Oleh : Cantik Maulida Nurul Fatihah (202110230311059)

Dunia pendidikan saat ini rupanya masih perlu banyak perbaikan. Hal penting mengenai komunikasi dan relasi yang seharusnya terjalin selama pembelajaran berlangsung kian hari makin terkikis. Pandangan Freire dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas”, mengusung istilah humanisasi dan dehumanisasi, di mana humanisasi adalah panggilan untuk manusia sejati dengan perilaku yang menerapkan nilai-nilai kemanusiaannya atas manusia lainnya dan dehumanisasi untuk mereka yang hak kemanusiaannya dirampas atau merampas. Kaitan antara humanisasi dan pendidikan tertuang dalam pendidikan humanis yang artinya pendidikan yang memanusiakan manusia (Setiawan, A. 2018). jika pendidikan humanis ini berjalan dengan baik, maka karakter siswa akan terbentuk.

Tugas humanistik dari pendidikan yang seharusnya ada pada setiap individu yang ditanam dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya, kini seakan luntur oleh terjadinya proses dehumanisasi. Contoh lunturnya tugas humanistik dari pendidikan, yaitu kekerasan siswa dengan siswa, kekerasan siswa terhadap guru, kekerasan guru terhadap siswa, kekerasan orang tua terhadap guru, bahkan kekerasan terhadap diri sendiri seperti penyalahgunaan pornografi dan obat terlarang di kalangan siswa yang sangat merusak jaringan otak jika dilihat dari perspektif psikologi dan medis.

Dalam kategori kekerasan siswa dengan siswa, maraknya kasus pembullyan/perundungan di bawah umur yang terjadi di beberapa tempat menjadi perhatian masyarakat belakangan ini. Kasus ini menjadi lebih banyak terjadi mengingat adanya unsur struktur dengan tingkatan yang menjadi faktor mengapa anak bisa menjadi korban, seperti usia, fisik, atau pun ekonomi. Chazizah (dalam Andre, J. 2022). Mendikbud Ristek, Sri Wahyuningsih (dalam Prastiwi, M. 2021) menyatakan bahwa hingga saat ini dunia pendidikan masih terbayang oleh beberapa hal secara negatif, yaitu intoleransi dan radikalisme, dan kekerasan seksual dan perundungan.

Lain kasus, dalam kategori kekerasan siswa terhadap guru menjadi potensi serta pertanyaan besar, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Seperti pada kasus guru seni rupa di Sampang, Madura berinisial ABC (26) yang sampai harus merenggut nyawa akibat perbuatan bodoh siswanya sendiri. Menanggapi hal tersebut, masyarakat sangat menyesalkan perbuatan siswa yang seharusnya tidak melakukan tindakan sejauh itu.

Kaitan antara pandangan Freire yang menyatakan kaum tertindas harus memahami sifat dari kaum penindas yang memaksakan pilihannya, sedangkan kaum tertindas sendiri meragukan kebebasannya dengan pendidik dan siswa rupanya sejalan. Karena realitas pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah dinilai kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas dan critical thinking mereka (Widodo, H. 2014). Tidak jarang siswa diperlakukan secara tidak manusiawi dan aspirasinya kurang didengar, terkecuali jika siswa memenuhi kehendak pendidik yang menganggap dirinya sebagai orang yang lebih dewasa. Siswa dengan pengalaman tersebut jika dilihat dari kacamata Freire, bisa saja menjadi pribadi yang terbelah, menerima gambaran kaum penindas, mengikuti perintah yang sudah digariskan kaum penindas, menjadi penonton dan bungkam. Pendidik seringkali menempatkan dirinya sebagai penguasa, orang yang “maha tahu”, dan pendikte. Sedangkan peserta didik dianggap hanya sebagai objek yang patuh, konsumtif, perekam,  pencatat, penghafal dengan terus diberi ilmu pengetahuan tanpa terjadi interaksi yang seharusnya bisa membangun chemistry agar membentuk ikatan yang harmonis. Sudah seharusnya dalam konsientisasi menurut Freire, pendidik dan murid sama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Hal ini berakibat pendidikan kurang mengarah pada penanaman potensi kemanusiaan lainnya, terutama pada sisi emosional siswa. padahal berdasarkan pemaparan Freire bahwa salah satu faktor penting dalam gerakan pembebasan adalah perkembangan kesadaran dan perjuangan bagi pembebasan yang dilakukan oleh siswa di sini harus merupakan perjuangan yang sekaligus dapat membebaskan juga stigma yang tertanam oleh pendidik itu sendiri.

Pengertian dialog menurut Freire, pertemuan dengan manusia melalui kata dengan tujuan “memberi nama kepada dunia” membuat spekulasi bahwa segala hal yang melibatkan komunikasi antar manusia pasti memiliki tujuan. Komunikasi yang bagus menghasilkan tujuan yang bagus pula. Beberapa kasus kekerasan hampir sering terjadi karena kurangnya komunikasi yang membuat pihak pelaku kekerasan merasa bahwa adanya sesuatu yang membuat dirinya tersinggung atau merasa terancam. Sedikit hal yang harus diketahui oleh korban bahwa dirinya harus paham situasi dan berhati-hati dalam berbicara, karena Freire menyatakan dialog tidak mungkin timbul di antara manusia yang menyangkal hak untuk berbicara. Setiap manusia memilik hak berbicara, namun terdapat batasan-batasan tertentu di mana cukup diri seseorang itu saja yang tahu. Terdapat tuntutan dialog untuk bersikap mau mendengar, memahami diri sendiri, dan memiliki sense of humours, di mana seseorang tidak selalu harus berbicara, terkadang mereka harus belajar bagaimana menjadi pendengar yang baik bagi orang lain. Berdialog juga membutuhkan pemahaman terhadap diri sendiri untuk mengukur seberapa baiknya seseorang mengenal dirinya.

Kemudian teori yang dikemukakan oleh Freire bahwa dialog antar-manusia harus berdasarkan pada kepekaan terhadap kemampuan-kemampuan bawaan di dalam setiap diri manusia untuk menemukan diri sendiri, lalu juga dialog mengandaikan kerendahan hati, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita harus selaras dengan kehidupan manusia di dalam keseharian. Hal ini justru dikesampingkan oleh orang tua yang melakukan kekerasan terhadap pendidik. Di mana seharusnya peran orang tua dalam menjalin relasi dengan pendidik berjalan dengan harmonis karena keduanya merupakan pengawas bagi anak dari orang tua tersebut ataupun anak didik dari pendidik tersebut. Dengan kata lain kedua peran ini sangat penting bagi anak maupun murid untuk menjadi media atau wadah mengembangkan emosi dan pikiran mereka serta panutan murid untuk bisa melakukan hal positif dan tidak melanggar norma. Orang tua dan pendidik juga harus mempunyai komunikasi yang bagus agar kesalahpahaman tidak akan terjadi di kemudian hari. Sesuai pernyataan Freire, diperlukan pemahaman mengenal relasi antara penindas dan yang tertindas agar memunculkan kesadaran akan manusia baru, yang artinya baik orang tua maupun pendidik harus paham satu sama lain mengenai tugas dan tanggung jawab serta hal dan kebutuhan masing-masing.

Beberapa orang tidak menyerapi pentingnya pendidikan yang diberikan kepada mereka. Beberapa kalangan remaja juga berani membuat suatu kerusakan atau bahkan kekerasan terhadap dirinya sendiri, seperti penyalahgunaan pornografi dan pemakaian obat terlarang. Tentu saja terdapat kaitan dengan rusaknya humanistik karena penyajiannya yang berupa tulisan dan gambar dapat mempermainkan selera rendah masyarakat dengan semata hanya menonjolkan permasalahan seks dan kemaksiatan. Kerusakan terhadap dirinya sendiripun dapat berupa kecanduan yang ekstrem untuk ingin selalu melihat hal-hal berbau seks atau pornografi. Sedangkan pemakian obat terlarang sudah jelas membuat pemakainya rusak baik fisik maupun psikis.

Dari pemaparan serta kasus-kasus di atas, kembali lagi pada pernyataan Freire mengenai orang-orang harus berani menatap keadaan nyata, tidak dilebih-lebihkan, tetapi juga tidak dikecilkan yang mana setiap orang memiliki kewajiban melihat hal-hal yang bahkan tidak mereka inginkan. Namun, mereka mempunyai hak untuk berbicara, merasakan kebebasan, serta mendapatkan kasih dari orang lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

Andre, J. (2022). Kasus Perundungan Terus Terjadi, Kriminolog: Jangan Langsung Salahkan Anak. https://megapolitan.kompas.com/read/2022/01/13/19062671/kasus-            perundungan-terus-terjadi-kriminolog-jangan-langsung-salahkan-anak

Freire, P. (2011). Pendidikan Kaum Tertindas, ix-9.

Prastiwi, M. (2021). Data KPAI: Kasus Perundungan Paling Banyak Terjadi         pada Siswa SD. https://www.kompas.com/edu/read/2021/10/25/112503471/data-kpai-   kasus-perundungan-paling-banyak-terjadi-pada-siswa-            sd?page=all#:~:text=Kasus%20perundungan%20paling%20banyak%20dia      lami,dialami%20oleh%20siswa%20Sekolah%20Dasar.

Setiawan, A. (2018). Hapus kekerasan di Sekolah Melalui Pendidikan Humanis.             https://mahasiswaindonesia.id/hapus-kekerasan-di-sekolah-melalui-      pendidikan-humanis/

Widodo, H. (2014). Pendidikan: Humanisasi atau Dehumanisasi.             https://pgsd.uad.ac.id/2014/01/23/pendidikan-humanisasi-atau-     dehumanisasi/#:~:text=Humanisasi%20dan%20dehumanisasi%20adalah          %20dua,pemberdayaan%20masyarakat%20melalui%20ilmu%20pengeta      huan.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here