EsaiFeatured

Korban Kesalahan Sistem Pendidikan

Oleh : Anda Restu Nagiri (202110230311041)

Pendidikan merupakan salah satu kunci dalam meraih kesuksesan sebuah bangsa, jika dalam suatu negara memiliki metode pendidikan yang baik maka dapat dipastikan bahwa generasi penerusnya bisa menjadi lebih unggul dibandingkan negara – negara lain yang memiliki sistem pendidikan yang buruk. Berbicara mengenai Pendidikan tentunya nama Paulo Freire tidak terdengar asing di telinga sebagian orang yang tertarik dengan pemikiran Freire tentang pendidikan dan bidang – bidang lain nya seperti politik. Masyarakat Indonesia sendiri mulai bersahabat dengan karya serta pemikiran Paulo Freire, tepat nya setelah memudarnya masa orde baru pada tahun 1998. Paulo Freire adalah seorang ahli ilmu pendidikan  yang lahir di Receife, Brasil pada  tahun 1921, saat ia kecil terjadi krisis ekonomi yang melanda Brasil di tahun 1929, keluarganya mengalami kemerosotan finansial sehingga  Freire kecil dengan terpaksa belajar apa arti lapar untuk anak sekolah, meski demikian ia sukses menulis beberapa buku diantaranya Educaccao como pratica da liberdade (Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan,Gramedia, 1994), Cultural Action for Freedom (Penguin, 1970), dan karya nya yang paling lengkap adalah Pedadgogy of Opressed (Pendidikan Kaum Tertindas).

Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas tahun 2008 pada bagian prawacana dijelaskan bahwa Paulo Freire memiliki sikap yang sangat kritis terhadap sistem pendidikan tradisional di Brasil yang memiliki ciri – ciri menggurui dan hafalan. Paulo Freire berpikiran cara seperti itu dapat menggagalkan proses pendewasaan manusia dimana dari proses pendewasaan ini diharapkan individu dapat ikut serta menentukan nasib mereka sendiri

Setelah di amati lebih dalam, sistem pendidikan tradisional di Brasil saat itu memiliki sedikit kesamaan dengan sistem pendidikan di Indonesia beberapa dekade belakangan,  yaitu terkesan menggurui. Hal ini dapat kita jumpai di sekolah – sekolah dalam negeri dimana sebagian besar tenaga pendidik lebih memilih metode ‘ceramah’ dalam proses pembelajaran, karena metode ini dianggap membuat para siswa menjadi lebih cepat paham. Akan tetapi kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua siswa bisa paham dengan apa yang disampaikan oleh tenaga pendidik, selain itu masih ada tenaga pendidik yang menolak untuk di kritik jika melakukan kesalahan oleh anak didik nya sendiri dengan dalih bahwa mereka lebih tahu yang baik dan yang buruk di bandingkan dengan anak didik nya, hal ini terkesan dengan perilaku menggurui dan dapat membuat anak – anak takut untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka. Paulo Freire menyebutkan bahwa sistem pendidikan di masa lampau sama dengan ‘sistem bank’ dimana tenaga pendidik adalah subjek yang mempunyai ilmu pengetahuan dimana ilmu pengetahuan ini diisikan kepada murid, dan murid merupakan tempat deposit saja. Terlihat jelas pada sistem tersebut tidak ada komunikasi yang sesungguhnya antara tenaga pendidik dan anak didik nya, Hal semacam inilah yang mencerminkan penindasan yang ada di lingkungan masyarakat dan juga menguatkan struktur – struktur yang menindas. Kritik siswa membangun komunikasi antara pendidik dan siswa nya, dan komunikasi merupakan elemen penting dari pendidikan. Tidak ada yang salah jika sesekali tenaga pendidik mendengarkan apa yang disampaikan oleh anak didik nya, bukan hanya murid saja yang yang belajar dari guru akan tetapi guru juga bisa belajar dari murid karena saat ini kita tidak bisa menampik fakta bahwa terkadang pengetahuan yang dimiliki oleh seorang murid lebih luas dibandingkan seorang guru, tidak ada salahnya jika seorang tenaga pendidik menjadi teman bagi anak didik nya dan ikut melibatkan diri serta merangsang daya pikir kritis para anak didik nya. Maka ke dua pihak bersama – sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri secara kritis dan dunia mereka berada. Menurut penulis akan lebih efisien lagi jika sekolah – sekolah di Indonesia mulai dari Sekolah Dasar sampai ke perguruan tinggi sesekali menerapkan sistem diskusi, karena dari sinilah tenaga pendidik dan anak didik nya bisa saling mengetahui apa yang di inginkan satu sama lain dan hal ini dapat memudahkan ke dua belah pihak dalam mecapai tujuan pendidikan.

Di dalam bukunya, Paulo Freire juga mengkritrik sistem pendidikan tradisional di Brasil yaitu menghafal, dimana metode hafalan ini masih sering sekali di gunakan olek banyak tenaga pendidik di Indonesia. Ketika masih di Sekolah Dasar kita sudah akrab dengan hafalan, tujuan dari tenaga pendidik memang tidak sepenuh nya salah mungkin kata ‘kurang tepat’ lebih sesuai untuk menggambar kan situasi ini. Jika kita lihat lebih jauh, apakah sistem pendidikan dengan cara menghafal ini cukup efektif ? Mungkin bagi sebagian besar orang cara ini cukup efektif tapi tidak menutup kemungkinan juga  bahwa sebagian orang lainnya merasa cara ini tidak efektif untuk mereka. Menghafal dapat diartikan memberikan tempat untuk memori pada otak, jika seseorang berhenti menghafalkan maka perlahan memori itu akan hilang dari otak. Dapat dibayangkan seorang murid harus menghafal beberapa materi dari sebuah mata pelajaran, sedangkan mata pelajaran yang mereka terima tidak hanya satu bahkan untuk ukuran anak di Sekolah Dasar saja sudah mendapatkan kurang lebih 6 sampai 7 mata pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia saat ini, dan hal seperti  ini sudah di anggap lumrah oleh sebagain besar tenaga pendidik. Tentu saja perilaku seperti ini dapat dikategorikan dalam perilaku dehumanisasi, dimana menurut KBBI dehumanisasi adalah hilangnya harkat pada manusia. Lebih mudahnya dehumanisasi merupakan kemampuan untuk menghilangkan rasa kemanusiaan. Pada hakikat nya anak didik juga manusia biasa, mereka juga memiliki batas pada diri mereka, jika melihat situasi pada sistem pendidikan di Indonesia saat ini dapat dikatakan bahwa mereka adalah korban. Mengapa demikian ? karena mereka lah yang harus menanggung kesalahan – kesalahan yang di anggap lumrah di masa lampau, jika saja metode pendidikan yang melenceng pada waktu itu segera di perbaiki, maka para murid tidak perlu lagi menjadi korban ‘salah metode’ di era saat ini. Menurut penulis dibandingkan ‘hafalan’ akan lebih efisien lagi jika metode tersebut diganti dengan pemahaman. Jika kita benar – benar paham dengan materi yang diberikan, maka memori tentang materi itu akan terus melekat pada otak kita. Berbeda dengan menghafal, jika sudah berhenti menghafal maka memori tentang materi itu juga akan berhenti di ingat oleh otak.

Yang di harapkan penulis untuk sistem pendidikan di Indonesia ke depan nya adalah adanya pembenaran untuk sistem – sistem  di masa lampau yang melenceng dan di buat nya metode – metode pembelajaran yang lebih efisien di era saat ini, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan lebih maksimal maka akan lahir generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Sumber:

Freire, P. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3SES

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button