Oleh: M. Andhim dan An-najmi FR
Bagai hujan di bulan Januari. Tanpa diharapkan pun datangnya hampir setiap hari. Begitu dengan hari-hari kita yang terus dibanjiri oleh bayang-bayang hoaks. Nampaknya hoaks atau kabar bohong itu telah mewarnai kehidupan manusia modern. Karena hoaks itu sendiri sudah menjadi ciri dari era di mana manusia hidup saat ini. Era yang familiar dengan julukan post-truth. Suatu masa yang cenderung mengabaikan fakta dan kebenaran. Manser (1996) sebagaimana yang dikutip oleh ulya (2018) mengatakan bahwa hoaks atau kabar bohong merupakan anak kandung dari era post-truth. Motif penyebar hoaks dalam menyebarkan hoaks itu sendiri beraneka ragam. Bagi mereka yang sadar, hoaks merupakan alat yang ampuh untuk menciptakan kegaduhan, kebencian, hingga konflik antar pihak yang menjadi sasaran. Sedangkan pelaku penyebar hoaks yang tidak menyadari tindakannya, hanya dijadikan sebagai alat untuk mendukung kepentingan oleh pihak yang tidak bertangung jawab.
Saluran terbesar penyebaran hoaks di Indonesia menurut survei Mastel tahun 2019 ialah sebesar 87,50 % melalui media sosial. Sedangkan media cetak hanya berkisar pada angka 6,40 %. Data ini menunjukkan bahwa peran teknologi dalam penyebaran hoaks cukup tinggi. Survei yang melibatkan 941 responden ini juga menunjukan bahwa kontent dari hoaks itu sendiri didominasi oleh isu sosial-politik (93,20%), disusul oleh isu SARA (76,20%), kemudian isu pemerintahan (61,70%), dan ada beberapa isu yang lainnya seperti kesehatan, bencana alam, lowongan kerja, pangan, keuangan, IPTEK, dan berita duka. Data hasil Survei ini mengafirmasi bahwa status Indonesia sampai detik ini masih gawat darurat dari hoaks. Perlu penanganan yang cepat dan tepat dari seluruh elemen bangsa. Tak terkecuali umat Islam, mengingat posisinya sebagai umat mayoritas. Mari kita buka pedoman hidup kita.
Istilah berita bohong (hoaks) dalam al-Qur’an bisa diidentifikasi dari pengertian kata al-Ifku yang berarti keterbalikan. Adapun yang dimaksud di sini ialah sebuah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta. Islam memandang hoaks ini sebagai sesuatu yang harus dihindari oleh seorang mukmin. Karena dampak yang timbulkan cukup dahsyat adanya. Umumnya berupa perselisihan, permusuhan, hingga berujung pada pertumpahan darah di mana-mana. Oleh karenanya tak tanggung-tanggung banyak ayat yang melarangnya.
Selain anjuran untuk meninggalkan hoaks. Al-Qur’an juga menawarkan berbagai solusi untuk membendung peredaran hoaks. Salah satu ayat yang berkaitan perihal ini ialah an-Nisa’ ayat 83. Didalamnya mengajarkan kepada umat Islam tentang bagaimana etika serta tata cara menyikapi datangnya suatu berita. Begitupula yang dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir, yang menegaskan pengingkaran terhadap orang yang tergesa-gesa dalam menanggapi berbagai urusan sebelum meneliti kebenarannya. Tanpa pikir panjang segeralah ia memberitakan dan menyiarkannya. Padahal belum tahu kebenaran kabar yang diterimanya. “Kuwi wong sembrono” julukan mereka oleh warga Pantai Utara.
Di dalam tafsir al-Wajiz dijelaskan bahwa an-Nisa’:83 memuat pengajaran dari Allah tentang perbuatan yang tidak patut dikerjakan. Seyogyanya apabila datang kepada mereka suatu perkara penting. Perkara umum yang berkaitan dengan kebahagiaan kaum mukminin. Serta kekhawatiran yang mengakibatkan suatu musibah atas mereka. Maka mereka harus memastikan terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan kabar itu. Ayat ini juga mengisyaratkan tentang larangan dari sikap terburu-buru dalam menyampaikan informasi yang baru saja didapatkan. Seharusnya dalam perkara seperti itu perlu memastikan (tabayun) sebelum membicarakan dan menyebarluaskannya
Tabayun atau verifikasi berita merupakan satu amal solih yang memberikan banyak maslahat. Selain memutus tali kebathilan (dusta), tabayun juga merupakan upaya preventif dari timbulnya kerusakan yang akan diakibatkan. Salah satu metode untuk tabayun dapat menerapkan teori asbabun nuzul. Mula-mula dengan melihat profil penyebar berita atau riwayat postingan-postingannya. Jika riwayat postingan-postingan sebelumnya menunjukkan kebiasaan membagikan kabar bohong. Patut diwaspadai, alih-alih dicurigai bahwa postingan-postingan berikutnya pun juga tak akan jauh beda dengan postingan sebelumnya.
Perlu ketelitian dan penuh kewaspadaan sebelum membagikan informasi baru. Bahasa kerennya “saring sebelum sharing”. Selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman/ makna yang tepat dari suatu berita perlu mencari tahu konteks dimana kabar itu muncul. Karena seorang anak, tak mungkin hadir tanpa seorang ibu. Demikian halnya dengan teks (berita), yang takkan pernah lepas dari konteks yang ada di belakangnya. Perlunya kita melakukan ini taklain untuk menghindari mis-informasi dan dis-informasi terhadap suatu peristiwa. Bukankah kita yakin kepada hari akhir? Jika kita yakin, pasti kita akan lebih memilih berdiam diri daripada harus menyebar kabar yang belum jelas kepastiannya. Mari bersama tahan diri supaya tiada lagi dusta yang beredar di antara kita. Tabik!