EsaiFeatured

Rakyat Kecil dan Pendidikannya yang Tertindas

Oleh : Desprevita Khairunnisa Ekananda (202110230311035)

Buku Pendidikan Kaum Tertindas ini berisi tentang bagaimana pengaruh pemikiran Paulo Freire di bidang pendidikan juga bidang-bidang besar lainnya. Buku yang merupakan hasil pengamatan Paulo Freire selama 6 tahun dalam pengasingan politik, pengamatan yang diperkaya oleh apa yang telah lebih dahulu dihasilkan oleh Paulo Freire lewat kegiatan-kegiatan berpendidikannya di Brasil. Juga berisi bagaimana kaum yang tertindas terlihat ingin merampas kembali kemanusiannya yang telah dirampas dan ingin merasakan dan mendapatkan kebebasannya kembali. Namun, mereka yang ingin memperjuangkan kebebasannya tidak boleh menjadi penindas. Kaum yang tertindas tidak boleh berbalik menjadi kaum penindas.

Penulis buku ini yaitu Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 dan meninggal pada 2 Mei 1997, merupakan seorang tokoh pendidikan di Negara Brazil dan menjadi teoretikus pendidikan yang cukup berpengaruh di dunia. Pada buku Pendidikan Kaum Tertindas ini, Paulo Freire mengemukakan sistem pendidikan yang dapat meng-adakan peserta didik atau siswanya. Paulo Freire kecil sudah biasa hidup dan bergaul dengan “kaum-kaum tertindas”, dan berkat itu Ia dapat menciptakan dan melahirkan ide-ide bagus dan berilian mengenai pendidikan. Berbekal nilai pas-pasan, Ia melanjutkan pendidikannya dan karena kondisi keluarga yang sudah agak membaik, Paulo Freire mampu menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutannya dan masuk Universitas Recife dengan mengambil jurusan hukum. Selain belajar ilmu hukum, Paulo Freire juga belajar mengenai ilmu filsafat dan ilmu psikologi bahasa sambil menjadi guru penggal-waktu atau paruh waktu bahasa Portugis di sebuah sekolah lanjutan.

Setelah menikah dengan Elza Maia Costa pada tahun 1944, Paulo Freire mengatakan bahwa Ia merasakan tumbuhnya perhatian mengenai teori-teori tentang pendidikan. Paulo Freire mengatakan bahwa Ia lebih banyak membaca buku tentang pendidikan daripada membaca buku tentang ilmu hukum. Setelah lulus sarjana hukum, Paulo Freire bekerja sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, Ia bahkan menjabat sebagai Direktur Bagian Pendidikan dan Kebudayaan (SESI) di negara bagian Pernambuco.

Pada tahun 1960-an, ada banyak keresahan sosial di Brasil. Pada masa itu penduduk Brasil mencapai sekitar 34,5 juta jiwa dan hanya 15,5 juta jiwa yang dapat mengikuti pemilihan umum. Hak pemilihan saat itu dikaitkan dengan bagi yang bisa dan mampu menuliskan namanya masing-masing maka akan diperbolehkan mengikuti pemilihan umum tersebut. Presiden Brasil pun diganti setelah pemilihan umum tersebut dan Paulo Freire ditugaskan menjadi Direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife dimana Universitas tersebut menerapkan program kenal aksara di kalangan petani yang berada di daerah timur laut. Paulo Freire dan tim-timnya bekerja ke seluruh Brasil dan berhasil menarik kaum tuna aksara untuk mau belajar membaca dan menulis dalam waktu yang cukup singkat, yaitu tidak lebih dari 45 hari. Apa yang dibangkitkan oleh Paulo Freire dan tim-timnya bukan hanya sekadar membaca dan menulis, tetapi juga membawa mereka ke proses kesadaran politik yang membuat mereka ingin berpartisipasi dan aktif secara nyata untuk ikut menentukan arah perkembangan bersama-sama.

Pada tahun 1964 Paulo Freire resmi dipenjarakan dengan tuduhan menjalankan kegiatan subversif lalu dia dibebaskan setelah tujuh puluh hari mendekam di dalam penjara. Setelah keluar dari penjara, Ia harus meninggalkan negara tanah airnya. Ia pun bertolak ke Cile, disana program-program pendidikannya diterima dan diresui oleh pemerintah dan Ia mulai menulis dan mempublikasikan buku pertamanya.

Menjelang tahun 1970, Paulo Freire menerima undangan dari Amerika Serikat. Kala itu Amerika serikat sedang dilanda banyak huru-hara mulai dari bentrokan-bentrokan sampai oposisi terhadap terlibatnya pemerintah Amerika Serikat dalam perang di Asia saat itu. Keadaan tersebut tentu saja sangat mempengaruhi Paulo Freire. Ia dapat melihat gejala-gejala terkucilkannya orang-orang yang tidak berdaya, baik pada bidang ekonomi, social, politik maupun budaya.

Humanisasi merupakan masalah yang sentral bagi manusia. Humanisasi adalah hal yang harus dan sedang diperjuangkan. Kaum tertindas menghadapi sebuah realitas dimana kaum tertindas disuguhkan pada dua buah pilihan, apakah mereka ingin menjadi diri sendiri atau mereka ingin menjadi pribadi yang menolak atau menerima gambaran tentang kaum tertindas. Kita diajak untuk berani memiliki kebebasan karena pada dasarnya kebebasan merupakan suatu keharusan dan kebebasan ini hanya akan tercapai dengan usaha pembebasan diri dari ketidakadilan atau penindasan.

Pendidikan yang digagas oleh Paulo Freire dalam buku ini adalah sebuah pendidikan yang membebaskan, karena pada saat kita mengharapkan pendidikan yang humanis, itu berarti kita sedang berjuang dan melawan pendidikan yang dehumanis atau pendidikan yang menjadikan guru atau pengajar sebagai tokoh utama.

Mengapa Paulo Freire memperjuangkan pendidikan kaum tertindas, itu semua dilakukan karena Ia ingin adanya suatu kesadaran bagi generasi-generasi penerus untuk tidak menjadi kaum yang menindas, yang cenderung akan mengubah segala sesuatu yang ada di sekitarnya menjadi objek kekuasaan mereka. Oleh sebab itu, pada hakikatnya kesadaran adalah sesuatu yang terpisah dari dirinya, berada di luar dirinya, yang dimengerti oleh kemampuan berpikirnya.

Jika dilihat dari sistem pembelajaran yang ada dan sudah menjadi metode pembelajaran alternatif, dimana guru atau pengajar hanya memberikan dan menyampaikan materi lalu murid atau pelajar bertugas untuk menerima apapun yang disampaikan oleh gurunya. Murid terlihat seperti tidak diberikan ruang bergerak dalam sistem pembelajaran yang seperti ini. Tidak ada komunikasi atau diskusi yang benar-benar nyata yang terjadi antara pengajar dengan pelajar, dan masih ada banyak sekolah yang menerapkan sistem pembelajaran yang menjadikan guru atau pengajar adalah tokoh utamanya. Ini adalah realita yang harus dihadapi dimana pendidikan akan selalu terlihat semakin membosankan hari demi hari. Seorang guru yang berperan menjadi pencerita lalu mengarahkan para murid untuk menghafal dan memahami secara mekanik apa isi pelajaran yang diceritakan oleh guru. Paulo Freire menyatakan bahwa sistem pendidikan yang seperti ini disebut sebagai “pendidikan sistem bank”, yang mengistilahkan dimana pengajar atau guru adalah orang atau nasabah yang akan mengisi lalu siswa atau pelajar adalah rekening kosong yang siap untuk di isi. Sistem pembelajaran seperti ini sering dinilai kurang efektif karena terlihat seperti siswa merupakan robot yang harus menerima apa yang disampaikan oleh guru atau pengajar.

Kesimpulan dari buku Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire ini adalah menjabarkan kepada kita bagaimana realita pendidikan yang dimana hari demi hari sulit untuk diubah dan perlu dan membutuhkan kita untuk diperbaiki bersama. Ini merupakan hak kebebasan semua orang dalam hal pendidikan untuk mendapatkan kebebasan dari penindasan dan tertindas.

https://www.kompasiana.com/desprevitananda7258/62452458bb44864a9d2c7604/topik-refleksi-atas-bab-pendahuluan-dan-prawacana-di-buku-pendidikan-kaum-tertindas#

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button