Oleh: Muhammad Ibnu Masngud, Kader IMM Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS 2021
Seberapa Agung Allah Di Hatimu?
Tidakkah cukup menjadi motivasi bagi seorang yang dianugerahi status “mahasiswa” bahwa kata pertama yang diturunkan sang pencipta dalam kitab terakhir-Nya adalah Iqra (bacalah!). Perintah itu turun di tengah kecarut-marutan masyarakat jahiliah dengan segala problemnya, baik dari aspek sosial maupun spiritual. Mulai dari cara pandang yang merendahkan perempuan sampai-sampai membuat sebagian masyarakatnya mengubur hidup-hidup bayi perempuannya. Hingga problem spiritual berupa penyekutuan terhadap Allah SWT yang maha esa.
Betapa mengagumkan, titah pertama dari sang pemelihara alam semesta dalam kondisi yang demikian bukanlah perintah untuk mengesakan-Nya, bukan juga larangan merendahkan perempuan hingga membunuh mereka saat bayi. Padahal kita tahu bahwa diantara dosa-dosa terbesar adalah kesyirikan dan pembunuhan. Dan bukankah sesuatu yang dijadikan pertama biasanya adalah yang paling utama?. Jadi sekali lagi, apakah tidak cukup perintah pertama sang pencipta menjadi motivasi?. Jika Allah agung di hati, engkau sebenarnya tak perlu lagi banyak motivasi. Atau jangan-jangan Allah sudah tidak lagi Agung di hati ini?. Hingga tak ada lagi dorongan dalam hati untuk mengejawantahkan titahnya itu. Na’uzubillah.
Boleh jadi argumen atau motivasi semacam ini sudah “basi”. Namun masih saja banyak mahasiswa yang belum tumbuh kesadaran literasi dalam jiwanya. Semenyentuh apapun motivasi dan sekreatif apapun program yang dirancang untuk menggelorakan budaya literasi, tujuan dari semua itu tidak akan terealisasi jika hawa nafsu masih “dipertuhankan” (lebih-lebih rasa malas). Apalagi jika hidup ini minim penghayatan. Jadi semangat kita untuk berliterasi dapat menjadi salah satu cerminan agung atau tidaknya Allah SWT dalam hati.
Apa Yang Harus Dibaca?
Menurut Prof. Quraish Shihab, bahwa dalam wahyu pertama yang turun Allah SWT tidak menyebut objek tertentu dari perintah-Nya “iqra”. Padahal iqra adalah bentuk perintah dari kata qaraa yang merupakan fi’il muta’addy atau kata kerja yang tidak akan sempurna maknanya sebelum objeknya disebutkan. Hal ini memberikan pemaknaan bahwa yang Allah SWT perintahkan untuk dibaca tidak terbatas pada bacaan tertentu. Tetapi perintah itu mencakup semua hal yang mungkin dibaca, bahkan tidak hanya teks yang tertulis tapi juga seluruh alam raya termasuk diri kita sendiri. Hemat saya, di sini Allah SWT memberikan ruang kepada para pelajar agar dapat menjadikan aktivitas belajarnya sebagai ibadah. Karena tidak semua orang tertarik untuk menjadi ulama, juga memang tidak sepatutnya. Perlu ada yang menjadi saintis juga pakar ilmu-ilmu humaniora dengan tetap berpegang pada ajaran agama.
Buya Syafi’i Ma’arif pernah menyampaikan “Seandainya Iblis menulis dan menerbitkan buku sekalipun, kita harus membacanya”. Kebanyakan orang mungkin memaknai perkataan beliau ini sebagai dorongan untuk membaca semua buku. Tetapi saya lebih cenderung memaknainya bahwa kita tidak patut bersikap apriori. Iblis adalah musuh manusia, tetapi kita juga harus membaca pikirannya agar tak mudah jatuh dalam tipu muslihatnya. Kita perlu mamahami isi kepala lawan berpikir kita, di samping itu tidak menutup kemungkinan pikirannya -kecuali iblis, kalau iblis pasti sesat dan menyesatkan- juga mengandung kebenaran. Jika hendak membantah pun kita harus benar-benar paham. Imam Al-Ghazali pasti menyelami filsafat dahulu sebelum menulis Tahafut al-Falasifah.
Ilmu ibarat lautan tanpa tepian. Memang tidak ada buku dan ilmu yang salah untuk dibaca dan didalami. Terlebih dengan mempelajari berbagai macam ilmu dapat membuat kita memiliki banyak sudut pandang. Namun masalahnya ada pada diri kita, yaitu keterbatasan waktu dan energi. Penulis masih ingat betul nasehat dari almarhum Ustaz Andika Saputra bahwa semestinya buku yang dibaca seseorang itu yang sesuai dengan gambaran masa depannya. Kalau anda seorang Mahasiswa Tafsir misalkan, maka buku-buku Prof. Quraish Shihab itu lebih prioritas dibandingkan buku-buku Yuval Noah Harari. Meskipun tidak salah juga kalau anda tetap membacanya.
Hemat Waktu dan Energi
Saat acara Baitul Arqam kampus saya diuji oleh seorang mentor tahfiz untuk melanjutkan potongan ayat yang dibacakan. Kemudian diberikan pertanyaan “perhitungan ayat”, misalnya “bacakan lima ayat sesudahnya kemudian delapan ayat sebelumnya!”. Di akhir sesi mentor memberikan motivasi dan masukan untuk menghafalakan al-Qur’an beserta nomor ayat dan posisinya agar mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti diatas. Awalnya cukup termotivasi, tapi setelah dipikir lagi, menurut saya motivasi dan masukan itu salah target. Beda halnya jika yang jadi targetnya orang semisal ustaz Adi Hidayat atau Kamil dan Ahmad.
Menimbang waktu, energi, dan kemampuan saya yang serba terbatas, menjadi mubazir jika memaksakan menghafalkan nomor-nomor ayat, posisi, serta halamannya. Ini tidak berlaku bagi anda yang sekali menghafal langsung ingat semuanya. Namun untuk manusia standar seperti saya akan jauh lebih baik jika menginvestasikan waktunya untuk belajar bahasa Arab dan membaca tafsirnya. Bahkan seandainya harus memilih antara menghafal atau mempelajari maknanya, tentu jauh lebih prioritas yang kedua. Al-Qur’an itu ada lafaz dan maknanya, lafaz itu wasilah dan makna itu tujuan. Menghafal itu terfokus pada lafaz sedangkan tadabur itu terfokus pada makna. Begitu jelas Syekh Adham al-Asimi.
Jadi tidak cukup memastikan bahwa yang dipelajari itu sesuai dengan disiplin keilmuan kita, namun perlu juga dipastikan bahwa yang dipelajari adalah yang paling urgen dan relevan dengan kondisi. “Ilmu yang paling baik untuk dipelajari adalah yang kewajibanmu tidak menjadi sempurna kecuali dengan ilmu itu”, ini petuah ulama yang saya lupa namanya. Jika anda seorang mahasiswa tafsir, mempelajari bahasa Arab itu jauh lebih penting dari pada bahasa Shona. Beda cerita kalau anda itu Duta Besar Indonesia untuk Zimbabwe.
Meluaskan Cakrawala dan Mempertajam Pikiran
Salah satu faktor majunya keilmuan saat masa keemasan Islam adalah keterbukaan terhadap ilmu-ilmu dari peradaban lain seperti yunani dan sebagainya. Maka salah satu kunci sukses belajar adalah memperkaya referensi. Mengingat bahwa referensi-referensi utama banyak yang berbahasa asing, maka penguasan bahasa sangat diperlukan. Meskipun hari ini segala sesuatu bisa diterjemahkan dengan mudah, namun tidak jarang bahasa terjemahan tidak mampu mewakili makna dari bahasa aslinya secara utuh. Lebih-lebih google translate juga tidak menutup kemungkinan adanya salah, salah i’rab misalnya dalam bahasa Arab.
Dalam buku filsafat kebahagian karya Ustaz Fahruddin Faiz dijelaskan, bahwa diantara kunci sukses Al-Farabi dalam keilmuan adalah penguasaannya pada bahasa, bahkan Al-Farabi menguasai sekitar tujuh puluh bahasa. Proses transfer ilmu juga tidak sebatas dari tulisan. Penguasaan bahasa asing membuat cakrawala kita semakin luas, dengan mendengar seminar dalam bahasa inggis atau arab misalnya. Mempelajari bahasa bukan hanya tentang bahasa, tapi juga tentang budaya. Pengetahuan tentang keragaman budaya akan membuat anda menghormati sekaligus dihormati orang lain. Itu kata Jack Ma.
Kesimpulan
Buatlah desain gambaran diri anda di masa depan dan tentukanlah ilmu apa saja yang hendak anda selami. Kenalilah diri anda untuk mengukur potensi dan kapasitas yang dimiliki. Dari dua langkah awal itu kemudian buatlah skala prioritas karena waktu dan energi anda terbatas. Pastikan setiap aktivitas yang dijalani mengantarkan diri anda lebih dekat dengan gambaran masa depan yang telah dibuat. Kuasailah banyak bahasa, pertajam logika, dan luaskan cakrawala agar anda bisa membaca dan memandang suatu hal dari banyak sisi. Membaca adalah “tugas suci” dari sang pencipta yang wajib kita emban. Hal terakhir yang ingin saya sampaikan namun paling penting, bahwa kita membaca dan melakukan semua itu karena nama Tuhan yang telah menciptakan(ikhlas). Iqro bismi robbikallazi kholaq.
La haula wala quwwata illa billah. Wallahu a’alam bishshwab.