Oleh: Iman Sumarlan,S.I.P., M.H.I*
Amerika Serikat terus-menerus menyebut dirinya sebagai “model demokrasi”. Framing dirinya sebagai “kota di atas bukit” dan “mercusuar demokrasi” masih bergeming di mana-mana hingga saat ini. Seolah-olah, mereka ingin mengatakan bahwa sistem politik yang mereka rancang sepenuhnya untuk membela demokrasi dan kebebasan.
Amerika Serikat memang dikenal sebagai negara yang menganut sistem demokrasi liberal. Dimana sistem ini menekankan pada hak-hak individu, kebebasan sipil, dan perlindungan hukum.
Dalam bukunya yang berjudul “Democracy in America” Alexis de Tocqueville mengakui bahwa gerakan hak-hak sipil dan tindakan afirmatif merupakan hal-hal penting dalam kemajuan demokrasi Amerika. Prinsip “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang diartikulasikan oleh Abraham Lincoln diakui di seluruh dunia.
Tapi bagaimana dengan Amerika Serikat saat ini? apakah visi demokrasi yang sudah mereka bangun masih dipegang erat-erat? belum tentu, bahkan demokrasi di Amerika Serikat saat ini sedang dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang sangat fundamental.
Rasisme yang Mengakar
Para petinggi Amerika sering berkumandang bahwa “manusia semua diciptakan sama”, tapi di sisi lain, rasisme masih menjadi noda yang tak terhapuskan terhadap demokrasi AS.
Kasus George Floyd, seorang warga kulit hitam Amerika, berakibat pada kehilangan nyawanya di Minnesota pada 25 Mei 2020 karena kekerasan penegak hukum yang dilakukan oleh polisi memicu kemarah publik.
Terjadi demonstrasi besar-besaran di 100 kita di 50 negara bagian Amerika. Mereka menuntut keadilan bagi Flyod dan memprotes diskriminasi rasial.
Tentu yang terjadi Flyod hanya satu contoh dari sekian kasus penderitaan tragis yang dialami orang kulit hitam Amerika selama berabad-abad lamanya.
Penemuan dalam sebuah study yang dilakukan oleh University of Washington, sekitar 30.800 orang meninggal akibat kekerasan polisi antara tahun 1980 dan 2018 di AS. Orang Amerika keturunan Afrika memiliki kemungkinan 3,5 kali lebih besar untuk terbunuh akibat kekerasan polisi dibandingkan orang Amerika berkulit putih.
Seorang mantan Presiden American Psychological Association Sandra Shullman menyebut bahwa Amerika berada dalam “pandemi rasisme”.
Dalam editorial The Indian Express, sebuah surat kabar arus utama India juga memuat bahwa rasisme di Amerika terus berlanjut dan menumbangkan institusi demokrasi dalam negara tersebut.
Walaupun saat ini segregasi rasial telah dihapuskan di AS, supremasi kulit putih masih marak dan merajelela di berbagai negara lainnya. Wajah diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat dan ras minoritas lainnya masih menjadi fenomena sistemik.
Stanford News melalui situs web Universitas Stanford pada bulan Februari 2021 memuat artikel tentang rasisme sistemik di Amerika Serikat. Sebut saja dalam bidang pendidikan, remaja kulit berwarna lebih cenderung diawasi.
Walaupun secara hukum segregasi rasial di sekolah telah dihapuskan sejak tahun 1954 melalui Mahkamah Agung, namun nyatanya secara faktual masih banyak sekolah yang didominasi oleh satu ras saja, baik kulit putih maupun kulit berwarna.
Perbedaan kualitas dan akses pendidikan antara daerah yang kaya dan miskin, perbedaan kebijakan dan kurikulum antara negara bagian, perbedaan preferensi dan budaya antara keluarga, dan perbedaan perlakuan dan harapan antara guru dan siswa, merupakan di antara sekian banyaknya faktor-faktor di balik diskriminasi warna kulit.
Diskriminasi warna kulit membuat prestasi dan motivasi belajar siswa kulit berwarna, terkhusus kulit hitam, sering kali mendapatkan pendidikan yang lebih rendah, lebih kurang, dan lebih buruk daripada siswa kulit putih.
Para siswa kulit berwarna juga lebih sering mengalami diskriminasi, pelecehan, atau kekerasan dari guru, teman atau pihak sekolah, yang efek panjangnya bisa mempengaruhi kesehatan mental dan emosional mereka.
Di lain sisi, akses untuk melanjutkan studi sangat sulit dijangkau oleh siswa kulit bewarna. Misalnya masuk perguruan tinggi atau universitas, sebab hambatan-hambatan yang ada seperti biaya, beasiswa, tes, dan lain-lain.
Demokrasi Bias Etnis
Berbagai ekspresi kemarahan yang meledak di seluruh Amerika bukan sebatas kemarahan kaum kulit hitam, melainkan sudah mencapai lintas batas ras. Dalam artikel yang disebutkan oleh The Jerussalem Post of Israel, mencatat bahwa orang-orang Yahudi Amerika prihatin dengan antisimitisme sayap kanan dan kekerasan yang didorong oleh kelompok supremasi kulit putih.
Berdasarkan survei American Jewish Committe pada tahun 2020, 43% orang Yahudi di AS merasa kurang aman dibandingkan tahun lalu, dan pada tahun 2017, 41% mengatakan antisemitisme adalah masalah serius di AS, naik dari 21% pada tahun 2016, 21% pada tahun 2015, dan 14% pada tahun 2013.
Kasus terbaru tentang diskriminasi rasional juga terjadi di AS, yang menyangkut presiden Harvard University Dr. Claudine Gay. Ia memilih mengundurkan diri sebagai presiden dari universitas ternama di dunia itu. Gay merupakan perempuan berkulit hitam pertama yang menjabat jabatan presiden setelah 388 tahun sejarah Harvard.
Enam bulan menjabat jadi presiden Harvard, Gay mendapat banyak tekanan dari berbagai pihak dengan alasan dicap sebagai antisemit. Lewat opini New York Times, ia menulis bagaimana ia mendapat diskriminasi rasial dan bahkan ancaman pembunuhan melalui surel.
“My character and intellegence have been impugned. My commitment to fighting antisemitism has been questioned. My inbox has been flooded with invective including death threats. I’ve ben called the N-word more times than I care to count,” ucap Gay dalam artikelnya.
Beberapa persamasalahan di atas menampilkan bagaimana bobroknya demokrasi di Amerika Serikat. AS yang sering kali dijadikan sebagai kiblat demokrasi sekali pun bukan jaminan bagi para minoritas untuk mendapatkan hak-haknya.
Di sana para minoritas masih mengalami diskriminasi, ketidakadilan, dan kesenjangan dalam berbagai bidang kehidupan. Hak-hak minoritas yang dijamin oleh konstitusi dan hukum sering tidak dihormati atau dilanggar oleh yang berkuasa atau pihak mayoritas.
Berdasarkan Report on Human Rights Violations in the United States in 2023, situasi hak asasi manusia di Amerika Serikat tahun 2023 semakin memburuk. Dimana hak asasi manusia semakin terpolarisasi di negara tersebut.
“Sementara minoritas yang berkuasa memegang dominasi politik, ekonomi, dan sosial, mayoritas masyarakat semakin terpinggirkan, hak-hak dasar dan kebebasan mereka diabaikan,” tulis laporan itu.
Laporan dari Report on Human Right Violations in the Unites Stated in 2023 menyebutkan, hak-hak sipil dan politik hanya sekadar pembicaraan di Amerika. Nyatanya penyakit kronis rasisme masih ada.
“Di Amerika, hak asasi manusia pada dasarnya adalah sebuah hak istimewa yang hanya dinikmati oleh segelintir orang,” kata laporan tersebut.
Ideologi rasis, tulis laporan itu, menyebar dengan ganas di Amerika Serikat dan ke seluruh perbatasan. Di luar negeri, AS telah lama menerapkan hegemonisme, mempratikkan unilateralisme, dan politik kekuasaan, serta menciptakan krisis kemanusiaan.
Kondisi demokrasi di Amerika Serikat, masih sangat jauh dari kata sempurna. Demokrasi yang penuh dengan masalah internal dalam negeri, namun ia selalu ingin tampil sebagai model demokrasi yang sempurna di hadapan dunia. Ini sebuah paradoks demokrasi di negeri Paman Syam itu.
*Iman Sumarlan merupakan seorang dosen prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan. Menempuh pendidikan S1 Ilmu Politik dan pendidikan S2 Magister Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.