Oleh : Lisa Salsabila

Indonesia merupakan salah satu negara bekas jajahan Belanda, penjajahan ini  berdampak pada komponen yang sangat vital yaitu pola pikir masyarakat. Memang betul kemerdekaan sudah kita raih, akan tetapi efek penjajahan itu masih mengendap dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana masyarakat sudah terbiasa dengan mental terjajah. Oleh karena itu, sistem pendidikan Indonesia banyak menggunakan referensi dari buku pendidikan kaum tertindas oleh Paulo Freire. Kali ini saya akan merefleksikan buku Paulo Freire dalam kegaiatan saya selama berkuliah sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam bab prawacana saya disuguhkan dengan cerita singkat tentang kehidupan Paulo Freire, dimana hal tersebut yang menjadi salah satu faktor penting bagi karir Paulo dalam menghasilkan karya tulis yang banyak dikenal oleh hampir seluruh masyarakat. Menurut saya masa kecil nya adalah masa paling kritis karena seperti yang diketahui saat usia nya masih menginjak anak-anak, Paulo Freire memiliki kesadaran diri yang sangat tinggi, dan sudah dapat menyadari lingkungan sekitar, salah satunya adalah ketika Paulo mengalami kelaparan, Paulo sudah memiliki visi misi mulia yaitu membebaskan kelaparan di masa yang akan datang sehingga anak-anak lain tidak ikut merasakan kesengsaraan yang dialaminya waktu kecil. Dalam bab prawacana ini juga disebutkan bagaimana Paulo mendeskripsikan ide-idenya yang Ia tuliskan dalam bukunya. Pada satu hal saya sempat merasa teringat akan sesuatu yang pernah terjadi di sekitar saya, yaitu teori ‘konsientisasi’ yang berarti ketika kita sadar diri akan sesuatu, maka hal tersebut harus dilandasi dengan aksi nyata, tidak hanya sekedar refleksi. Ini berlaku ketika saya menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang ini, saya sadar akan diri saya harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, dan hal tersebut harus saya tunjukkan aksinya dengan mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik, menghadiri jam perkuliahan dengan tepat waktu, mengerjakan tugas, dan lain-lain, tidak hanya sekedar merefleksikannya di dalam diri.

Kemudian masa dewasa awal Paulo Freire juga mengalami banyak naik turun, mulai dari berhasil menarik kaum tuna aksara untuk membaca, dan hal itu dilakukan tidak lebih dari 45 hari, kemudian beliau juga sempat mendekam di penjara karena dituduh menjalankan kegiatan subversif. Dan dari pengalaman-pengalaman itulah yang memberikan Ia kesadaran dan pikiran kritis terhadap sekitarnya. Hal yang bisa saya ambil dari kisah-kisah Paulo adalah, jangan pernah berhenti melakukan sesuatu yang sudah kamu mulai hanya karena ada satu halangan. Karena di depan banyak hal misterius yang belum terungkap, jadi tetaplah berusaha. Meskipun Paulo banyak menghasilkan karya-karya yang luar biasa, Ia tidak begitu saja menjadi sombong atau menganggap dirinya lah yang paling baik. Hal itu terlihat ketika Ia akan meninggal, Paulo sempat berkata bahwa Ia akan senang jika suatu saat nanti akan ada orang yang dapat menyelesaikan masalah yang dirinya tidak dapat memecahkannya. Menandakan bahwa Paulo adalah orang yang rendah diri. Itu adalah salah satu hal yang patut kita contoh dalam kehidupan sehari-hari, karena dalam agama islam pun kita diperintahkan untuk bersikap rendah diri. Dalam seketika saya teringat akan cerita tentang Nabi Adam dan Iblis yang dikeluarkan dari surga karena merasa dirinya lebih hebat dari Nabi Adam.

Dalam bab prawacana ini juga ditulisakan secara singkat tentang isi dari tiap bab dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas”. Bab 1 menjelaskan tentang humanisasi, yang menurut saya hal ini benar-benar topik yang menarik untuk dibahas, tidak terpikirkan sebelumnya bahwa humanisasi dapat membalikkan arah para kaum tertindah menjadi penindas. Dan memang sesuai apa yang sedikit saya ketahui hal ini di semester 1, yaitu rata-rata penindas adalah mantan kaum tertindas. Akan tetapi bagaimanapun juga hal tersebut tidaklah benar. Oleh sebab itu saya sangat kagum karena Paulo menuliskan buku ini untuk dijadikan panduan kepada kaum tertindas agar tidak menjadikan mereka sebaliknya.

‘Sistem bank’ sempat disinggung dalam bab prawacana, dimana dalam proses belajar mengajar murid hanya dianggap sebagai objek, sehingga tidak terjadi komunikasi antara guru dan murid. Beruntungnya di Universitas Muhammadiyah Malang ini para dosen tidak ada yang menerapkan sistem ini, semua dosen sangat aktif dalam memancing proses berpikir kritis para mahasiswanya. Kemudian kembali kepada Paulo yang menolak dengan tegas sistem ini, akhirnya beliau menciptakan suatu sistem sendiri yaitu ‘pendidikan hadap masalah’ di mana murid belajar dari guru dan guru belajar dari murid. Hal ini pernah terjadi di salah satu mata kuliah saya, ketika proses mengajar dosen sedikit kesusahan menjelaskan materi, lalu dosen tersebut bertanya apakah ada mahasiswa yang paham. Salah satu teman saya mengajukan diri untuk menjelaskan materi tersebut. Dosen tersebut tidak malu untuk belajar kepada mahasiswa sehingga terjadilah hubungan timbal balik yang positif di dalam kelas saya.

Masuk ke dalam pendahuluan, hal yang paling penting dalam bab ini adalah “takut kebebasan”. Di sini dijelaskan bahwa beberapa orang memiliki kesadaran kritis, akan tetapi mereka takut untuk mengungkapkannya karena takut akan dianggap sebagai anarki. Memang benar adanya hal tersebut terjadi, bahkan saya pun sering mengalaminya. Entah takut akan dianggap aneh orang lain karena pemikiran saya, atau memang lebih baik dipendam saja. Lagi pula tidak semua orang peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Disebutkan juga dalam buku ini, beberapa orang yang dulunya takut akan kebebebasan akhirnya berani menunjukkan keberaniannya, karena sudah mencapai pada titik di mana orang tersebut ingin mendapatkan kebebebasan.

Masuk dalam teori “Sektarianisme”, “Radikalisasi”, dengan berat hati saya cukup sulit memahami materi yang dipaparkan oleh Paulo kali ini. Sedikit yang bisa saya tangkap adalah kaum sektar masih banyak mempercayai atau fanatis dengan mitos-mitos yang telah dibangun sejak dulu. Sedangkan kaum radikal menggunakan pikiran kritis mereka, sehingga bisa dikatakan mereka cukup kreatif. Akan tetapi makna “radikal” sendiri saat ini mempunyai arti yang kurang baik menurut saya, dan mengapa Paulo mengklaim bahwa dirinya termasuk kaum radikal. Berpikir kritis memang sangatlah penting, apalagi untuk menemukan sesuatu yang baru atau yang belum pernah ada di sekitar masyarakat. Tapi apakah berpikir kritis itu selalu dianggap radikal? Tidak pernah terpikirkan di benak saya sebelumnya. Mungkin bisa jadi jika pikiran kritis kita terlalu berlebihan, atau menimbulkan suatu kerugian bisa disebut kerugian. Paulo begitu pintar memilih kata-kata yang dapat memuat saya tidak bisa berhenti membaca, memang bahasa yang digunakan agak sedikit di atas level yang biasa saya baca. Akan tetapi, saya memiliki rasa ingin tahu lebih dalam bagaimana buku ini akan memberikan penjelasan atau panduan kepada kaum tertindas.

Hal yang tidak kalah penting selanjutnya adalah dialog. Untuk mencapai hubungan timbal balik antara pendidik dan pembelajar, maka komponen inilah yang paling penting. Dialog yang efektif adalah ketika kedua belah pihak saling memberikan pemikirannya dan saling menghargai pendapat pihak lain. Tidak dipungkiri bahwa beberapa pembelajar masih takut untuk menyampaikan apa yang ingin dikatakan, karena seperti yang diketahui bahwa Indonesia masih berada di bawah mental penjajahan. Semoga dengan membaca buku ini, para pembaca bisa membuka pandangan baru dan sadar bahwa kita harus terbebas dari status “Terjajah”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here