KABARMUH.ID, Sukoharjo – Jum’at, 8 Rabi’ul Awwal 1446H/13-9-2024. Ustaz Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah membersamai teman-teman IMM Sukoharjo dalam acara Pelatihan Muballigh Mahasiswa Muhammadiyah (PM3).
Di era disrupsi saat ini, kita memerlukan sosok dan gagasan termasuk tradisi besar yang telah terbukti nyata dalam sejarah umat manusia. Nabiyullah Muhammad ‘alaihissalam tentu menjadi prototype ideal yang difirmankan Allah Ta’ala, “laqad kāna lakum fī rasūlillāhi uswatun hasanah” (QS. Al-Ahzāb:21).
Di antara pewaris kenabian dalam sejarah panjang Muhammadiyah, utamanya ialah KH Ahmad Dahlan rahimahullāh. Beliau lebih mempresentasikan sosok “man of action” daripada “man of thought”. Kisah pengajaran surah Al-Ma’un berbulan-bulan sampai menjadi “tafsir ‘amali” menjadi bukti nyata. Menjadikan Al-Qur’an sebagai aktivitas (praksis-sosial), dan tak semata-mata sebagai kata-kata suci. Beliau berhasil memadukan secara indah antara teosentrisme dan aktivisme social kemanusiaan. Hal ini memerlukan etos kerja dan mobilitas sosial yang berorientasi menebar manfaat dalam amal-amal sosial yang kongkret (al-itsar; altruistik); “membumikan Islam”, dan bukan slogan hampa.
Narasi dan aksi Kiai Dahlan dapat kita lacak pada pemikiran berkemajuan Syaikh Mohammad Rasyid Ridla (1865-1935 M/1282-1345 H), seorang tokoh intelektual dan pergerakan Islam terkemuka di Mesir, sekaligus sebagai salah satu mata rantai (sanad) pembaharuan keislaman di Muhammadiyah. Perhatikan misalnya, pandangan beliau tentang visi utama Al-Qur’an dalam kitab bertajuk “Maqashid al-Qur’an min al-Wahyi al-Muhammadiy”. Menurutnya, terdapat sepuluh visi utama diwahyukanNya Al-Qur’an: (1) Penjelasan tentang tiga pondai agama yang diserukan oleh para Rasul ‘alaihimussalam [beriman kepada Allah Ta’ala, keyakinan tentang Hari Kebangkitan dan pembalasan, dan amal shalih yang konkret]; (2) Penjelasan tentang persoalan kenabian dan misi para Rasul ‘alaihimussalam; (3) Merawat kesempurnaan jiwa kemanusiaan, baik pada level individu, jamaah, dan bangsa; (4) Reformasi kemanusiaan, sosial, politik kenegaraan; (5) Penjelasan keutamaan ajaran Islam dalam segala aspek kewajiban yang disyariatkanNya.
Selanjutnya, (6) Penjelasan tentang hukum politik Islam; (7) Bimbingan reformasi dan tata kelola serta pendayagunaan harta kekayaan; (8) Reformasi sistem peperangan militer; (9) Proteksi hak-hak kemanusiaan, keagamaan, dan sipil kaum perempuan; dan, (10) Pembebasan segala bentuk perbudakan di muka bumi.
Sepuluh visi Al-Qur’an tersebut sangat relevan dengan visi Islam Berkemajuan yang diusung oleh Muhammadiyah. Inti dari narasi yang digagas dan dilaksana- kan dalam praksis gerakan Kiai Dahlan dapat diringkas dalam satu kata “kemaju- an” (taqaddum ílmiy; hadlârah), lawan kata “kemunduran” (takhalluf/badâwah). Pandangan hidup yang berhadap- hadapan dengan ruh tauhid, ilmu pengetahuan, dan kemajuan disebut sebagai “jahiliyah”, nisbah kepada karakter kejahilan permanen yang dimaknai sebagai suatu realitas buruk yang menghegemoni kehidupan masyarakat pra-kenabian berupa kejahilan manusia tentang ketuhanan Allah Taála, dan kebodohan mengenai the way of life para Rasul álaihimussalam.
.
Pandangan hidup Islam seperti ini hanyalah dapat diterima dalam suatu ekosistem kehidupan yang “ilmiyah”, yang menicayakan masyarakatnya memiliki kebudayaan dan tradisi kehidupan yang bermutu tinggi, dan bervisi kemajuan yang melampaui realitas zamannya; tidak terkekang dengan kekinian (kontemporer) semata, dan tidak pula kedisinian (kontekstual). Dari sini kita pahami secara seksama perintah pertama kepada Nabinya ‘alaihissalam “iqra bismi Rabbikalladzi khalaq”.
Sumber: Instagram fathurrahmankamalofficial