Oleh : Luthfia Anisa’ (202110230311040)
Pada era ini pendidikan merupakan komponen penting dalam hidup. Pendidikan merupakan jembatan bagi kalangan masyarakat yang ingin memutar nasib status sosialnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa seorang yang tidak memiliki fondasi pendidikan yang kuat kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam menggapai status sosial yang dihormati masyarakat pada umumnya. Namun hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat di Indonesia dan beberapa negara lainnya yang masih menganut sistem yang menindas para pelajar supaya sejalan dengan pendapat pengajar atau lebih banyak dikenal sebagai istilah pendidikan dehumanis. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh seorang penulis buku dari Brasil bernama Paulo Freire, dia mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia terutama agar mengenal eksistensinya. Menurutnya pendidikan humanis yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia sangat dibutuhkan karena sistem pendidikan tersebut menempatkan manusia pada suatu objek, bukan subjek. Sistem pendidikan yang diciptakan oleh Freire merupakan sistem pendidikan yang membebaskan tanpa ada perbedaan starta sosial dan menciptakan sistem humanisme di dalamnya. Yang artinya kita sedang bergerak melawan sistem pendidikan dehumanisme. Sistem dehumanisme sendiri memosisikan seorang pengajar sebagai pemeran utama, sedangkan peserta didik harus menerima semua pendapat dari pengajar. seorang murid dan guru harus merasakan bagaimana menjadi subjek dan objek saat proses pembelajaran berlangsung. Freire juga mengungkapkan bahwa pembebasan kaum tertindas dalam hal pendidikan harus dibarengi dengan kesadaran dari kaum tertindas dan penindas, jika kaum tertindas tidak memiliki keinginan untuk berbicara dan atau bertindak dengan keadaan yang di alami akan mustahil jika sistem pendidikan yang bebas dapat terjadi.
Perjalanan Paulo Freire menjadi penggagas kebebasan dan humanisme pendidikan tidaklah suatu yang yang mudah. Freire sempat dipenjarakan karena mengkritik seorang cendekiawan asal Brasil yang menulis sebuah artikel yang terlalu condong kepada sistem pemerintahan di Eropa, dia berpikir bahwa pendidikan di Brasil masih tergolong kuno dan tidak ada pergerakan di dalamnya. Keterlibatan Freire dalam bidang pendidikan di mulai saat dia ditunjuk menjadi direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife untuk melaksanakan program kenal aksara dan setelah itu ia mulai menulis buku-buku yang hingga sekarang masih dikenal oleh khalayak ramai, salah satu buku yang paling terkenal adalah buku yang berjudul Pedagogy of the Opressed atau yang lebih sering dikenal Pendidikan Kaum Tertindas. Pria kelahiran 19 September 1921 ini merupakan tokoh pendidikan yang sangat pemberani dan kontroversial, karena pada eranya dia berani menuntut sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin yang tertindas namun sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa dan kaum penindas.
Jika ditelaah lebih dalam, sistem pendidikan di Brazil pada zaman perjuangan Freire tidak jauh berbeda dengan keadaan sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem kurikulum lama, pada masa itu kita masih sering banyak menemui praktik-praktik penindasan dan ketidakbebasan saat menempuh pendidikan. Para pelajar SD hingga SMA dituntut agar unggul secara akademiknya saja dan hanya menerima materi dari para pengajar, tidak ada kesempatan bagi para pelajar untuk berpendapat dan mengutarakan pendapatnya, bahkan akan dianggap sebagai siswa yang tidak sopan jika menyanggah pendapat dari guru. Menurut teori dari Freire, pada sistem pendidikan kurikulum lama, pelajar diibaratkan sebagai ‘sistem bank’ yang tugasnya hanya menampung ilmu serta pengetahuan dari guru atau pengajar tanpa adanya kesempatan untuk bertukar pikiran di antara keduanya.
Tidak adanya diskusi dan dialog antara pengajar dan pelajarlah yang menjadi kesalahan cukup fatal pada sistem ini. Freire mengungkapkan bahwa praksis mendasari konsep dialog dalam pendidikan. Dialog adalah kebutuhan eksistensial manusia. Menurut Freire dialog merupakan aksi dan refleksi, maka dialog bukan sekedar memindahkan ide/pendapat kepada orang lain, bukan pula sebuah perdebatan. Dialog sendiri menurut Freire merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sabar dan telaten untuk mencapai hubungan horizontal yang baik dan sikap saling percaya di antara para pelaku dialog (pengajar dan pelajar). Tentunya harus dibarengi dengan pemikiran kritis dan logis saat berdialog. Karena dengan melibatkan pemikiran kritis, dialog mampu mempertontonkan hubungan antara dunia dan manusianya, serta diharapkan tidak ada praktik dikotomi di dalamnya. Para pelaku dialog yang kritis memahami bahwa realitas adalah proses dan perubahan berkelanjutan, setiap pemikiran tidak terlepas dari aksi, dan setiap hubungan aksi dan pemikiran mampu menghancurkan penindasan dan menciptakan sistem pendidikan baru yang lebih mengedepankan humanisme. Realitasnya pendapat dan pemikiran Paulo Freire memang benar adanya, walaupun tidak dapat dijadikan acuan, namun pada era ini praktik penindasan dan dehumanisme dapat berdampak cukup buruk terhadap karakter anak bangsa.
Pada tahun 2013 pemerintah mengganti sistem kurikulum lama ke kurikulum baru yang lebih modern dan kreatif, meskipun sistem ini masih jauh berbeda dengan pendapat Freire, setidaknya hal tersebut akan membantu. Dengan harapan bahwa setelah perombakan kurikulum Pada sistem kurikulum ini, pelajar diajak untuk lebih berpikir kritis serta tidak hanya mengandalkan pemaparan materi dari pengajar atau guru. Walaupun begitu usaha pemerintah tidak berjalan sesuai dengan rencana, seperti benang kusut, masalah ini tidak kunjung menemukan ujungnya. Saat pertama kalinya kurikulum baru diterapkan banyak terjadi polemik dari pelajar dan orang tua, mereka menilai bahwa sistem ini hanya merugikan para pelajar secara finansial lantaran uang gedung yang di bayarkan tidak sepadan dengan jasa yang diberikan lembaga pendidik. Seperti yang diungkapkan oleh Paulo Freire bahwa pembebasan serta humanisme sistem pendidikan akan terlaksana jika dialogik berlawanan dengan anti-dialogik. Tindakan dialogik berarti sikap yang menunjukkan kerja sama, yang artinya sangat diperlukan kesatuan antara pemimpin dengan masyarakat untuk mencapai sistem pendidikan yang bebas dan humanisme. Sangat mustahil jika kaum tertindas akan bebas hanya dengan penekanan atau pemaksaan dari pemimpin. Sedangkan sikap anti-dialogik ditunjukkan dengan penyesuaian diri, akibatnya tidak ada perubahan di dalamnya dan tenggelam dalam tindasan dan ketidakbebasan.
Pada hakikatnya pendapat Paulo Freire mengenai sistem pendidikan serta pemikiran cemerlangnya mengenai pembaharuan sistem pendidikan memang berhubungan dengan persentase kemajuan pola pikir manusia di seluruh belahan dunia, teori dan pendapatnya menguraikan dengan cara apa manusia pendidikan menjadikan manusia lebih bebas, eksis, dan berpengaruh ke dunianya sendiri. Namun pendapat yang Freire ungkapkan tidak serta merta dapat ditelan mentah-mentah, masih banyak dari beberapa halyang harus disesuaikan dengan keadaan, kebiasaan dan jati diri bangsa, tidak semua negara dapat menerapkan. Dari semua paparan mengenai perjalanan karier Paulo Freire di bidang pendidikan kita dapat mengambil makna bahwa memiliki pemikiran yang berbeda dengan mayoritas masyarakat di zamannya bukanlah suatu kejahatan, lakukanlah selagi hal tersebut memiliki dampak positif. Namun perlu digaris bawahi kembali, bahwa tidak semua pemikiran dari Paulo Freire dapat di contoh dan diterapkan sebagai acuan sistem pendidikan ke beberapa negara, tentunya hal tersebut harus disesuaikan dengan culture, kebiasaan dan jati diri bangsa tersebut, selain itu penulis kurang setuju dengan sikap Freire yang mengkritik seorang cendekiawan, karena artikelnya yang membahas bangsa Eropa. Sikap tersebut kiranya kurang baik, selagi sistem pendidikan dari negara lain itu baik dan sesuai dengan jati diri bangsa, sah-sah saja jika diterapkan bahkan dijadikan acuan sebagai sistem pendidikan.