Oleh: Dava Agus Pratama Putra
Kader IMM Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS

Sudah tidak asing lagi di telinga kita dengan nama Rohingya. Siapa yang tidak tau dengan pengungsi dari Myanmar yang meminta perlindungan ke negara-negara tetangga untuk menyambung hidup sekaligus jaminan keamanan. Mayoritas dari etnis tersebut adalah muslim sehingga sebagai sesama saudara seiman mempunyai kewajiban melindungi hak saudaranya.

Menganai permasalahan Hak Asasi Manusia dikalangan Rohingya sendiri telah sampai di kancah nasional, bahkan PBB sendiri telah mengecam Pemerintahan Myanmar untuk segera menindaklanjuti permasalahan tersebut sampai tuntas, serta menyerahkan masalah tersebut kepada suatu  komunitas yang bekerja khusus menangani Etnis Rohingnya tersebut yaitu UNHCR (United Nations High Commissioner of Refugees), yang mana mereka memang sengaja dibentuk untuk menangani Perlindungan Pengungsi. Dalam hal ini saya akan menjelaskan sedikit mengenai sejarah Etnis Rohingya sampai terjadinya konflik yang marak saat ini.

Rohingya, Siapa Mereka?

Rohingya adalah sebuah etnis minoritas yang tinggal di Myanmar, terutama di Provinsi Rakhine atau Rakhaing. Sejarah etnis Rohingya di Myanmar dimulai setelah kemerdekaan negara tersebut pada tahun 1948. Pada masa kepemimpinan Jenderal Aung San, etnis Rohingya memiliki peran dalam pemerintahan Myanmar, bahkan ada yang menjadi menteri pada tahun 1940-1950. Namun, setelah kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Ne Win pada tahun 1962, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter dan etnis Rohingya mulai mengalami tindakan kekerasan dan diskriminasi di negara tersebut.

Sikap pemerintah Myanmar yang tidak bersedia mengakui Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar menjadi faktor utama berlarut-larutnya persoalan Rohingya. Karena keberadaan mereka tidak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan. Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) mengategorikan Rohingya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia.

Rohingya tidak diakui sebagai kelompok mayoritas di Myanmar karena beberapa factor, sehingga banyak konflik yang menimpa mereka, diantaranya. Pertama, Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis yang diakui secara hukum di negara tersebut. Undang-undang ini mengakibatkan Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan yang sah di Myanmar.

Kedua, pemerintah Myanmar dan sebagian besar masyarakat di negara tersebut tidak mengakui Rohingya sebagai etnis yang sah. Mereka dianggap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh dan bukan warga negara Myanmar.

Selain itu, konflik antara Rohingya dan mayoritas Rakhine yang beragama Buddha juga memperburuk situasi mereka. Kerusuhan komunal pada tahun 2012 memicu migrasi massal Rohingya ke tenda pengungsian dan negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia. Diskriminasi terhadap Rohingya juga terjadi dalam hal akses ke pendidikan, layanan pemerintah, dan kebebasan bergerak di Myanmar. Mereka tidak memiliki hak-hak dasar manusia dan sering kali menghadapi pembatasan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penting untuk diingat bahwa situasi Rohingya adalah isu yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang mendalam. Penanganan masalah ini memerlukan kerjasama dan dukungan internasional yang lebih luas untuk mencari solusi jangka panjang.

Siapakah UNCHR?

Dalam konteks ini, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) berperan penting dalam memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi Rohingya. UNHCR adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab dalam menangani isu pengungsi di seluruh dunia. Badan ini didirikan pada tahun 1950 dan memiliki mandat untuk melindungi dan membantu pengungsi serta mencari solusi jangka panjang bagi mereka.

Dalam kasus Rohingya, UNHCR telah terlibat dalam memberikan bantuan dan perlindungan kepada pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh, Indonesia. Sejak 14 November 2023, Aceh telah menerima sekitar 1.075 pengungsi Rohingya dalam enam gelombang. Meskipun Indonesia bukan anggota negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, UNHCR tetap bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan bagi pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh.

Ada beberapa sumber yang menyebutkan yang menjadi hambatan bagi Rohingnya, yaitu beberapa warga di Aceh juga menolak kehadiran pengungsi Rohingnya, yang disayangkan oleh UNHCR. Akan tetapi warga Aceh menolak juga tidak semena-mena karena mereka tidak peduli, juga bukan alasan tanpa sebab apapun, tetapi yang sangat miris disini adalah para pengungsi tersebut tidak memiliki rasa terimakasih, tidak sadar bahwa mereka itu menumpang.

Dalam sebuah pepatah disebutkan “diberi hati malah minta jantung”, itu sebagai penggambaran bagi mereka yang tidak bersyukur telah di beri tempat tinggal bahkan makan secara percuma, tapi balasan mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka terima, malah terkesan merugikan warga lokal sendiri. Pemerintah Indonesia juga mendesak UNHCR untuk bertanggung jawab terhadap pengungsi Rohingnya dan mengatasi masalah yang timbul akibat kehadiran mereka di Aceh. Dan juga dari Rohingnya sendiri tidak mau dikembalikan ke Myanmar, dengan alasan perlakuan yang tidak adil kepada mereka padahal mereka diberikan tempat tinggal oleh pemerintah tetapi dengan syarat mereka harus bekerja. Mereka berdalih penganiayaan, padahal dari mereka sendiri yang malas dan tidak mau bekerja tetapi tidak mau bekerja dan hidup seenaknya. Itulah yang terjadi di Negara kita Indonesia saat ini.

Apakah benar Rohingya sebagai propaganda penjajahan?

Banyak sekali berita-berita dan tanggapan-tanggapan disosial media berkeliaran mengenai Etnis Rohingnya, baik sifatnya positif maupun negatif. Banyak juga pihak yang tidak bertanggungjawab menyebarkan isu-isu yang buruk tentang mereka, bahkan banyak juga yang menyebut bahwa Rohingnya ini termasuk rencana UNCHR sebagai propaganda penjajahan berkedok kemanusiaan. Baik di Twitter, Facebook, Instagram, bahkan TikTok sekalipun ramai berita mengenai hal tersebut, banyak para haters menyerang akun pribadi dengan komentar yang sangat buruk, walaupun dari saya sendiri agak geram dengan Rohingnya berdasarkan data yang telah saya baca dan telusuri di berbagai media massa yang menyebutkan memang dari mereka malas bekerja dan ingin hidup seenaknya sendiri padahal mereka juga hidup di negeri orang tetapi malah membuat kesusahan kita.

Kembali ke persoalan Rohingnya tadi, mengenai isu-isu propaganda penjajahan yang diutarakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tidaklah benar, karena jika dipikir matang juga tidak mungkin dari Rohingnya melakukan perlawanan terhadap rakyat Indonesia, sebab mereta tidak hanya datang ke Indonesia, tetapi ke negara lain juga untuk mencari perlindungan. Sebab di Myanmar mereka tidak diterima keberadaanya bahkan tidak mendapat perlakuan layaknya manusia atau bisa dikatakan perlakuan yang mereka dapat malah seperti diperlakukan  seperti Binatang sehingga mereka kabur dari Myanmar ke negara lain.

Jadi, untuk pihak yang menyatakan pernyataan terkait Rohingnya sebagai propaganda penjajahan sangatlah keliru, mereka hanya butuh pertolongan, mereka hanya ingin hak-hak mereka terpenuhi sebagai manusia bukan binatang, jadi kita harus respect kepada mereka, kita harus dukung mereka. Disini saya bukannya memihak kepada mereka tapi kita sebagai warga negara Indonesia dan juga sebagai saudara seiman harus menunjukan rasa kemanusiaan kita kepada mereka dengan catatan dari mereka juga tidak hanya menumpang dan meyusahkan kita. Jadi kesimpulannya harus ada timbal balik dari para pengungsi Rohingnya jika ingin mendapat respect dari rakyat Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here