Narasumber : Ns. Taharuddin, M. Kep., CWCS (Ketua DPK PPNI Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur)
Aksi penolakan pemakaman jenazah perawat oleh sekelompok oknum masyarakat di Jawa Tengah yang telah gugur dalam mengemban tugas mulianya untuk menangani pasien Covid-19 di RS Karyadi, Jawa Tengah menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Hal ini ditunjukkan para tenaga kesehatan, khususnya yang tergabung dalam PPNI Samarinda dengan mengenakan pita hitam di lengan sebelah kanan. Hal ini sebagai bentuk solidaritas dan rasa duka yang mendalam kepada rekan rekan-rekan sejawat perawat yang telah gugur dan sebagai bentuk simpati dan empati serta satu semangat perjuangan perawat-perawat yang tergabung dalam PPNI. Seluruh perawat se-Samarinda mengenakan pita hitam mulai tanggal 12 – 15 April 2020 sebagai bentuk penghormatan.
Selain itu, PPNI Samarinda mengecam keras tindakan tidak terpuji tersebut. PPNI Samarinda akan memberikan dukungan terhadap proses hukum yang dilakukan oleh rekan rekan sejawat di daerah Jawa Tengah. Diharapkan dengan adanya payung hukum yang jelas, kejadian ini bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat sehingga tidak terulang lagi.
Selain dengan kejelasan payung hukum, masyarakat perlu disadarkan tentang penanganan jenazah pasien Covid-19. Penanganan jenazah pasien Covid-19 sudah melewati SOP sesuai standar WHO (Badan Kesehatan Dunia) sehingga sudah aman dimakamkan. Prosedur perawatan jenazah pasien Covid-19 dimandikan lebih dahulu dengan penyemprotan cairan desinfektan, dibungkus dengan plastik yg kedap air sehingga cairan tubuh pasien tidak bisa keluar, kemudian baru dikafani. Setelah itu, jenazah kembali dibungkus plastik, dimasukkan dalam kantung mayat standar medis, kemudian dimasukkan ke dalam peti mayat. Dengan penanganan sedemikian ketat, jenazah CoviD-19 dapat dimakamkan di manapun dengan aman tanpa khawatir dapat menyebarkan virus kepada masyarakat di sekitar area pemakaman.
PPNI Samarinda sangat menyayangkan tindakan penolakan sebagian oknum masyarakat tersebut karena tim kesehatan, khususnya perawat, telah mengorbankan segalanya, bahkan membahayakan nyawanya karena perawatlah harus bersentuhan langsung dengan pasien. Perawat harus melakukan tindakan medis dan tindakan perawatan langsung ke pasien, seperti memasang infus, injeksi/ penyuntikan obat, memasang selang makan dan selang kecing, membantu pasien makan dan minum, memandikan pasien yang tidak bisa mandiri. Tindakan ini membuat mereka kontak langsung dengan cairan tubuh pasien Covid-19 sehingga rentan terpapar virus yang membahayakan nyawanya.
Sebagai antisipasi dari tindakan tersebut, perawat diwajibkan menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) setiap masuk ke ruang isolasi pasien. APD yang gunakan untuk pasien infeksi bakteri dan virus yang menular hanya boleh digunakan sekali pakai. Karena keterbatasan APD, perawat menggunakannya sejak awal masuk kerja hingga selesai, sekitar 8 jam bahkan ada yang sampai 12 jam. Selama penggunaan APD tersebut, perawat harus merasakan panas yang luar biasa. Gerah, gatal, dan sakit di kulit, bahkan sampai luka merupakan hal sering mereka dapat. Selain itu, para perawat pun sering menahan lapar, haus, BAK, BAB bahkan ada yang terpaksa menggunakan diaper.
Di samping ketidaknyamanan fisik yang mereka tanggung, perawat juga harus rela mengisolasi diri untuk tidak berinteraksi dengan orang termasuk keluarganya selama menangani kasus Covid-19. Mereka mengetahui bahwa sangat besar risikonya untuk tertular.
Tenaga kesehatan telah mempertaruhkan nyawa dengan segala risiko bukan hanya karena tugas, melainkan juga rasa kemanusiaan yang tertanam dalam diri seorang perawat. Sangat menyedihkan jika pengorbanan yang diberikan para perawat harus dibalas dengan penolakan jenazah mereka. Sehingga bentuk penolakan ini tidak beralasan karena perawatan jenazah sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Sudah selayaknya, para tenaga medis mendapat dukungan penuh oleh masyarakat, bukan penolakan.
Sekali lagi, jauhi virusnya bukan orangnya, dengan menjaga jarak.
| Editor : FMR |