EsaiFeatured

STUDI IMPLEMENTASI STRATEGI PENGENALAN IDENTITAS DIRI DALAM TAFSIR SURAH ADZ-DZARIYAT AYAT 56

Oleh : Andi Rezti Maharani*

Siapa aku? Apa tujuan hidupku?. Dua pertanyaan tersebut merupakan bagian dari pencarian jati diri sebagai manusia. Saat ini, dilansir dari kumparan.com, salah satu permasalahan terbesar remaja ialah krisis identitas diri. Pemahaman akan konsep diri yang keliru bahkan kekhawatiran akan masa depan menjadi momok yang sangat menakutkan di era gempuran zaman yang menuntut agar segala sesuatunya serba efisien dan cepat.

Identitas diri adalah kondisi psikologis ketika individu mampu menerima dirinya secara utuh, berorientasi dan memiliki tujuan secara jelas, dan mampu mempertimbangkan setiap keputusan yang ada di hidupnya. Dengan adanya identitas diri yang mampu dikenali oleh setiap individu, hal tersebut mampu menjawab keresahan tentang pertanyaan, Siapa aku? (Rahayu Neviyarni et al., 2023).

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwasannya akar permasalahan remaja saat ini adalah krisis identitas. Dalam teori psikososialisnya, seorang psikolog, Erik H. Erikson mengungkapkan bahwa masa remaja dari umur 12-18 adalah tahapan di mana remaja mencari identitas dan rentan akan krisis identitas. Individu pada tahap ini berusaha memperjuangkan ego agar keseimbangan identitas tercapai di atas kebingungan identitas yang mereka miliki. Sementara itu, masa remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa ini dapat dikatakan masa rentan sebab akan terjadi banyak perubahan seperti fisik, psikososial, pengetahuan, dan lain-lain. Persiapan menuju dewasa biasanya terdapat ciri yang menonjol yaitu perubahan pada sisi emosional, partisipasi masyarakat, kehidupan percintaan sampai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.

Krisis identitas tidak dimaknai sebagai suatu hal yang negatif, tetapi krisis identitas dipahami sebagai sebuah kondisi kritis (turning point) dalam perkembangannya menuju tahap dewasa sehingga terjadilah ketidakjelasan identitas diri (identity diffusion). Sejatinya, hidup manusia ini memiliki hubungan yang saling keterkaitan antara organ tubuh dan juga jiwa. Organ tubuh dan jiwa akan berjalan beriringan menciptakan sebuah harmoni yang dinamis dalam mengembangkan psikososial dan juga pembentukan identitas diri (Inayah et al., 2021).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa UIN Jogja berjudul, “Krisis Identitas dalam Perkembangan Psikososial Pelaku Klitih di Yogyakarta” menghubungkan antara perilaku kenakalan remaja pada pelaku klitih dengan krisis identitas. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terdapat krisis identitas yang disebabkan oleh faktor internal dan juga eksternal. Faktor internal berasal dari kebingungan diri, sedangkan untuk faktor eksternal beragam seperti tidak diberikan kesempatan dalam sebuah komunitas masyarakat hingga kurang kasih sayang dari orangtua (Inayah et al., 2021).

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tentu saja memandang permasalahan ini berdasarkan worldview al-Qur’an. Lebih lanjut, seorang ulama salaf al-Ghazali mengungkapkan di dalam kitabnya Kimiya as-Sa’adah bahwa konsep mengenal diri sendiri adalah kunci mengenal Allah. Penjelasan tentang mengenal diri ini ada di bagian pertama kitab tersebut. Di sini, al-Ghazali menegaskan akan konsep mengenal diri bukanlah soalan mengenai fisik tangan, kepala, kaki dan lainnya. Namun, pemahaman akan diri sendiri yang dimaksudkan lebih dikerucutkan sehingga mampu menjawab pertanyaan filosofis seperti, Siapa aku? Dari mana aku berasal? Ke mana aku akan pergi? Apa tujuanku hidup? Di mana kebahagiaanku?

Pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat fisik saja hanya akan membuat manusia memperburuk dirinya sendiri. Bahkan justru akan membuat manusia terjebak hingga menjurus pada pertanyaan yang bersifat nafsu hewani seperti, Bagaimana aku bisa makan? Apakah aku bisa kaya? Apakah aku bisa bahagia dengan kekayaan yang aku miliki?

Puncak dari mengenal diri sendiri menurut al-Ghazali adalah kebahagiaan. Sebelumnya manusia harus melalui 4 tahapan pengetahuan agar sampai pada puncak kebahagiaan yang hakiki. Pertama, manusia harus mengenal dirinya sendiri, kedua, manusia mampu mengenal Tuhannya, ketiga, setelah melewati tahap pertama dan kedua, manusia mampu memahami tentang dunia ini, keempat, manusia mampu mengetahui perihal akhirat (Martin & Hambali, 2023).

Pertanyaan filosofis yang digunakan adalah terkait tujuan penciptaan manusia. Mengapa? Sebab manusia yang hidup dengan memahami untuk apa hidupnya, maka dirinya akan memiliki hidup yang berkualitas dan terhindar dari kebingungan identitas. Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya bahwa tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk membekali dirinya dengan memperbanyak beribadah kepada Allah. Manusia diibaratkan sebagai seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan menuju tempat yang kekal yakni akhirat (Muhammad, 2018).

Sejalan dengan firman Allah dalam al-Qur’an Surah Adz-Dzariyat ayat 56 yang berarti, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” . Seperti yang telah dibahas sebelumnya tentang konsep diri dan korelasinya dengan tujuan hidup, maka ada beberapa tafsir surah yang akan semakin memahamkan tentang ibadah yang dimaksud.

Seorang ulama hadits di Madinah, Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir Aisar bahwa Allah tidak menciptakan manusia untuk bersenang-senang, bermain, atau apa pun, melainkan Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dengan tunduk kepada-Nya dan tunduk pada perintah dan larangan-Nya (Al-Jazairi, 1990).

Di dalam kitab Tafsir Ibnul Qayyim milik Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, beliau memaparkan bahwasannya Allah tidak menciptakan manusia dan jin karena Allah butuh atau mengambil manfaat dari mereka. Namun, Allah menciptakan manusia sebab Allah bermurah hati agar manusia dapat beribadah dan meraih keuntungan dari Allah atas apa yang mereka lakukan. Pada kitab ini pula terdapat penegasan bahwa Allah adalah Zat tunggal yang wajib disembah dengan segala bentuk peribadahan. Dan di antara yang paling tinggi dan mulia di antaranya adalah pengabdian, permusuhan, cinta, kebencian disandarkan pada lillahi ta’ala serta berjuang di jalan Allah semata (Al-Jauziyyah, 2005).

Dan konsep ibadah sendiri menurut Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya  Tafsir At-Tahrir wa at-Tanwir mengatakan bahwa makna ibadah adalah menunjukkan ketundukan terhadap Zat yang diibadahi dan mengimani bahwa Allah-lah pemilik kemaslahatan dan keburukan bagi hambaNya secara terus-menerus, sebab Zat yang diibadahi adalah Ilahun (sesembahan) bagi hamba, sebagaimana Allah meriwayatkan firman. dari Firaun “Dan kaum mereka adalah penyembah Kami.” (Asyur, 1984).

Lantas, bentuk strategi apa yang dapat diimplementasikan dalam mengenali identitas diri serta mencegah dari adanya krisis identitas yang mampu membawa seorang manusia terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama dan negara menurut tafsir Surah Adz-Dzariyat ayat 56?

Berdasarkan tafsir tersebut, hal pertama yang perlu ditanamkan pada diri manusia sejak ia mampu menggunakan akalnya dengan baik adalah penanaman tauhid. Masa-masa peralihan yang disebutkan oleh psikolog Erik di atas menjadi masa emas yang seharusnya mendapatkan curahan perhatian dari orangtua. Keluarga merupakan sekolah utama bagi anak-anak. Perhatian yang diberikan adalah dengan mengenalkan konsep ketauhidan kepada diri remaja. Ketika seorang manusia memiliki orientasi yang jelas akan hidupnya, mampu mengenali bahwa dirinya adalah seorang hamba yang tujuannya adalah untuk menghamba kepada Allah, maka terbentuknya identitas diri melalui konsep ini akan mencakup unsur ideologi individu yang kemudian membuatnya dapat mempertahankan segala keputusannya dan tidak mudah diintervensi oleh lingkungan luar.

Kedua adalah pemahaman tentang segala sesuatu yang manusia lakukan di dunia ini akan berimbas kepada diri mereka sendiri. Segala kejahatan yang dilakukan akan merugikan manusia, dan setiap kebaikan akan mendatangkan keridhaan dari Allah. Ketika mindset ini telah terbentuk dan tertanam dengan baik, manusia tidak mungkin akan melakukan segala sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Bahkan, hal tersebut bersifat naluriah. Yang membuat manusia banyak terjerumus dalam hal-hal yang merugikan adalah dorongan hawa nafsu yang menggebu-gebu dan faktor eksternal lainnya.

Oleh karena itu, diperlukan adanya peranan tidak hanya keluarga, tetapi juga peran sekolah, dan masyarakat agar turut andil dalam hal ini. Keluarga menjadi motor penggerak  bagi anak agar anak dapat mengetahui arah yang ia tuju. Peran kedua orangtua kemudian menjadikan anak mampu memahami pola lingkungan pergaulan dan merupakan pondasi pertama dalam membentuk identitas anak. Pemilihan tempat mengenyam pendidikan oleh orangtua juga mempengaruhi pembentukan identitas anak terutama pada masa remaja. Sebab, seorang guru dapat memperkuat identitas seorang anak melalui figur teladan yang dicontohkan. Kemudian, memilihkan anak lingkungan dan masyarakat yang baik juga penting agar di masa rentan tersebut anak dapat mempersiapkan dirinya menuju masa dewasa.

Tentunya, hal seperti ini tidak datang begitu saja. Orangtua juga harus memiliki orientasi kehidupan akhirat yang mengantarkan keluarganya pada ketakwaan kepada Allah. Orangtua merupakan role model dan harus memahami sejatinya akan di bawa ke mana kehidupan dunia. Karena sebelum seseorang menjadi orangtua yang nanti akan bertanggungjawab kepada keluarganya, maka terlebih dahulu seseorang tersebut sudah memiliki pengetahuan akan identitas dirinya dan juga mengenal Allah, Tuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jauziyyah, I.Q. (2005). Tafsir Ibn Qayyim. Darul Kutub Ilmiyyah Lebanon.

Al-Jazairi, A.B.J. (1990). Aysar Al-Tafsiri Li Kalam Al-‘Aliy Al-Kabir. Jeddah: Racem Advertising.

Asyur, I. (1984). At-Tahrir wa At-Tanwir. Ad-Daru At-Tunisiyah.

Inayah, M. N., Yusuf, A. & Umam, K. (2021). Krisis Identitas dalam Perkembangan Psikososial Pelaku Klitih di Yogyakarta Identity Crisis in the Psychosocial Development of Klitih Actors in Yogyakarta. Jurnal PKS, 20(3), 245–256. https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/jpks/article/download/2707/1542/12054

Martin, E. & Hambali, R. Y. A. (2023). Teologi Kebahagiaan menurut Al-Ghazali (Kajian terhadap Kitab Kimiyatus Sa’adah). Jurnal Riset Agama, 3(1), 17–32. https://doi.org/10.15575/jra.v3i1.19318

Muhammad, Rifqi. (2018). Identitas Diri Menurut Al-Ghazali. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 8(2),159-169.

Neviyarni Rahayu, G., Marjohan, Ifdil, Afdal. (2023). Konseling Kelompok Realita untuk Meningkatkan Identitas Diri Pengguna Aplikasi TikTok. Journal on Education, 05(03), 5980–5989.

Soemantri, D., Dewi, A.D., Hayat, S.R. (2022). Peran Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat dalam Membentuk Identitas Kebudayaan Siswa Sekolah Dasar. Journal of Society and Development, 2(2), 1-8.

Wildan. (2024, Maret 4). Permasalahan Remaja: Sepenting itukah Identitas Diri Bagi Remaja?. https://kumparan.com/wildan-mubarok-1707550885629176664/permasalahan-remaja-sepenting-itukah-identitas-diri-bagi-remaja-22FlTpkc7DK

*mahasiswi jurusan Teknik Kimia, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ed : MA

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button