Balikpapan – “Mas Fuad. Ikut zoom ya. Link-nya kukirim sebentar,” ucap Iwan Sulistia, Sekretaris Kokam Kaltim lewat telpon WA. Aku pun membuka pesan WA yang dikirimkan teman asal Kabupaten Penajam Paser Utara tersebut. Ternyata Sabtu (19/03) malam itu sedang berlangsung rapat koordinasi tanggap bencana bersama antara Kokam Kaltim dan MDMC.
Informasi awal menyebutkan, hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur Sangatta, Kutai Timur, sejak Jumat (18/03) lalu mengakibatkan banjir yang merendam rumah warga. Tercatat sejumlah titik wilayah di Sangatta Selatan dan Sangatta Utara mengalami dampak banjir dengan ketinggian cukup bervariasi.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kutai Timur menyebutkan jumlah paling banyak terdapat di Desa Sangatta Utara mencapai 15.004 orang dari 3.937 KK. Sisanya tersebar di Sangatta Selatan, Wahau dan sekitarnya. Banjir ini merupakan yang terparah menimpa Sangatta dalam 20 tahun terakhir.
Hasil rapat zoom memutuskan pengiriman tim asesmen ke lokasi banjir pada Senin (21/03) siang. Tim ini menjadi pendukung terhadap relawan MDMC dan Kokam Bontang yang sudah berangkat ke Sangatta pada Ahad (20/03). Namun akibat ketinggian air di jalan poros terminal Sangatta km. 3 membuat tim tersebut harus kembali ke Bontang.
“Siap-siap jemput ya. Ini sudah di fery. Saya ke Tarbiyah dulu ambil sembako,” ucap Iwan melalui pesan WA pada Senin pagi. “Siap saya tunggu di rumah,” jawabku. Sekitar pukul 10 siang mobil fortuner putih milik Iwan tiba di pondok pesantren Al Mujahidin yang menjadi titik kumpul kami. Di mobil ini hanya terisi 3 orang karena beberapa teman lainnya sedang berada di luar daerah.
Mobil pun mulai mengaspal menuju Kota Samarinda. Perlu waktu sekitar 2 jam untuk mencapai ibukota Provinsi Kaltim ini. Sesampainya di kota tepian kami menjemput Tamam Habibi, Komandan Kokam Kaltim, terlebih dahulu. Kemudian menunggu 2 unit mobil dari Kukar dan Samarinda di masjid al Mujahidin, Lempake.
Sekitar pukul 14.30, 2 unit mobil yang kami tunggu pun tiba. Satu unit berisi logistik sembako dan alat evakuasi di mobil lainnya. Perlahan kami meninggalkan Kota Samarinda menuju Kecamatan Muara Badak di Kabupaten Kukar untuk menjemput 1 orang relawan. Di lokasi ini kami mendapatkan tambahan logistik sembako dari salah satu saudara relawan tadi.
Saya pun tidak menyangka. Ternyata relawan asal Muara Badak ini adalah bang Teguh. Seorang teman saat di Jakarta dahulu. Dia bertugas di Cipayung, Jakarta Timur, dan saya di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Kami terakhir berjumpa sekitar 2005. Artinya 16 tahun lebih tidak bertemu setelah kembali ke daerah masing-masing.
“MasyaAllah. Lamanya kita gak ketemu. Saya 2005 sempat bertugas ke Sambas, Kalimantan Barat, ketika itu. Setelah itu gak ada lagi ketemu kita,” ujarku. “Itu sudah hikmahnya perjalanan kita. Kamu ketemu lagi kan sama temanmu,” timpal Komandan Kokam, Tamam Habibi, yang semobil denganku.
Sebenarnya bukan hanya ketemu bang Teguh. Aksi kemanusiaan kali ini juga mempertemukan saya dengan Halim Fauzi Rahman. Teman seangkatan saat sekolah di pesantren Al Mujahidin. Kami terakhir bertemu di tahun 2012 saat ada reuni SMP. Dia sekarang menjadi salah satu relawan Kokam asal Tenggarong, Kabupaten Kukar. Di samping itu ada adik kelasku semasa di al Mujahidin, Iwan Sulistia, yang sudah sering bertemu setiap kegiatan relawan.
Bahkan di Kutim sendiri ada dua rekan seangkatan saat di pesantren al Mujahidin. Yaitu Hanief Arief yang berdinas di Kecamatan Bengalon. Lalu ada Sugiarto yang bekerja di Kaltim Prima Coal (KPC) Sangatta. Namun kedua tidak bisa datang terhalang banjir yang sama. Bahkan rumah kang Sugi, begitu biasa kami menyebutnya, menjadi salah satu tempat pengungsian warga sekitarnya.
Rombongan kembali mengaspal menuju Sangatta di Kutai Timur. Sekitar pukul 9 malam kami sudah masuk ke wilayah kabupaten hasil pemekaran dari Kutai Kartanegara ini. Informasi dari relawan di lapangan menyebutkan kondisi air sedang pasang dan tidak memungkinkan untuk lewat. Tampak mobil besar dan kecil terlihat berjejer di kiri dan kanan jalan. Perkiraan kami antrian kendaraan mencapai 7 km. Hanya menyisakan sedikit ruang untuk kendaraan lewat di tengah.
“Kami tunggu di Patung Burung dekat jembatan Pinang,” ujar Kevin, relawan asal Sangatta. Namun kemacetan parah dan banjir membuat kami memilih bertahan menunggu turunnya ketinggian air. “Kami di sini saja tunggu sikon air. Kalian pulang aja. Logistik kami aman,” ujar Tamam, komandan Kokam Kaltim.
Sambil menunggu, kami pun berbincang bersama rekan sesama relawan. Perbincangan menyepakati hanya dua unit yang bakal menuju Sangatta. Mobil grandmax dari Kukar akan ditinggal di sekitar lokasi banjir. Melihat ketinggian air yang tidak mungkin dilewati mobil dengan ground clearance rendah.
“Ayo kita ngopi aja sambil menunggu,” ujar Rahiman, KSO Kokam Kaltim. Dia pun mengeluarkan kompor portable dan memanaskan air. Sementara yang lain menghamparkan terpal untuk alas duduk. Setelahnya ada juga yang melahap nasi beserta lauk dari perbekalan tadi siang. Termasuk buah semangka sumbangan keluarga salah seorang rekan relawan.
Usai itu kami pun sholat magrib dan isya berjamaah dengan kondisi seadanya. Saya pun merebahkan diri meluruskan pinggang setelah duduk sepanjang perjalanan. Beralaskan terpal dan berbantalkan jaket pelampung. Karena banyak nyamuk saya pun berpindah ke dalam warung yang menjadi tempat kami menumpang.
Pukul 1 dini hari, ternyata para relawan yang tidak tidur melihat pergerakan kendaraan truk menuju area banjir. Mereka memutuskan mengikuti konvoi truk itu karena mendapat informasi ketinggian banjir sedikit turun. Saya yang tidur di dalam warung hampir tertinggal. Teman lainnya sudah masuk ke mobil sedangkan saya masih terlelap.
“Tadi pas beres-beres kulihat sandal warna biru aja. Jadi kuamankan sama terpal dan barang lainnya. Kulihat ikam kadada,” ujar Halim. Untungnya Rahiman teringat kalau saya pindah tidur ke dalam. Akhirnya dia kembali ke warung dan membangunkanku. Kami berdua berjalan beriringan hingga ke mobil.
Dua unit mobil Kokam Kaltim pun mulai masuk ke area banjir. Perlahan ban mobil menembus kedalaman air sedikit demi sedikit. 200 meter berjalan ketinggian air terus bertambah. Di titik ini jalan yang tergenang banjir sepanjang hampir 500 meter. Kami pun berhasil melewatinya.
Memasuki titik banjir kedua, mobil ranger yang dikemudikan Dimas, relawan Kokam asal Samarinda, hampir mengalami mogok. Ketinggian air sepinggang orang dewasa sampai merendam knalpot. Belum lagi beban logistik di bak belakang cukup menambah berat kendaraan. Para relawan kompak mendorong mobil itu agar tidak sampai mogok betulan. “Ayo terus dorong. Kalau gak didorong ntar mogok,” teriak kami menyemangati teman relawan yang mendorong mobil.
Sementara kami di mobil fortuner juga berjibaku dengan banjir. Air sampai masuk ke dalam walau mobil tetap bisa melaju. “Kalau kami keluar bantu dorong ranger yang ada airnya tambah parah masuk mobil. Makanya kami cuma teriak dorong-dorong aja,” ujar Tamam sambil tertawa. Kedua mobil yang kami bawa pun terus mengarungi banjir. “Pelan-pelan pak. Kasian rumah warga,” teriak seseorang yang berada di sekitar lokasi banjir. “Ini sudah pelan. Mau sepelan apa lagi. Apa mau mogok,” celetuk Iwan di belakang kemudi.
Setelah melewati banjir sepanjang 1,5 km di titik kedua ini kami pun masuk ke pusat Sangatta. Masih ada beberapa titik genangan air lagi yang kami dapatkan sebelum mencapai posko banjir di gedung dakwah Muhammadiyah. Total area jalan tergenang yang kami lewati ketika itu mencapai 3 km.
Jam menunjukkan hampir pukul 3 subuh. Akhirnya kami tiba di posko tanggap bencana milik Muhammadiyah di Sangatta. Usai memarkirkan mobil kami pun bergerak memindahkan logistik bawaan dari Samarinda. Bawaan terdiri dari beras, mie instan, pokok bayi hingga alat evakuasi pun diturunkan.
Setelah beres, rombongan pun masuk ke ruangan sekretariat gedung dakwah Muhammadiyah. Kami menyempatkan waktu mengobrol bersama relawan di Sangatta. Beberapa saat kemudian saya bersama yang lainnya pun terlelap melepas lelah setelah melalui perjalanan panjang dari Balikpapan.

Bersambung…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here