Oleh : Ikhwan Saifudin*
Pemilihan umum 2024 tinggal sejengkal lagi, esok hari akan menjadi penentu oleh siapa dan seperti apa arah bangsa ini akan dibawa 5 tahun kedepan, nyatanya pemilu kali ini menjadi sorotan dan tunai kritik dari masyarakat sipil, dinamika serta kontroversi yang mengitarinya menjadi bumbu-bumbu yang mengkhawatirkan bagi proses kewarasan berdemokrasi. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah pemilu masih bisa adil? Atau apakah pemilu riang gembira? Tentu jawabannya akan beragam, tergantung dari sudut pandang pendukung paslon yang mana.
Suara Guru Besar
Akan tetapi kegelisahan akan pesta demokrasi 5 tahunan ini bukan hanya soal pendukung atau para simpatisan semata, melainkan dirasakan betul oleh berbagai lapisan masyarakat termasuk guru-guru besar di berbagai perguruan tinggi.
Gelombang kritik dari berbagai universitas ternama melalui mahasiswa, civitas akademika bahkan para guru besar “turun gunung” secara lantang menyuarakan kebingungan mereka terhadap para penyelenggara negara di berbagai lini yang dinilai menyimpang dari prinsip moralitas, demokrasi, kerakyatan serta keadilan sosial, termasuk terjadinya pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sikap netralitas dan menjunjung tinggi etika mendasari dari berbagai tuntutan tersebut, hal ini sebagai respon atas pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Di mana Putusan ini dinilai sarat dengan intervensi politik dan terbukti adanya pelanggaran etika.
Runtuhnya Kenegarawanan
Manuver para pejabat daerah untuk memenangkan paslon tertentu bukanlah hal yang tabu lagi, dukungan mereka begitu gamblang di saat para pemangku jabatan terus menggembar-gemborkan sikap netralitas kepada bawahannya, di saat yang sama berulang kali presiden sendiri mengingatkan kepada ASN untuk bersikap netral dan menjaga kedaulatan rakyat.
Namun berbagai kalangan menyoroti potensi adanya intervensi pemerintah dalam proses pemilu, baik melalui kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu maupun penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan elektoral salah satu paslon. Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan munculnya sikap yang tidak mencerminkan kenegarawanan dari seorang presiden bahwa “presiden itu boleh lo berkampanye, presiden itu boleh lo memihak”, di mana beliau mengeluarkan pernyataan tersebut di tempat yang seharusnya steril dari sikap yang mengarah pada kampanye. Parahnya lagi statement tersebut keluar di saat salah satu kontestan pemilu berada di sampingnya yakni Prabowo Subianto.
Dugaan Abuse of power juga semakin nyata bersamaan dengan deklarasi para menteri yang masih aktif menjabat, mereka dengan terang-terangan mendukung salah satu paslon. padahal undang-undang telah mengatur bagi pejabat publik yang ikut berkampanye maka harus cuti tentunya dengan berbagai syarat yang ketat, termasuk larangan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politik.
Dugaan Penyelewengan
Adanya dugaan kecurangan yang masif dan terstruktur memperburuk iklim demokrasi pemilu Indonesia. Dugaan kepada oknum elit politik yang memanfaatkan anggaran negara untuk ambisi politik, baik melalui politisasi program bantuan sosial (bansos), Bantuan sosial yang seharusnya menjadi instrumen untuk membantu masyarakat secara adil dan merata, kini menjadi “bancaan” oleh para politisi.
Penyalahgunaan bansos sebagai alat kampanye politik menimbulkan kekhawatiran, ketidakadilan sosial, konflik kepentingan dan tentunya merusak prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Dugaan penyelewengan juga mengarah kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), bagaimana bisa ketua KPU Hasyim Asy’ari dijatuhi “peringatan keras terakhir “ oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena telah melanggar kode etik terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Demokrasi Bukan Memilih Malaikat
Suka tidak suka, menerima atau menolak demokrasi telah menjadi konsensus bersama dalam pemilihan pemimpin, dalam demokrasi tidak ada yang sempurna setiap calon pasti ada kekurangan, namun bukan artinya kita antipati atau menjadi golongan putih namun hak pilih tetap harus ditunaikan karena itu bagian dari tanggung jawab kebangsaan (Haedar Nashir). Bahwa dalam demokrasi kita tidak memilih malaikat, melainkan memilih orang yang terbaik di antara apa yang tersedia, maka carilah cara agar orang terburuk tidak memimpin (Zainal Arifin Mochtar ).
Apakah Pemilu Riang Gembira ?
Dalam konteks ini, pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan sulit rasanya disebut sebagai pesta demokrasi yang riang gembira atau demokrasi yang adil untuk semua. Lebih tepatnya, pemilu yang cacat akan moralitas ditunggangi berbagai kepentingan oleh sekelompok golongan yang haus dengan kekuasaan.
Oleh karena itu, perlu upaya bersama untuk menjaga integritas pemilu dan memastikan bahwa pemilu yang sesungguhnya meriah adalah yang bersih, adil, ber-etika dan memenuhi prinsip-prinsip demokrasi yang genuine.
Meskipun terdapat berbagai kekurangan dan tantangan, harapan akan pemilu yang damai dan berintegritas tetap harus dijaga. Masyarakat, lembaga pemantau pemilu, dan pihak terkait lainnya perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa pemilu 2024 berjalan dengan transparan, adil, dan bebas dari kecurangan.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga integritas dan keadilan dalam proses demokrasi merupakan usaha-usaha kolektif yang harus terus dijaga dan dikawal sehingga menjadi tonggak penting dalam memperkuat fondasi demokrasi di tanah air.
*penulis adalah alumni PC IMM Sukoharjo
Ed : ARM