Oleh: Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Peringatan maulid Nabi Agung Muhammad ﷺ merupakan peristiwa budaya, dan bukan ibadah mahdlah.
Peristiwa ini mengingatkan kita tentang pencahayaan Ilahi atas kemanusiaan yang tampak dalam risalah kenabian Muhammad ﷺ sebagai penutup dan penyempurna seluruh risalah kenabian yang diturunkanNya di semesta ini. Dengannya Allah Ta’ala menyelamatkan umat manusia dari kegelapan- kegelapan menuju “satu cahaya” yaitu: Islam.
Terlepas dari perdebatan para Ulama, apakah Nabiyullāh Muhammad ﷺ tercipta dari cahaya; yang pasti bahwa beliau diberi predikat oleh Allah Ta’ala sebagai “nūr” (cahaya). Demikian dipahami oleh banyak Mufassir tentang beberapa Ayat berikut ini:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu CAHAYA dari Allah dan kitab yang menerangkan. (QS. Al-Maidah: 15).
Demikian pula dalam QS. Al-Ahzab: 45-46,
“Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi CAHAYA yang menerangi.”
Saya pribadi meyakini bahwa karakteristik CAHAYA yang melekat pada diri seorang Imam para Nabi dan Rasul Muhammad ﷺ, bahkan diatribusi secara langsung oleh Allah Ta’ala melalui KalamNya menunjukkan makna metaforis yang sejatinya wajib kita teladani; agar kita tak larut dalam jebakan dunia yang materialistik dan fana, tetapi tak lelah berikhtiar mentransformasi diri dari “al-jasad al-māddī” (jasad yang meterial) menuju “al-insān al-nūránī” (manusia cahaya) yang tak henti berjuang menerangi kehidupan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan bahkan semesta.
Tahni’ah, dan selamat menyelami makna terdalam dari kelahiran Manusia Agung, Muhammad ﷺ.
12 Rabi’ul Awwal 1446 H