Oleh : Mumtaz Azzahra*
Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan pembahasan mengenai sebuah channel Youtube yang memuat konten untuk membantu perkembangan anak-anak bernama Kinderflix. Namun, topik pembahasan tidak berputar mengenai hal-hal yang berhubungan dengan manfaat yang dibawa oleh channel tersebut terhadap masa perkembangan anak, yang mana hal tersebut merupakan tujuan utama dari hadirnya channel Kinderflix, melainkan mengenai para host yang memandu video edukasi anak tersebut.
Bukan tanpa alasan, kedua host Kinderflix baik wanita maupun pria, mendapatkan komentar tak senonoh dalam video-video edukasi yang diproduksi oleh Kinderflix. Komentar-komentar tersebut menyebar tidak hanya di channel Youtube Kinderflix, melainkan sampai ke media sosial lainnya.
Lalu sampai manakah hal tersebut dapat dikatakan wajar? Terdapat beberapa point yang harus kita garis bawahi.
Pertama, channel Youtube tersebut ditujukan untuk audience anak-anak, yang mana kehadirannya diharapkan mampu untuk menghibur sekaligus berperan dalam perkembangan anak, terutama dalam mengurangi kasus speech delay yang marak terjadi pada anak-anak. Sehingga rasanya tak pantas jika kita temui komentar-komentar godaan yang sudah pasti tidak sesuai dengan isi video edukasi tersebut, apalagi berisi objektifikasi yang dilontarkan oleh orang dewasa terhadap host pembawa acara anak-anak.
Kedua, pelecehan seksual tidak hanya dapat terjadi pada wanita saja, melainkan juga pada pria. Hal ini dibuktikan langsung dalam kasus Kinderflix, bahwa tidak hanya host wanita yang mendapatkan komentar-komentar tak senonoh, melainkan juga pada video edukasi yang dibawakan oleh host pria.
Biasanya, society kita lebih dapat memaklumi jika ujaran yang mengandung pelecehan tersebut dilontarkan oleh perempuan kepada laki-laki, sebaliknya menjadi lebih sensitif ketika ujaran tersebut dilontarkan oleh laki-laki kepada perempuan, atau yang biasa dikenal dengan istilah double standard (standar ganda). Hal ini tidak dapat dibenarkan karena faktanya pelecehan dapat terjadi kepada kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Dua hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena memiliki dampak yang sama buruknya terhadap para korban.
Ketiga, perlu kita ketahui bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi ketika pelaku melakukan kontak fisik secara langsung terhadap korban. Ada berbagai bentuk dari pelecehan seksual, salah satunya adalah pelecehan secara verbal. Dalam pengertiannya, pelecehan verbal merupakan pelecehan seksual nonfisik yang dilakukan dengan mengucapkan kata-kata bernuansa seksual yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan dan mempermalukan. Bentuk pelecehan ini dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk di tempat kerja, lingkungan pribadi, online, atau bahkan di tempat umum. Dalam kasus Kinderflix, kata-kata tak pantas disampaikan secara online melalui komentar-komentar netizen tidak bertanggung jawab yang melenceng jauh dari isi video edukasi, sehingga komentar tersebut jelas dapat dikategorikan sebagai pelecehan secara verbal.
Dari kasus Kinderflix, sudah saatnya kita belajar untuk lebih bijak dalam menggunakan sosial media. Jangan sampai apa yang kita ketikkan menjadi sesuatu yang membawa dampak buruk bagi orang lain, atau bahkan sampai mengantarkannya kepada trauma. Seseorang memang tidak bisa menghakimi apa yang orang lain pikirkan, namun ketika pikiran tersebut dituangkan kedalam bentuk komentar yang kemudian dipublikasikan, orang-orang dapat menilai betapa minimnya moral seseorang hanya dari apa yang ia ketikkan.
Ed : ARM
*penulis merupakan alumni pondok pesantren Al-Mujahidin Balikpapan, mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman