Oleh : Syafa Rahma Teha (202110230311009)
Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas bisa dilihat bahwa buku ini membantu menggerakkan pemikiran-pemikiran positif serta kreatif untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Bisa dilihat bahwa negara kita tidak sedikit dari warga yang susah menggapai cita-citanya, maka tidak sedikit pula jika kita mendapati permasalahan-permasalahan yang muncul di negara kita.
Tidak jarang tokoh-tokoh terkemuka yang telah kita kenal, salah satunya yaitu Freire. Freire yang memiliki nama panjang Paulo Freire ini lahir pada 19 September 1921 yang bertepatan di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil bagian timur laut, yang merupakan wilayah kemiskinan serta keterbelakangan. Beliau mengajarkan pada kita untuk melakukan tiga langkah prawacana, seperti yang pertama kita bisa mengikuti dan mmepelajari perjalanan hidup Freire, karena pelajaran tidak harus diambil dari buku saja, namun dari masa lalu pula. Ketika kita memiliki masala lalu yang buruk, pasti diri kita tidak mau mengulang kembali kedalamnya karena itu akan membuat pengalaman kita buruk kembali. Selanjutnya ada meringkas isi buku, sebenarnya tidak semua buku itu langsung menjelaskan mengenai topiknya, namun ada juga yang memberikan permisalan terlebih dahulu serta membuat malas untuk membacanya karena terlalu banyak tulisan maupun kata-katanya. Langkah Freire mampu menjadi cara agar materi dari buku dengan cepat kita tangkap dengan merangkum isi buku tersebut. Yang ketiga yaitu belajar dari buku Pendidikan Kaum Tertindas, karena di dalamnya terdapat banyak penjelasan mengenai masyarakat demokratis serta buku ini sangat cocok dengan negara kita Indonesia.
Dalam salah satu sifat Paulo Freire, menghargai pendapat orang lain apapun itu. Karena di dalam negara kita ini, mungkin kita bisa mendapati orang-orang yang belm menghargai pendapat orang lain dan masih bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya, karena ia merasa bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan pendapat orang lain belum benar. Hal tersebut bisa dinamakan egois sebagai individu. Karena kita tidak jarang menjumpai hal-hak seperti itu.
Salah satu alasan Paulo Freire menuliskan buku ini karena ia tau betul bagaimana rasanya menjadi orang yang lapar sekali akan sekolah dan ilmu. Beliau pernah berada di posisi kelas menengah, sehingga Freire mengenal seperti apa menjadi seorang yang kelaparan anak sekolah. Hal ini mampu menjadikan motivasi bagi kita bahwa ketika kita menginginkan sesuatu itu bukan hanya karena ingin dan enggan untuk berjuang, ketika kita menginginkan sesuatu hendaknya kita juga berjuang untuk mendapatkannya. ketika kita gagal dalam mendapatkan hal tersebut, kita bisa memutar otak kita agar menemukan cara lain dan jangan pernah untuk berputus asa. Freire juga pernah tertinggal dua tahun dalam sekolah dibanding teman-teman sekelasnya, pada umur lima belas tahun, Freire lulus dengan nilai yang pas-pasan untuk masuk ke sekolah lanjutan. Hal ini juga bisa diambil pelajaran untuk kita bahwa pendidikan atau sekolah itu tidak memandang umur. Karena masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa ketika ada yanng tertinggal kelas berarti dia bodoh dan orang yang tertinggal kelas tersebut otomatis akan merasakan malu pada dirinya sendiri atas persepsi tersebut, padahal tidak selamanya seperti itu. Tidak banyak juga siswa yang lain turun melakukan aksi pem-bully-an atas hal tersebut. Oleh karena itu, kita juga harus merubah persepsi warga serta murid Indonesia menjadi pandangan yang positif serta memberikan pemaham dan edukasi lebih terhadap murid.
Paulo Freire beserta para tim juga mampu mengajak kaum tuna aksara di seluruh Brasil untuk belajar menulis dan membaca dengan waktu yang singkat, tidak lebih dari 45 hari. Di negara kita sendiri mayoritas sudah bisa mengenal membaca dan menulis, walaupun mungkin beberapa ada yang masih sulit untuk mengaplikasikannya. Freire beserta tim tidak hanya mengajarkan tentang membaca dan menulis saja kepada kaum tuna aksara, namun juga mengajarkan ke proses kesadaran politik, sehingga mereka mampu berpartisipasi aktif dan mengikuti perkembangan secara nyata sehingga mampu memberikan arah serta menyalurkan pandangan mereka atas suatu masalah dalam negara tersebut.
Freire menggunakan istilah ‘konsientisasi’ sebagai kata kunci yang sering ia gunakan, harus dimengerti. Kesadaran diri tidak hanya berhenti pada tahap refleksi saja, namun juga berjalan pada aksi nyata yang akan selalu direfleksikan ke dalam kehidupan nyata sebagai proses timbal balik yang berjalan terus-menerus. Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit dari kita yang sadar akan sesuatu namun kita tidak beraksi atau merefleksikannya, sehingga hanya berhenti pada kesadaran saja. Hal ini patut kita hindari dan juga selalu mengimbangi dengan aksi nyata oleh diri kita masing-masing akan seluruh hal.
Selama hidupnya, Paulo Freire memberikan banyak sekali pelajaran dan beliau tidak lupa untuk memberikan beberapa sikap teladan milik beliau, seperti pribadi yang terbuka, jujur, luga, kreatif, kritis, dan juga penuh perjuangan. Beliau juga selalu sungguh-sungguh dalam melakukan segala sesuatu agar perbuatannya sesuai dengan perkataannya. Nah ini yang perlu ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Selalu kompetensi akan kemampuan yang ada serta menyesuaikan perbuatan dengan perkataan kita. Karena tidak sedikit pemerintah di negara kita sendiri yang hanya melegakan perkataan saja kepada masyarakat, namun perbuatannya nihil. Terlalu banyak janji dan angan-angan sehingga perbuatan dan relisasi yang tidak ada atau tidak terwujud.
Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire menuliskan, “saya akan merasa puas jika di antara para pembaca karya saya ini terdapat mereka yang dengan kritis memperbaiki kekhilafan-kekhilafan dan kesalahpahaman, mempertajam kesimpulan dan memberi ke luar atas masalah yang belum saya pahami.” Dalam buku ini juga menyangkut masalah sentral bagi manusia yaitu humanisasi. Humanisasi ialah segala sesuatu yang harus diperjuangkan, karena dalam sejarah menunjukkan bahwa humanisasi dan dehumanisasi merupakan alternatif yang nyata. Namun hanya humanisasi yang memiliki sebutan manusia sejati. Tidak sedikit tugas humanisasi ini disangkal dan juga diputarbalikkan oleh ketidakadilan serta kekrasan kaum penindas. Dan pada saat itu, kaum tertindas pun rindu akan kebebasan dan keinginan atas segala sesuatu.
Dehumanisasi tidak hanya soal mereka yang dirampas atau ditindas, namun juga soal mereka yang merampas dan juga menindas. Dalam perjuangan humanisasi, manusia tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas. oleh karena itu, harus ada perjuangan untuk membebaskan mereka serta membebaskan kaum penindas pula. Rasa untuk membebaskan tersebut harus berasal dari kaum tertindas, karena tidak mungkin kaum penindas itu punya pemikiran serta angan-angan untuk membebaskan diri mereka dari penindas, karena mereka sendirilah yang berulah.
Hanya kaum tertindas yang mengerti bagaiman rasanya penindasan yang mengerikan, karena kaum tertindas lah yang mengalami dan merasakan beban penindasan. Mereka pula yang memahami harus adanya kebebasan tanpa adanya sesuatu paksaat hingga penindasan. Supaya kesadaran itu ada, maka diperlukan kesadaran dan relasi atas kaum penindas dan kaum tertindas.