BeritaInspirasi

Dari Desa ke Kota, Haruskah Anak Muda Selalu Merantau?

Oleh Muhammad Rofiqul Anam, Ketua Bidang Perkaderan PW IPM Lampung dan Penggerak Bumiloka Indonesia

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mulai dari tahun 2010, 49,8 persen masyarakat Indonesia pergi dari desa untuk merantau ke kota, persentase tersebut meningkat hingga 56,7 persen di tahun 2020 dan diprediksi akan terus meningkat menjadi 66,6 persen pada tahun 2035, tren perantauan di Indonesia meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 5 persen setiap lima tahun. Meski terlihat mengesankan, fenomena ini justru menyiratkan ironi yang cukup mendalam, mengingat desa yang dulu menjadi pusat pertumbuhan perlahan merasakan mulai kehilangan sumber daya ekonomi, budaya, juga manusia. Stereotip masyarakat Indonesia yang meyakini sepenuhnya bahwa perkotaan memiliki peluang dan kesempatan yang lebih menjanjikan menjadi alasan utama dibalik perantauan, terutama terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Data menunjukkan bahwa banyak perantau yang justru terjebak dalam kemiskinan akibat tingginya biaya hidup dan ketidakmampuan untuk bersaing di dunia yang semakin dinamis dan kompetitif. Selain itu, populasi yang meningkat akibat banyaknya perantau menjadikan perkotaan harus menyediakan infrastruktur dan layanan yang memadai.Jika tidak, kemacetan, kurangnya fasilitas, dan ketimpangan sosial akan semakin meningkatkan kualitas hidup para perantau diperkotaan. Oleh karena itu, meskipun kehidupan di kota menawarkan banyak peluang, kota acapkali menjadi tempat pertemuan antara impian dan realita yang kurang mengenakan. Lalu, bagaimana dengan anak muda, kenapa kita lebih memilih pergi daripada membangun desa sendiri?.

Mengapa Anak Muda Lebih Memilih Merantau ke Kota?

Ketimpangan antara desa dan kota jadi penyebab utama anak muda lebih memilih merantau ke kota. Dalam segmen pendidikan misalnya, data BPS tahun 2023 menunjukkan 5,11 persen anak muda di desa tidak sekolah dan 12,39 persen diantaranya putus sekolah (SD), sementara di kota, hanya 1,93 persen anak muda yang tidak sekolah dan 6,62 persen yang putus sekolah. Selain itu, terdapat 49,16 persen pelajar di kota yang lulus SMA, sementara di desa hanya 27,98 persen. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa menyelesaikan pendidikan hanya pada jenjang SD, yaitu sebesar 31,13 persen.

Ketimpangan pendidikan dapat ditandai dengan adanya kesenjangan kualitas dan kuantitas pada sarana, fasilitas, guru, serta akses transportasi dan komunikasi antara pendidikan di desa dan kota. Tentu saja hal ini memiliki efek domino yang cukup berpengaruh pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di desa, karena peluang dan kesempatan kerja semakin besar seiring tingginya tingkat pendidikan. Diversifikasi ekonomi membuat pedesaan sulit berkembang sehingga tidak mengherankan jika anak muda lebih memilih pergi ke kota. Stigma bahwa “Sukses Itu di Kota” seakan semakin dapat diterima, anggapan bahwa bekerja di kota lebih prestisius daripada di desa menjadi satu keyakinan bagi mayoritas anak muda desa. Kurangnya sosok inspiratif yang sukses dengan tetap tinggal di desa menjadi satu penyebab hal ini dapat terjadi. Selain itu, tekanan sosial membuat anak muda merasa harus meninggalkan desa agar bisa berkembang.

Perkembangan arus modernisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap, perilaku serta struktur sosial dimasyarakat, hal ini menjadikan kebanyakan anak muda mulai meninggalkan nilai-nilai kedaerahanya. Anak muda saat ini atau yang lebih familiar dengan istilah Gen Z cenderung menilai bahwa segala sesuatu yang berbau kedaerahan adalah sesuatu yang terkesan terbelakang atau sebut saja ”ndeso”, terutama terhadap masalah budaya. Tidak jarang kita menemukan anak muda yang enggan bahkan malu untuk menggunakan bahasa daerahnya masing-masing hanya karna agar tidak dianggap ndeso sehingga perlahan tutur bahasa daerah ini mulai ditinggalkan, padahal bahasa daerah adalah warisan budaya dari bangsa Indonesia yang harus tetap terjaga. Hal ini mengakibatkan desa kehilangan sumber daya, anak-anak muda yang seharusnya menciptakan perubahan di desa lebih memilih pergi ke kota untuk memenuhi gaya hidup dan kebebasanya.

Peluang dan Tantangan Generasi Muda Dalam Membangun Desa

Jika hal ini terus terjadi, lambat laun desa akan mengalami “missing generation”, dimana ia akan kehilangan generasi produktif sebagai sumber daya yang seharusnya dapat menciptakan perubahan di desa, dalam hal ini generasi muda. Sejalan dengan Sofyan Sjaf sosiolog IPB, 70 persen generasi muda yang hadir dalam bingkai bonus demografi kedepan diprediksi akan mengalami kemiskinan ekstrem, terutama yang tinggal dipedesaan. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami keadaan dimana desa sebagai sumber kehidupan bangsa akan ditinggalkan oleh kebanyakan anak muda, tentu ini menjadi tantangan yang besar.

Selain itu, desa ini memiliki banyak sekali potensi yang sebenarnya bisa dikembangkan. Namun, acapkali pembangunan desa cenderung hanya berfokus pada aspek fisik seperti jalan tol, waduk, bandara, hingga mega proyek yang memiliki investasi asing besar-besaran. Saya pikir hal ini hanya akan memaksa desa seolah harus menjadi kota yang justru berakibat pada corak sosial-budaya anak muda desa yang menjadi ciri khas akan memudar.

Selain sektor pertanian, peternakan, atau budaya, bagi saya satu hal yang dapat dikembangkan untuk dapat meningkatkan kualitas desa adalah perihal sumber daya manusia, dalam hal ini anak-anak muda. Anak muda harus membangun narasi baru tentang desa, bagaimana menciptakan ruang dan kesempatan untuk sukses di desa dan memberikan dampak yang besar untuk mendobrak stigma yang ada.

Saat ini, banyak sekali program dari pemerintah yang dapat mendorong anak-anak muda desa agar dapat memiliki daya saing dan tidak kalah dengan anak-anak muda yang ada di kota. Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal meluncurkan beberapa program yang masuk dalam dua belas Rencana Aksi Kemendes tahun 2025. Mulai dari program pembangunan ekonomi, budaya hingga wisata, hampir semuanya melibatkan peran anak-anak muda. Oleh karena itu, perihal pembangunan desa memerlukan kolaborasi dan sinergi antara pemerintah bersama masyarakat muda untuk dapat mewujudkan astacita keenam yang menjadi misi bangsa indonesia lima tahun ke depan.

Redaksi : Al Fadhlil Raihan Yunan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button