Opini

Reorientasi dan Kesadaran Kolektif sebagai Jalan Transformasi Pendidikan

Oleh: Najib Maulana Alfikri, Guru Muhammadiyah

Di tengah hiruk-pikuk narasi tentang pentingnya pendidikan sebagai jalan menuju masa depan yang cerah, realitas menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita justru semakin mengkhawatirkan. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai hak dasar semua orang, melainkan telah berubah menjadi barang dagangan. Esensinya sebagai proses pembentukan karakter, pengembangan pengetahuan, dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan mulai tergeser oleh gengsi, fasilitas mewah, dan status sosial.

Sejumlah institusi pendidikan kini menjelma menjadi entitas bisnis, di mana angka-angka dan citra menjadi lebih penting ketimbang proses belajar itu sendiri. Orientasi pada keuntungan kerap mengorbankan cita-cita pendidikan sejati. Baik siswa maupun guru mulai merasakan tekanan dari sistem yang lebih menghargai hasil instan dan tampilan luar, daripada proses pembelajaran dan pembentukan karakter. Ketika uang menjadi poros utama dalam dunia pendidikan, maka kesetaraan pun semakin sulit dicapai.

Bintang Pratama dalam bukunya Komersialisasi Pendidikan di Indonesia menulis, “Pendidikan telah menjadi ladang komersial, dari penerimaan siswa baru, ujian, hingga buku ajar. Semuanya dimonetisasi.”

Pernyataan ini menjadi kontras dengan komitmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menegaskan bahwa “Pendidikan adalah hak semua orang yang harus dilindungi dan diakses secara adil. Pendidikan juga dianggap sebagai investasi penting dalam pengembangan sumber daya manusia dan kemajuan bangsa.” Seharusnya, pendidikan menjadi jembatan penghubung antar lapisan sosial, bukan dinding pemisah. Pertanyaannya: benarkah pendidikan hari ini masih membebaskan, atau justru telah menjadi pasar yang melupakan misi utamanya?

Kembali ke Esensi Pendidikan

Pendidikan sejatinya adalah sarana untuk membentuk individu yang berpikir kritis, berperilaku baik, dan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat. Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan justru sering kali menyimpang dari tujuan awal. Plato dalam Republika menulis, “Arah pendidikan di awal akan menentukan kehidupan seseorang di masa depan.” Maka, jika sejak dini peserta didik dijejali semangat materialisme, bukan tidak mungkin kehancuran moral menjadi harga yang harus dibayar.

Reorientasi pendidikan tidak bisa hanya dilakukan di tataran kebijakan atau lembaga pendidikan. Prof. Armai Arief, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, menekankan bahwa perubahan pendidikan harus lahir dari pemahaman bersama seluruh elemen—pemerintah, pendidik, orang tua, siswa, dan masyarakat umum. Pendidikan adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya segelintir pihak. Maka, perlu ada ruang diskusi lintas sektor untuk menyusun kembali arah pendidikan yang berakar pada nilai-nilai humanis, kebebasan berpikir, dan relevansi terhadap tantangan zaman.

Perubahan sosial dan ekonomi menuntut sistem pendidikan yang peka terhadap realitas masyarakat dan dunia kerja. Pendidikan harus melahirkan agen perubahan yang tak hanya memiliki kecakapan teknis, tetapi juga empati sosial dan semangat kewirausahaan. Anies Baswedan pernah menekankan, “Pendidikan bukan hanya tentang mencetak tenaga kerja, tapi membentuk warga negara. Pendidikan terlalu fokus pada hasil ekonomi—nilai, gelar, kerja—tanpa memperhatikan dampak sosial.”

Pendidikan harus berorientasi pada pengembangan keterampilan hidup, integritas moral, dan tanggung jawab sosial. Di era globalisasi yang sarat alienasi, konsumerisme, dan krisis identitas, pendidikan harus menegaskan kembali misinya membentuk manusia utuh. Seperti disampaikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah sarana untuk memerdekakan manusia, baik dalam berpikir maupun bertindak. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed pun menegaskan bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membebaskan, membongkar penindasan, dan berpijak pada kenyataan sosial.

Kesadaran Kolektif sebagai Kunci Transformasi

Perubahan sistem pendidikan hanya bisa dicapai melalui kesadaran kolektif. Kesadaran ini bukan sekadar pengakuan bahwa ada masalah, tapi bentuk pemahaman kritis tentang akar persoalan dan komitmen untuk bersama-sama mengubahnya. Emile Durkheim dalam The Division of Labor in Society menyebutkan bahwa kesadaran kolektif adalah fondasi integrasi sosial dan kekuatan moral masyarakat. Di sinilah letak pentingnya solidaritas sosial yang menjadi landasan perubahan.

Dalam konteks kehidupan berbangsa, kita tak bisa terus menerus saling menyalahkan saat menghadapi masalah pendidikan, moralitas, atau krisis lingkungan. Kita harus berani bertanya, “Apa yang bisa kita ciptakan bersama?” Bukan sekadar, “Apa yang bisa saya dapat?”

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mengingatkan bahwa kekuatan sebuah peradaban bergantung pada ikatan dan kesadaran kolektif. Ketika kesadaran sosial merosot, individualisme meningkat, dan rasa tanggung jawab memudar, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.

Pendidikan untuk Semua, Tanggung Jawab Bersama

Pendidikan bukan hanya terjadi di ruang kelas. Ia berlangsung di rumah, jalan, ladang, bahkan di dunia digital. Guru bukan satu-satunya pendidik; orang tua, tokoh masyarakat, media, dan bahkan influencer pun memiliki tanggung jawab moral dalam menyemai nilai-nilai pendidikan. Kesadaran kolektif juga berarti menolak diam saat anak-anak putus sekolah karena biaya, guru honorer diperlakukan tidak adil, atau ketika pendidikan dikomersialisasikan atas nama “kualitas”.

Pendidikan adalah investasi sosial jangka panjang. Kesadaran akan pentingnya peran semua pihak akan melahirkan solidaritas. Dari solidaritas itulah tumbuh aksi nyata yang mendatangkan perubahan.

Maka, mari kita wujudkan pendidikan yang merdeka, manusiawi, dan berkeadaban. Pendidikan yang bukan hanya mencetak manusia pintar, tapi juga manusia bermoral dan bertanggung jawab. Sebab hanya dengan kesadaran bersama, kita dapat membangun masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button