Oleh : Anggi Nofinta Dwi Woro (202110230311045)

Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini merupakan hasil dari pengamatan Freire selama enam tahun dalam pengasingan politik. Freire telah menganalisis peran “penyadaran” untuk mewujudkan terciptanya pendidikan yang membebaskan manusia. Agar dapat membebaskan diri, kaum tertindas harus menghilangkan ketakutannya akan kebebasan terlebih dahulu melalui usaha penyadaran. Tanpa hal tersebut, kaum tertindas akan berperilaku sama dengan penindasnya ketika mereka sudah merasa setara. Buku ini bersumber langsung pada kondisi nyata yang mewakili masyarakat kelas menengah bawah serta kaum pekerja yang telah diamati secara langsung maupun tidak langsung selama masa pekerjaan mendidik yang dilakukan oleh Freire.

Berbicara tentang pendidikan, pendidikan merupakan salah satu yang utama dari beberapa aspek tentang akan adanya perubahan status sosial masyarakat. Pendidikan menjadi sebuah alat reproduksi tentang dimana masyarakat akan mengalami perubahan diawali dengan perubahan ide-ide dan cara berpikir yang terstruktur ketika mereka berada dalam pendidikan yang sejati. Jika kita berbicara mengenai pendidikan kita harus mengerti makna akan pendidikan tersebut, Paulo Freire memaknai pendidikan dalam buku ilmu politiknya pendidikan adalah humanisme dimana arti sederhana yang mengatakan pendidikan merupakan alat produksi untuk memanusiakan manusia.

Pendidikan yang didefinisikan oleh Freire adalah pendidikan humanisme. Humanisme di bangun oleh Freire melalui filsafat pendidikan yang ditulis, dimana humanisasi merupakan pilihan mutlak. Humanisasi adalah salah satu pilihan bagi kemanusiaan, karena meskipun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi disepanjang sejarah peradaban masyarakat dan akan tetap menjadi ontologis di masa mendatang. Maka tugas pendidikan harus merubah pemikiran masyarakat yang telah mengalami masa transisi moral pendidikan yang ada saat ini. Seharusnya pendidikan berjalan seimbang seiring dengan tatanan norma- norma masyarakat yang ada. Institusi pendidikan harus memahami dan belajar seberapa besar arti dari nilai kepribadian. Pendidikan harus mengajarkan dimana seharusnya manusia mengetahui dirinya sendiri.

Pada prawacana dijelaskan kritik Freire terhadap sistem pendidikan tradisional di Brasil yang bersifat hafalan dan menggurui. Menurutnya sistem seperti ini tidak akan membebaskan manusia secara manusiawi dan utuh. Hal ini berkaitan dengan sistem pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan yang demikian mengantarkan manusia baru sebagaimana manusia sebelumnya. Freire menjelaskan bahwa terdapat dua posisi manusia yang dikaji olehnya, yaitu kaum tertindas dan penindas. Kaum tertindas berperan sebagai manusia objek yang kehilangan hak kritisnya, sedangkan kaum penindas berperan sebagai subjek yang mengatur. Menurutnya kedua kondisi ini mengalami ketidaksadaran, sehingga pendidikan yang diberikan selalu berakhir pada pengulangan. Kaum yang mengalami penindasan akan merasa setara dengan penindas saat memperoleh pendidikan, hal ini mengakibatkan manusia tersebut akan menjadi penindas baru.

Oleh karena itu perlu dilakukan pendidikan pembebasan, yang berarti sistem pendidikan yang mendorong manusia menjadi manusiawi. Hal ini pastinya terlepas dari kaum penindas maupun tertindas. Freire menawarkan pendidikan dengan sistem yang berbeda, yaitu sistem problem posing education untuk melakukan pembebasan dari pendidikan “gaya bank”. Pendidikan “gaya bank” yang menjadi kritik Freire dalam pendidikan tradisional di Brasil dapat ditemukan juga pada sistem pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan pada jenjang sekolah dasar hingga jenjang menengah atas. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa di perguruan tinggi juga menggunakan sistem pendidikan “gaya bank” yang tak jarang masih berlaku.

Contoh pendidikan “gaya bank” pada jenjang sekolah dasar, pada jenjang ini kedisiplinan siswa sangat diutamakan, serta standar penilaian baik diberikan apabila tugas-tugas diselesaikan dan dikerjakan tepat waktu. Sebagai seorang siswa pastinya ingin menjadi seperti yang diharapkan oleh gurunya dan menjadi sesuatu yang wajib untuk memenuhi hal tersebut. Sebagian besar mata pelajaran dilakukan dengan cara metode “hafalan”. Setiap siswa diwajibkan menghafal setiap kata maupun kalimat yang diajarkan oleh guru. Jika tidak hafal maka akan mendapat hukuman, hal ini sudah menjadi hal yang wajar. Metode hafalan ini tidak menuntut pemahaman. Sehingga banyak siswa berpikir agar tidak mendapat hukuman, maka wajib menghafal. Namun karena tidak diimbangi dengan pemahaman, maka hafalan yang sebelumnya biasanya terlupakan setelah ada kosakata baru yang harus dihafalkan lagi.

Berdasarkan contoh pengalaman tersebut dapat memperoleh kesimpulan bahwa posisi siswa saat itu mengalami ketergantungan terhadap perintah guru. Ketergantungan tersebut terjadi karena akibat dari harapan siswa agar tidak mendapatkan hukuman maupun untuk memperoleh nilai “baik” dari guru. Hal ini tentunya memperkuat ketergantungan siswa terhadap guru, sehingga siswa tidak berani menyuarakan pendapatnya atau melakukan protes sebagai bagian kebebasan siswa dari ketertindasan.

Freire mengharapkan sistem pendidikan yang ada saat ini tidak mengenal yang disebut sebagai kekuasaan. Dimana guru sebagai penguasa dan siswa dianggap sebagai korban dari kekuasaan tersebut. Freire ingin siswa menjadi subjek dari dirinya sendiri dalam belajar. Guru yang berperan sebagai subjek dalam pendidikan diharapkan memberikan ruang sendiri bagi siswa agar belajar berpikir sendiri, dengan kata lain memberikan kebebasan berpikir pada siswa. Sehingga guru dan siswa sama-sama menjadi subjek dan objeknya adalah ilmu serta masalah-masalah yang ada disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari.

Freire menawarkan solusi untuk membuka kesadaran kaum tertindas dengan sistem pendidikan hadap masalah (problem posing education). Dimana pendidikan hadap masalah akan membuat kaum tertindas menyadari posisi mereka sebagai realita sosial yang merupakan bagian dari diri mereka. Karena pada dasarnya pembebasan kaum tertindas dari ketertindasannya hanya akan berhasil jika berasal dari usaha atau niat dari diri mereka sendiri untuk menjadi bebas, sehingga kaum tertindas memegang peran penting dalam hal ini. Oleh karena itu usaha-usaha pembebasan yang dilakukan harus secara totalitas.

Dalam jenjang perguruan tinggi, sistem pendidikan hadap masalah menjadi bagian dari proses pendidikan yang ada. Hal ini terlihat dari banyaknya tugas yang berkaitan langsung dengan realita sosial yang ada. Dalam sistem ini dosen berperan sebagai revolusioner pembebasan, dan mahasiswa berperan sebagai kaum tertindas (dari pendidikan sebelumnya) harus mengupayakan pembebasannya yang dibantu oleh dosen. Pembebasan tidak dilakukan oleh penindas untuk kaum tertindas maupun sebaliknya, melainkan untuk keduanya. Dosen dan mahasiswa sama-sama memiliki peran penting dalam pembebasan ini. Namun karena awal mulanya mahasiswa sudah menjadi korban dari sistem pendidikan tradisional pada jenjang sebelumnya, maka untuk melakukan pembebasan ini dosen harus berani melakukan percakapan atau bertukar pendapat dengan mahasiswa. Bukan sebaliknya dengan memberikan beban tugas yang menyebabkan mahasiswa mengalami academic culture shock. Namun seiring berjalannya waktu mahasiswa yang sebelumnya menjadi kaum tertindas akan perlahan menuju pembebasan melalui sistem pendidikan hadap masalah yang diberlakukan dalam jenjang perguruan tinggi.

Pendidikan hadap masalah dapat diterapkan melalui tugas dan tema yang berkaitan langsung dengan realita sosial yang mendorong mahasiswa untuk melakukan penelitian untuk memahami realita sosial yang ada. Sebagai contohnya yaitu masalah kesehatan mental. Mahasiswa tidak hanya diwajibkan memahami teori tentang Kesehatan mental saja, akan tetapi juga diwajibkan memahami secara langsung realita dimasyarakat melalui kuliah kerja lapangan. Bahkan beberapa mata kuliah yang tidak mengharuskan untuk melakukan kuliah kerja lapangan memberikan mahasiswa kebebasan untuk berfikir kritis terhadap tema yang diberikan. Sehingga terjadi percakapan antara keduanya (dosen dan mahasiswa). Secara tidak langsung sistem pendidikan juga melakukan apa yang disebut Freire sebagai “sintesa kebudayaan”.

Sumber : Freire, P. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here