Fenomena Kristen Muhammadiyah di Lembaga Pendidikan Islam dalam Perspektif Fiqih Ta’ayush

Oleh: Ali Muthahari, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Indonesia
Fenomena keterlibatan warga non-Muslim, khususnya umat Kristiani, dalam lembaga pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah bukanlah sekadar persoalan administratif atau kebijakan pragmatis. Ia merupakan tanda dari sesuatu yang lebih dalam: suatu kesadaran keberagamaan yang telah sampai pada tingkat kedewasaan, di mana agama tidak lagi dilihat sebagai tembok eksklusif yang memisah, melainkan sebagai jembatan yang memungkinkan manusia bertemu, saling memahami, dan berbagi nilai-nilai universal kemanusiaan.
Frasa “Kristen Muhammadiyah”—yang pada awalnya mungkin terasa janggal secara semantik—justru menunjukkan bahwa agama, dalam praksis sosialnya, memiliki kemampuan luar biasa untuk mengatasi batas-batas formalnya sendiri. Di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia, realitas keberagamaan tidak selalu berjalan dalam rel yang rigid dan kaku. Sebaliknya, ia seringkali mewujud sebagai proses dialogis yang cair, luwes, dan terus berkembang.
Adalah sebuah kekeliruan jika kita mengira bahwa Islam, sebagai agama yang universal, bertujuan untuk menyeragamkan segala hal. Justru Islam datang dengan pesan yang sangat jelas: bahwa pluralitas adalah kehendak Tuhan. Dalam surah al-Hujurat ayat 13, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa “agar kalian saling mengenal.” Kalimat “li ta’ārafū” ini mengandung makna luhur: bahwa keberagaman bukan untuk ditaklukkan, tetapi untuk dirayakan dalam semangat pengenalan dan penghargaan satu sama lain.
Maka, ketika Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang lahir dari rahim modernisme, membuka pintunya bagi siswa-siswa Kristen di Papua, NTT, dan Kalimantan Barat, sejatinya ia sedang menjalankan amanat peradaban Islam yang inklusif. Pendidikan dalam perspektif Muhammadiyah bukan hanya transmisi ilmu pengetahuan, tetapi juga pengembangan akhlak dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak pernah secara eksklusif ditujukan bagi umat Islam saja, tetapi diperuntukkan bagi siapa pun yang ingin mengakses cahaya ilmu.
Dalam buku Kristen Muhammadiyah karya Abdul Mu’ti dan Fajar, dijelaskan bahwa keterlibatan umat Kristen dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan bentuk relasi yang tumbuh secara alamiah. Hubungan itu tidak dibangun di atas kepentingan politik atau tekanan sosial, tetapi berangkat dari rasa saling percaya dan kesediaan hidup berdampingan secara damai. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah “Krismuha”—singkatan dari Kristen-Muhammadiyah—yang menjadi simbol dari keterbukaan dan kematangan beragama.
Hal ini mengingatkan kita pada sebuah prinsip besar dalam khazanah Islam klasik, yang dikenal dengan nama fiqh al-ta‘āyush. Dalam pengertian literal, kata ta‘āyush berasal dari akar kata “‘a-ya-sya” yang berarti hidup atau kehidupan. Maka ta‘āyush berarti “hidup bersama”—bukan sekadar berdampingan, tetapi hidup dalam kesalingan: saling menghargai, saling menjaga, dan saling menopang satu sama lain.
Fiqh ta‘āyush bukanlah sekadar rumusan hukum, tetapi lebih merupakan ekspresi dari sikap spiritual seorang Muslim terhadap kenyataan pluralitas. Ia adalah hasil dari kesadaran bahwa Islam tidak diturunkan untuk menciptakan dominasi satu kelompok atas yang lain, tetapi untuk menghadirkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, fiqh ta‘āyush bukan hukum stagnan, melainkan manifestasi dari ruh Islam yang hidup dan relevan dengan zaman.
Dalam sejarah Islam sendiri, prinsip ini telah lama dipraktikkan. Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah menetapkan suatu kontrak sosial antara umat Islam dan komunitas Yahudi—yang dikenal sebagai ahl al-dhimmah. Mereka diberi hak untuk menjalankan agamanya, memiliki pengadilan sendiri, dan dilindungi darah serta hartanya. Begitu pula dalam sistem Millet di Kekhalifahan Utsmani, di mana komunitas non-Muslim diberikan otonomi penuh dalam urusan agamanya. Sistem ini bahkan dijadikan model toleransi oleh para sarjana Barat kontemporer.
Namun dalam konteks Indonesia modern, Muhammadiyah mengaktualkan nilai-nilai itu bukan dalam bentuk perlindungan dhimmi, tetapi dalam relasi sejajar sebagai sesama warga bangsa. Di sini, kita melihat bahwa nilai-nilai Islam, ketika ditafsirkan secara kontekstual dan progresif, mampu menjawab tantangan zaman. Maka kehadiran umat Kristen di lembaga pendidikan Muhammadiyah bukan bentuk pengkhianatan terhadap identitas keislaman, tetapi justru cerminan otentik dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Fenomena Krismuha menjadi bukti bahwa ketika Islam dipahami secara substantif, ia akan menjelma menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang telah bersyahadat. Islam tidak hadir untuk menegaskan garis pemisah antara “kita” dan “mereka,” melainkan untuk menghapus dikotomi itu, dan menggantinya dengan semangat ukhuwah basyariyah—persaudaraan kemanusiaan.
Dalam pandangan ini, lembaga pendidikan Muhammadiyah justru memainkan peran penting sebagai ruang dialog antariman. Di dalamnya, anak-anak dari berbagai latar belakang agama belajar bersama, saling mengenal, dan membentuk jaringan kemanusiaan yang mungkin akan menjadi fondasi bagi Indonesia yang damai dan bersatu di masa depan.
Maka dapat dikatakan bahwa fiqh ta‘āyush tidaklah selesai sebagai teori. Ia menemukan aktualitasnya dalam praktik keseharian, dalam relasi antarpribadi dan antaragama yang terbina di ruang-ruang pendidikan, kesehatan, dan kemasyarakatan. Ia hadir bukan untuk menghakimi perbedaan, tetapi untuk merangkulnya dengan akhlak yang luhur.
Dengan demikian, kita perlu meninjau kembali cara pandang kita terhadap agama. Jangan sampai agama yang sejatinya menjadi rahmat, justru menjadi sumber kecemasan sosial. Jangan sampai semangat keberagamaan berubah menjadi eksklusivisme yang membatasi kasih sayang hanya kepada sesama kelompok.
Sebaliknya, seperti ditegaskan oleh banyak pemikir Islam progresif—termasuk Fazlur Rahman dan Hasan Hanafi—agama haruslah menjadi kekuatan transformatif yang membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan permusuhan. Dan inilah yang sedang dilakukan Muhammadiyah melalui fenomena Krismuha.
Akhirnya, keberanian Muhammadiyah untuk membuka diri kepada umat lain melalui lembaga-lembaganya merupakan bukti bahwa Islam Indonesia memiliki akar yang dalam dan cabang yang menjulang. Islam kita bukan Islam yang resisten terhadap keragaman, tetapi Islam yang menumbuhkan dan mengayomi kebhinekaan. Di sinilah, fiqh ta‘āyush tidak lagi menjadi ide abstrak, melainkan praksis kemanusiaan yang nyata, hidup, dan penuh harapan.
Editor : Najihus Salam