih menyukai budaya luar daripada budaya bangsanya sendiri. Padahal darinya ada banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran untuk perbaikan diri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here