Oleh : Amanda Fathiya R (202110230311020)
Negara kita, Indonesia, merupakan negara demokrasi yang saat ini sedang berada di titik tertinggi dalam menentukan entah keberhasilan ataupun kegagalan bangsa untuk menggapai cita-cita sesuai dengan yang tertera dalam pembukaan UUD 1945. Indonesia juga menganut sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas menjelaskan tentang bagaimana menggapai cita – cita tersebut dan mewujudkannya.
Paulo Freire merupakan seorang tokoh pendidikan yang berasal dari Brasil pada tanggal 19 September 1921, memiliki pemikiran berpengaruh besar di bidang pendidikan. Bahkan salah satu koleganya mengatakan bahwa mereka yang tertarik dalam dunia pendidikan takkan pernah bisa melakukannya tanpa Paulo, baik melawan maupun membersamai. Dalam buku tersebut juga dijelaskan tentang bagaimana perjalanan hidup Freire dan mengambil pembelajaran dari dalamnya serta meringkasnya agar mudah dipahami.
Untuk menggapai cita – cita, Indonesia juga menggunakan berbagai sistem tata negara dengan tujuan untuk kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Salah satunya adalah sistem pendidikan. Namun sistem pendidikan di Indonesia membutuhkan banyak sekali perjuangan dan pengorbanan serta memerlukan kesadaran bagi tiap individunya yang hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Seseorang yang memiliki kekuatan dalam hal pendidikan, kemungkinan besar akan mendapatkan kemudahan dalam menggapai status sosial dalam masyarakat dan akan selalu dihormati oleh masyarakat. Pemikiran itu juga sejalan dengan pemikiran pendidikan dehumanis, di mana masyarakat dalam suatu negara masih menganut sistem bahwa pelajar akan ditindas jika tidak sejalan dengan pengajarnya.
Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan itu sangat penting terutama agar manusia dapat mengenal eksistensinya. Beliau juga mengatakan, dalam sistem pendidikan alangkah baiknya jika menganut sistem humanis, di mana manusia akan memanusiakan manusia lainnya karena sistem pendidikan tersebut menempatkan manusia dalam objek, bukan subjek. Freire membuat sistem pendidikan dengan kebebasan tanpa adanya strata sosial dan menempatkan sistem humanis di dalamnya. Sedangkan sistem dehumanis harus segera dihilangkan dalam sistem pendidikan. Namun hal tersebut tidaklah mudah, karena tetap membutuhkan kesadaran bagi kedua belah pihak, baik dari pihak penindas, maupun pihak yang tertindas. Pihak tertindas harus mampu melindungi diri dengan berbicara dan melakukan sesuatu untuk menghentikan penindasan agar sistem pendidikan humanis tersebut dapat terjadi.
Sistem pendidikan dehumanis bisa juga disebut sebagai ‘sistem bank’, di mana guru seperti memiliki kekayaan dalam pengetahuan dan guru akan menilai murid sebagai seseorang yang membutuhkan pengetahuan tersebut. Hal ini juga dilakukan tanpa adanya komunikasi dua arah, karena guru akan cenderung memikirkan pendapatnya serta pengetahuannya sendiri tanpa mau mendengarkan pendapat murid – muridnya. Murid – murid pun akan merasa bahwa belajar hanya bisa dilakukan jika bersama guru, padahal seharusnya belajar bisa dilakukan di mana saja. Sistem ini juga akan menimbulkan perasaan hilang akal pada murid di mana murid akan kesusahan dalam menyadarkan diri sendiri. Murid juga akan menjadi tidak kreatif, tidak bertanggung jawab, sulit mengutarakan pendapat, ketakutan, dan lain sebagainya. Murid pun akan menuntut dirinya sendiri agar memenuhi ekspektasi dan kemauan dari gurunya. Hal inilah yang dianggap tidak manusiawi oleh Paulo Freire.
Contoh yang dapat diambil dari sistem pendidikan ini adalah di mana seorang siswa dipaksa mendengarkan, menyimak, mencatat, memahami semua materi, dan sebagainya tanpa diperbolehkan untuk berbagi pendapat maupun bertanya. Di sini guru akan memaksa murid untuk menghafalkan hasil tugas yang sudah diberikan, padahal sang murid belum tentu paham dengan isi di dalamnya, masih belum paham dengan makna apa yang ada dalam tugas tersebut. Seperti anak sekolah dasar (SD) yang ditugaskan untuk menghafalkan satu bait puisi, namun saat ingin menanyakan makna dari puisi tersebut, sang guru hanya akan menyuruhnya menghafal saja tanpa diberitahu makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Dengan begitu sang murid menjadi tidak tahu ekspresi seperti apa yang harus digunakan, gaya apa yang harus digunakan, dan itu akan membuat puisi tersebut menjadi hambar. Di situlah akan terlihat bahwa guru tidak berperan sebagaimana harusnya, di mana guru harus bisa menjalin interaksi dan komunikasi bersama murid dengan baik.
Interaksi dan komunikasi adalah suatu hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam bersosialisasi. Interaksi dan komunikasi dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan menyebabkan kejadian yang tidak menyenangkan. Jika tidak ada interaksi dan komunikasi, maka manusia akan susah menjalani perannya dalam hidup berdampingan. Begitu pun dalam dunia pendidikan, di mana murid masih membutuhkan bantuan guru, sehingga harus terjalin interaksi dan komunikasi agar sang murid semakin paham dan tidak terjadi kesalahpahaman. Tujuan belajar pun akan berjalan dengan lancar jika terjalin komunikasi dan berlaku sebaliknya, pembelajaran akan terasa sangat hambar dan tidak berjalan lancar jika tidak terjalin komunikasi yang baik.
Freire sangat ingin menghilangkan sistem tersebut. Dan Freire akhirnya menciptakan suatu sistem baru yang bernama ‘Problem Posing Education’ atau disebut ‘Pendidikan Hadap Masalah’ di mana memungkinkan adanya konsientisasi dalam keadaan nyata. Konsientisasi adalah suatu keadaan di mana guru dan murid menjadi satu subjek dan objek yang sama, di mana guru dapat belajar dari murid, dan murid akan belajar dari guru sehingga terjalinnya interaksi dan komunikasi yang seimbang, dan kedua belah pihak akan mampu mengembangkan potensi diri sendiri terutama dalam hal berpikir kritis.
Dalam buku ini, Freire juga tidak hanya membahas tentang sistem pendidikan dehumanis atau sistem bank, namun Freire juga membahas tentang dialog. Menurut Freire inti dari dialog adalah ‘kata’. Dialog adalah pertemuan antar manusia dengan suatu tujuan. Dialog yang terjadi antar manusia harus berdasar dengan kesadaran diri manusia sendiri. Dialog mengandaikan untuk kita memiliki kemauan untuk belajar meskipun dalam kebudayaan dipandang rendah. Dialog juga harus berasaskan pada pengharapan yang berakar pada kesadaran diri manusia, bahwa manusia itu belum sempurna.
Freire juga menambahkan pembahasan mengenai tindakan dialogik dan antidialogik, yang saling bertentangan. Menurut Freire tindakan dialogik selalu bersifat kooperatif di mana pemimpin dan masyarakat akan bersatu untuk memacu proses pembebasan melalui penggusuran struktur penindas. Sedangkan tindakan antidialogik ditandai dengan perlakuan menguasai manusia, membuat manusia tunduk, pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan, dan pada akhirnya akan tertinggal dan tetap tertindas. Jika tindakan dialogik lebih seperti kerja sama, maka antidialogik bersifat sebaliknya, yang berarti pemecah belah dan memiliki tujuan untuk melestarikan status quo.



