
KABARMUH.ID,- Beberapa waktu lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan pernyataan Menteri Agama yang menyebut, “kalau mencari uang jangan jadi guru, tapi jadilah pedagang.” Ucapan singkat itu langsung menimbulkan banyak reaksi, terutama dari kalangan pendidik. Bagi sebagian orang, kalimat tersebut terdengar seperti nasihat agar guru tidak semata-mata berorientasi pada materi. Namun bagi banyak guru, ucapan itu terasa menyakitkan, karena seolah-olah profesi guru identik dengan kemiskinan dan hanya sekadar pengabdian.
Sebagai seorang guru, saya memandang bahwa masalah ini tidak mungkin terjadi. Guru bukan sekedar pengabdi, tapi juga seorang profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dengan jelas menyatakan guru adalah profesi. Artinya, ada standar kompetensi, kode etik, dan tanggung jawab besar yang harus dipenuhi. Guru dituntut untuk selalu belajar, menguasai teknologi, memahami psikologi anak, bahkan ikut serta dalam pembangunan karakter bangsa. Jika semua itu dituntut dengan serius, wajar rasanya bila guru juga berharap mendapat penghargaan berupa kesejahteraan yang layak.
Di sisi lain, benar adanya bahwa menjadi guru tidak bisa hanya dipandang sebagai pekerjaan biasa. Ada ruh pengabdian yang menyertainya. Guru adalah teladan. Ki Hajar Dewantara pernah berpesan, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi menjadi panutan, penyemangat, dan pendorong bagi murid-muridnya. Namun, pengabdian tidak dapat dijadikan alasan untuk membiarkan guru hidup serba kekurangan. Serupa dengan kata Buya Hamka, “Kalau hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja hanya sekedar bekerja, kera juga bekerja.” Jadi, mengajar adalah kerja peradaban, yang menuntut profesionalitas sekaligus pengabdian.
Pernyataan yang menyuruh guru “jangan mencari uang” sebenarnya bisa menimbulkan stigma lama: bahwa guru memang harus rela miskin. Padahal, kesejahteraan guru adalah kunci utama bagi keberhasilan pendidikan. Bagaimana mungkin seorang guru bisa mendidik secara total jika ia masih harus memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan dasar keluarganya? Alih-alih mengingatkan guru untuk ikhlas berkorban, lebih baik negara menghadirkan kebijakan yang adil: memperhatikan nasib guru yang terhormat, memberikan izin dengan tepat, dan memberi penghargaan sesuai jerih payahnya.
Pada akhirnya, profesi guru memang memiliki dua sisi: profesi dan pengabdian. Tidak bisa dipisahkan, tidak bisa dipertentangkan. Sejahtera tidak mengurangi pengabdian, dan mengabdi tidak berarti menolak kesejahteraan. Justru, kesejahteraan yang layak akan menjadikan guru lebih tulus, lebih fokus, dan lebih mampu mendidik generasi penerus bangsa.
Pernyataan singkat seorang pejabat mungkin mudah terlontar, tetapi dampaknya bisa melukai hati banyak guru. Oleh karena itu, kita perlu memperbaiki cara pandang. Guru adalah tenaga profesional sekaligus pengabdi bangsa. Menghormati guru berarti menyejahterakan mereka, sebab tanpa guru yang sejahtera, mustahil kita melahirkan generasi yang unggul.
Penulis: Khosiyatika, M.Pd
Ketua Bidang IMMawati Jawa Tengah, dengan keseharian menjadi guru di SD Muhammadiyah Plus Kota Salatiga
Editor : Al Fadhlil Raihan Yunan



