| Oleh: M. Andhim | Editor: AM |

Dilansir dari news.detik.com (29/9/2020) bahwasannya antara Komisi II DPR, Mendagri dan KPU telah menyelenggarakan rapat bersama terkait penyelenggaraan Pilkada. Rapat kerja yang dilaksanakan pada hari Senin (21/9/2020) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta itu menghasilkan sebuah keputusan bahwa Pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember akhir tahun ini. Demikian juga yang disampaikan oleh Fajrul selaku juru bicara Presiden RI. Ia menyampaikan bahwa Pilkada tidak akan ditunda dengan dalih “demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak pilih dan hak memilih”. Tentu dengan catatan tetap disiplin  pada protokol kesehatan. Kendati demikian keputusan ini tidak serta merta diterima dengan lapang dada oleh seluruh rakyat Indonesia.

Pro-kontra pelaksanaan Pilkada

Keputusan untuk tidak menunda Pilkada nyatanya telah melahirkan beberapa kubu massa dengan masing-masing argumennya. Di dalam negara demokrasi hal ini merupakan suatu hal yang wajar. Karena merupakan hak bagi setiap individu untuk bebas mengekspresikan pendapatnya. Sehingga ada sebagian pihak yang menerima hasil keputusan rapat. Sebagian lainnya lebih memilih untuk diam dan bersikap acuh. Tak ketinggalan banyak pula  tokoh yang getol menyuarakan penolakan.

Upaya penolakan telah digaungkan oleh sejumlah tokoh tersohor di negeri ini. Deretan tokoh tersebut antara lain politikus senior yang juga mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dan dua Pimpinan Umum dari ormas Islam terbesar di Republik ini yakni Kyai Said Aqil Siraj (Ketum PBNU) dan juga Kyai Haedar Nashir (Ketum PP Muhammadiyah) yang keduanya merupakan representasi resmi dari ormas yang dipimpin oleh keduanya. Arus penolakan ini ternyata juga datang dari wakil ketua dewan pertimbangan MUI Pusat Prof. Azyumardi Azra yang menyatakan akan golput pada pilkada mendatang jika pelaksanaannya tidak diundurkan.  Masih banyak deretan tokoh maupun organisasi yang juga berdiri di barisan ini.

Pada dasarnya argumen yang mendasari sikap penolakan mereka murni untuk kemaslahatan bersama. Dalam pandangan mereka urusan penanganan covid ini jauh lebih besar dari suksesi kepemimpinan itu sendiri. Hal ini jelas bukan isapan jempol belaka. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat kita masih berbanding terbalik dengan adanya pandemi. Di mana  peningkatan korban masih saja terus terjadi sedang masyarakat sudah tidak terlalu menghiraukannya lagi. Untuk itu pemerintah diminta agar lebih serius dalam menangani wabah ini.

Apa kabar Indonesia?

Sejauh ini covid-19 masih menjadi momok di tengah masyarakat. Tercatat sampai dibuatnya artikel ini, peningkatan kasus covid masih terus terjadi. Dilansir dari Wordometers.info (29/9/2020) bahwa pertanggal 29 September ini telah terjadi 33.822.781 kasus covid-19 di seantero dunia. Sebanyak 1.011.774 kasus kematian telah terjadi. Sedangkan untuk kabar baiknya sejumlah 25.127.107 pasien telah dinyatakan sembuh dari corona. Dalam hal ini, Indonesia menempati posisi 17 di dunia dengan jumlah 10.601 kasus kematian.

Kondisi ini telah mengukuhkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus kematian tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Ditambah dengan data yang dilansir dari Covid19.go.id bahwa telah terjadi penambahan pada hari senin (29/9) sebanyak 4.002 kasus baru. Sehingga jumlah kasus aktif perhari ini tak kurang dari 61.686 kasus. Hal ini tentu telah mengafirmasi bahwa keadaan Indonesia kini sedang tidak baik-baik saja.

Lari dari satu takdir menuju takdir yang lain

Suatu ketika Umar bin Khathab mengadakan perjalanan bersama rombongan menuju ke Syam untuk suatu urusan. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah dari arah Syam. Pemimpin rombongan dari Syam itu mengabarkan bahwa di Syam sedang dilanda oleh wabah yang mematikan. Alhasil, Umar bin Khathab mengadakan musyawarah dengan para sahabat untuk mencari jalan keluar. Ternyata musyawarah yang diharapkan memunculkan suatu problem solver itu tidak berjalan sesuai yang dikehendaki. Bukannya memecahkan permasalahan, malah justru menimbulkan permasalahan baru. Karena terjadi perselisihan pendapat di antara para sahabat baik dari golongan muhajirin maupun anshar. Sebagian mereka menghendaki untuk kembali ke Madinah. Dan sebagian yang lain menghendaki untuk tetap melanjutkan perjalanan.

Umar bin Khathab belum kunjung juga mengambil sebuah kebijakan. Sampai beliau memanggil para sahabat dari kalangan Quraisy dengan maksud untuk mendengar masukan dari mereka. Perlu dimengerti bahwa mereka ini masuk Islam pada peristiwa Fathu Makah sehingga mereka tidak tergolong sebagai muhajirin maupun anshor. Berbeda dengan kaum anshar dan muhajirin yang saling bersilang pendapat, ternyata mereka sepakat mengusulkan untuk kembali pulang. Dan Akhirnya Umar pun merestui usulan mereka untuk segera kembali ke Madinah. Namun mendengar kabar demikian, panglima Abu Ubaidah bin Jarrah tidak terima. Terjadilah perselisihan di antara dua sahabat yang mulia ini. Mulia karena Rasulullah SAW mengabarkan bahwa mereka berdua termasuk di antara 10 sahabat yang dijamin masuk surga.

Abu Ubaidah bin Jarrah menegur Umar, seraya berkata: “Apakah engkau akan lari dari takdir Allah?”. Dengan bijaknya, Umar menjawab: “Seandainya bukan engkau yang bertanya, (aku jawab) iya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya”. Dalam rangka memperkuat argumennya tersebut Umar memberikan perumpamaan bahwa jika ada dua sisi lembah yang satu subur dan satunya lagi gersang. Maka, kira-kira jika hendak menggembala onta lebih memilih yang mana. Tentu akan memilih menggembala di lembah yang subur, karena lebih banyak manfaat di dalamnya. Itulah perumpamaan takdir yang lebih dipilih oleh Umar. Takdir yang lebih baik dan lebih maslahat untuk umat.  (Kisah ini disebutkan dalam Sohih Bukhari Kitab at-Thib Bab Ma Yudzkaru Fii at-Tha’un)

Belajarlah dari Umar!

Melihat kondisi Indonesia yang sekarang ini harusnya jajaran wakil rakyat itu khawatir. Khawatir akan keselamatan rakyatnya. Bukan malah justru mengkhawatirkan kepentingan-kepentingan yang lainnya. Penulis pun sadar bahwa pada dasarnya suksesi kepemimpinan itu sangat penting adanya. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa banyak maslahat di dalamnya. Sehingga banyak pihak yang  bersikukuh untuk tetap menyelenggarakan tepat pada waktunya.

Akan tetapi perlu dipertimbangkan pula suara elemen masyarakat, cendekiawan taklupa juga ‘Ulama yang tidak diragukan lagi kontribusanya untuk Indonesia tercinta. Mengapa banyak di antaranya yang menginginkan untuk menunda pelaksanaan Pilkada? Atas dasar apa mereka dalam menentukan sikapnya? Tentu semua untuk kebaikan bersama. Mereka bicara atas nama kemanusiaan yang jauh lebih utama. Harapan yang terpancar dari mata mereka jelas menginginkan supaya tidak ada lagi korban yang berjatuhan. Hal ini sebanding lurus dengan kaidah “Dar al-Mafasid Muqoddamun ‘Ala Jalbil Mashalih”, artinya menolak sesuatu yang dapat mendatangkan kerusakan lebih diutamakan dari melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan.

Harapan mereka adalah harapan kita semua. Saat ini opsi menunda penyelenggaraan Pilkada jauh lebih menguntungkan bukan untuk segelintir orang saja. Melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Dan pelaksanaannya dapat diundur untuk beberapa saat sampai Indonesia pulih dan benar-benar kembali “New Normal”. Atau bisa diadakan sampai vaksin tersedia, sebagaimana yang diutarakan oleh Jusuf Kalla. Sehingga keselamatan segenap rakyat Indonesia menjadi prioritas utama. Karena hakekatnya roda pemerintahan yang diselenggarakan ini berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Maka jika ada suatu hal yang berpotensi menimbulkan bahaya untuk rakyatnya. Harusnya Pemerintah berada di garda terdepan untuk melindungi rakyatnya. Sebagaimana jejak Umar yang berusaha lari dari satu takdir menuju takdir lainnya, semata-mata untuk rakyat yang dicintainya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here