BeritaJabarPersyarikatan

Kaum Muda Lintas Iman Kota Bandung Perkuat Kapasitas Jurnalisme demi Suarakan Keadilan Iklim

KABARMUH.ID, Bandung – Di tengah krisis lingkungan yang kian memburuk, generasi muda lintas iman di Kota Bandung membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari pena dan nurani. Melalui Workshop Jurnalisme Pemuda Lintas Iman yang digelar oleh Eco Bhinneka Muhammadiyah bersama BandungBergerak pada Kamis (12/6). Anak muda dari berbagai agama dan organisasi kepemudaan berkumpul untuk mempelajari cara menyuarakan keadilan iklim lewat jurnalisme yang empatik dan berpihak.

Workshop ini merupakan bagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism), inisiatif yang mengangkat kepemimpinan pemuda, terutama perempuan dan kelompok rentan, dalam menghadapi krisis iklim dengan pendekatan keadilan gender dan spiritualitas lintas iman.

Ketika Sampah Menjadi Cermin Ketidakadilan

Tema “Bandung Lautan Sampah” dipilih bukan tanpa alasan. Bandung sebagai kota besar mencerminkan kompleksitas persoalan iklim yang bersumber dari ketimpangan sosial, lemahnya regulasi, dan gaya hidup konsumtif masyarakat urban. Tapi di balik gunungan sampah itu, ada cerita keadilan yang perlu ditegakkan—dan itulah yang coba dibedah dalam workshop ini.

Parid Ridwanuddin dari GreenFaith Indonesia membuka sesi dengan pemaparan yang menggugah: “Kita butuh lebih dari sekadar data. Kita perlu narasi yang menyentuh iman, yang bisa menggugah gerakan.” Menurut Parid, keresahan generasi muda hari ini adalah modal besar yang perlu disulut menjadi tindakan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas iman dan kampanye berbasis spiritualitas, karena krisis iklim bukan hanya isu sains, tapi juga soal nilai, moralitas, dan keadilan.

Tak hanya belajar teknik menulis dan peliputan, para peserta diajak memahami bagaimana agama-agama mengajarkan kepedulian terhadap bumi. Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, mengajak peserta untuk menggali nilai-nilai religius yang mendukung pelestarian lingkungan. “Semua agama mengajarkan hal itu. Dari Islam yang menyebut kebersihan sebagai bagian dari iman, hingga Tri Hita Karana dalam Hindu dan tanggung jawab pemeliharaan bumi dalam ajaran Kristen. Spirit ini harus kita bangun dalam tulisan kita,” tegasnya.

Bagi Hening, rumah-rumah ibadah bukan hanya tempat berdoa, tapi juga bisa menjadi pusat gerakan lingkungan berbasis keimanan.

Kisah-Kisah dari Akar Rumput

Amalia Nur Milla dari ‘Aisyiyah Jawa Barat turut berbagi kisah tentang bagaimana narasi lingkungan bisa tumbuh dari kisah-kisah sederhana. “Kami sudah susun 73 naskah kultum dari ibu-ibu ‘Aisyiyah di desa-desa. Isinya bukan teori, tapi pengalaman mereka sehari-hari dalam menjaga lingkungan,” katanya. Ia berharap anak-anak muda bisa membuat karya jurnalistik yang menyentuh seperti itu—tapi dengan pendekatan yang lebih kreatif dan menyentuh segmen yang lebih luas.

Tri Joko Her Riadi dari BandungBergerak kemudian membekali peserta tentang semangat jurnalisme warga. Ia menyatakan bahwa cerita-cerita dari pinggiran adalah denyut nadi dari keadilan iklim. “Jangan hanya cari data dari pemerintah. Temui warga. Dengarkan mereka. Suara-suara kecil itulah yang perlu diangkat,” ujarnya.

Membangun Harapan, Menulis Masa Depan

Pelatihan ini dibagi menjadi dua fase: sesi daring sebagai pengantar nilai dan teori, kemudian sesi luring yang lebih aplikatif—berupa pelatihan langsung di lapangan. Di sana, peserta akan belajar teknik reportase, fotografi jurnalistik, dan penyusunan narasi keadilan iklim yang inklusif dan berbasis spiritualitas.

Agenda workshop ini juga akan berlanjut pada 13 Juni dalam forum diskusi bertajuk “Mengadvokasi Keadilan Iklim dari Akar Rumput” dan “Spirit Green Rumah Ibadah”, serta workshop intensif pada 22 Juni untuk praktik lapangan. Semua peserta akan mendapat bimbingan penuh dalam merancang liputan yang mampu menggugah dan memengaruhi perubahan.

Program SMILE ini adalah bukti bahwa generasi muda lintas iman bisa menjadi agen perubahan nyata. Tidak dengan amarah, tapi dengan karya jurnalistik yang kuat, empatik, dan berlandaskan nilai-nilai iman. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, pendekatan lintas agama yang inklusif justru menjadi kunci untuk membangun solidaritas ekologis yang berkelanjutan.

Jika dunia tengah dilanda “lautan sampah”, maka para pemuda ini sedang belajar membangun lautan harapan. Harapan yang lahir dari data, doa, dan dedikasi untuk menyelamatkan bumi bersama-sama.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button