Oleh: Thariqah Syuffiyah (202110230311034)
Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” yang ditulis oleh Paulo Freire ini, mencari tahu tentang pemikiran mereka yang ingin melibatkan diri dalam merealisasikan cita-cita mereka secara nyata. Terdapat tiga pokok pembahasan yang dibahas pada buku ini. Pertama, menceritakan kisah pada perjalanan hidup seorang Freire. Hal ini dianggap penting karena pemikiran Freire yang timbul atas pengalaman hidupnya. Dengan ini mungkin saja kita sebagai pembaca mendapat gambaran atas pengalaman hidup Freire. Kedua, di dalam buku ini memberikan ringkasan yang dapat dengan mudah kita pahami isi bukunya. Ketiga, secara singkat dapat melihat gambaran mengenai relevansi penyadaran dan pencerahan sebagai hasil dari pembaca buku “Pendidikan Kaum Tertindas” bagi masyarakat di Indonesia yang sedang berlomba-lomba ingin menciptakan masyarakat yang demokratis sesuai dengan ketentuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tahun 1998, setelah pudarnya masa Orde baru kalangan masyarakat di Indonesia sudah mulai banyak mengenal pemikiran dan karya dari Paulo Freire ini. Buku ini akan memberikan pandangan baru mengenai masalah sosial yang ada, khususnya di bidang pendidikan.
Dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” berbahasa Inggris, Profesor Richard Shaull mengatakan bahwa pengalaman mendalam akan kelaparan sewaktu kecilah yang meyebabkan Freire bertekad untuk mengabadikan perjuangan hidupnya, dengan harapan agar anak-anak lainnya tidak mengalami hal yang sama. Waktu berlalu, ketika situasi dari keluarga Freire membaik, Paulo Freire mengambil jurusan hukum dan mampu menyelesaikan pendidikan nya di Universitas Recife. Dia juga mempelajari filsafat serta psikologi bahasa, dan menjadi pengajar paruh waktu bahasa Portugis di sekolah lanjutan.
Tahun 1994, Freire menikah dengan seorang guru sekolah dasar yang berasal dari Recife. Istrinya itu bernama Elza Maia Costa Oliviera, dan melahirkan tiga putri dan dua orang putra. Dalam masa itu, Freire mengatakan bahwa perhatiannya mengenai teori-teori tentang pendidikan mulai tumbuh. Freire bekerja sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, dan menjadi Direktur Bagian Pendidikan dan Kebudayaan SESI (Pelayanan Sosial) di bagian Negara Pernambuco. Pada tahun 1946-1954, pengalaman yang dirasakan Freire mampu membawanya bersosialisasi langsung dengan masyarakat miskin yang tinggal di daerah kota. Pengalaman bermanfaat itu dijadikan sebagai bahan penelitian Freire pada tahun 1961 dengan tujuan mengembangkan metode dialogik dalam pendidikan. Feire juga memimpin seminar mengenai pendidikan orang dewasa, serta diberikannya pendidikan sejarah filsafat di Universitas Recife tempat nya memperoleh gelar doctor tahun 1959.
Gerakan pembaruan berkembang biak secara merata pada awal tahun 1960-an, hal ini terjadi karena adanya keresahan sosial di Brasil. Banyaknya aliran yang digerakkan dengan tujuan politik. Seperti adanya aliran sosialis, komunis, dan Kristen. Serta terdapat aliran yang bergerak di kalangan mahasiswa, seniman, buruh dan petani.
Kegiatan pelatihan yang bertujuan untuk menganalisis peran “penyandaran” maupun usaha lainnya, menjadi percbaan terakhir dari suatu bentuk pendidikan yang membebaskan adanya perasaan “takut akan kebebasan” atau bisa disebut sebagai “fear of freedom”. Penyandaran ini mengakibatkan rasa khawatir yang berakibat buruk pada korban. Seperti anggapan yang tidak selalu dinyatakan dengan terus terang, sebagaimana korban beranggapan bahwa lebih baik mereka diberlakukan dengan tidak adil untuk tidak mengenal diri mereka sendiri. Hal ini menujukkan bukti bahwa para korban yang sebenarnya tertindas tetapi mereka juga merasakan perasaan akan takut dengan kebebasan.
Seperti kasus yang pernah terjadi tahun 2020 silam, kematian tentang aktor berbakat dari India yang bernama Sushant Singh Rajput. Dilansir dari situs Merdeka.com, dikabarkan dia tewas dengan cara bunuh diri saat ditemukan jasadnya di apartemen miliknya. Kematian aktor muda tersebut diduga karena mengalami depresi yang berat. Hal tersebut sempat membuat sebagaian masyarakat khususnya di India merasa terganggu, sehingga banyak orang yang mempertanyakan tentang pengaruh dari nepotisme, bulliying, hingga kesehatan mental korban. Namun tak sedikit pula dari mereka yang menyuarakan tentang nepotisme dan bulliying yang terjadi di tempat kerja.
Kita semua mengetahui bahwa tindakan bulliying dan nepotisme sendiri merupakan perbuatan atau tindakan yang sangat merugikan salah satu pihak, banyak dari mereka yang menjadi korban tindakan tersebut merasa sangat tertekan. Terlebih lagi jika itu dilakukan di tempat kerja, akan mengaibatkan tekanan lebih, tentang perihal jabatan, maupun status sosial. Seperti yang diberitakan melalui Liputan6, Jakarta tahun 2020, tindakan bulliying di tempat kerja lebih sering terjadi. Judith Lynn Fisher-Blando dari University of Phoenix, melakukan penelitian yang berjudul “Workplace Bulliying: Aggressive Behavior and it’s Effect on Job Satisfaction and Productivity” memberi fakta bahwa hamper sekitar 75 persen karyawan menjadi korban dari tindakan bulliying tersebut.
Tindakan kurang pantas yang dilakukan di tempat kerja mungkin saja terjadi karena adanya konflik antara atasan dengan bawahan, konflik antar sesama karyawan, buruknya komunikasi internal perusahaan, serta bisa jadi karena kurangnya pelatihan pada karyawan. Kejadian seperti ini biasanya meyebabkan adanya marginalisasi yang disengaja, mendapat peringkat yang rendah, serta terjadinya terjadinya pengecualian dan penjatahan prefensi proyek kerja. Hal tersebut yang bisa menjadi penyebab adanya tindakan bulliying dan nepotisme di dunia kerja.
Kembali membicarakan tentang buku “Pendidikan Kaum Tertindas” Paulo Frere mengatakan takut akan kebebasan tidak selalu disadari oleh orang yang sedang menghadapinya, hal tersebut membuat seseorang memiliki cara tersendiri untuk dapat menghindari perasaan tersebut. Hal itu dilakukan agar seseorang yang mengalami nya memperoleh rasa aman dengan cara menghindarinya. Hal itu dianggap efektif untuk memperoleh rasa kebebasan.
Seperti halnya yang terjadi di dunia kerja, saat ini tak sedikit pula dari mereka yang memilih bungkam ketika mendapat prlakuan tidak adil, ini dianggap aman karena bisa mengurangi perasaan takut akan takutnya kehilangan pekerjaan, jabatan, hingga terdapat alasan ingin menyelamatkan ekonomi keluarga.
Dalam buku ini, Freire juga mengungkapkan tentang orang yang memiliki sifat radikal sebagai usaha pembebasan manusia, mereka tidak akan menjadi tawanan dari “lingkaran kepastian”, dimana mereka juga memenjarakan sikap realitas. Dan sebaliknya, semakin radikal seseorang tersebut semakin jauh pula orang tersebut masuk ke dalam realitas.
Seperti yang diungkapkan melalui situs Kompas.com tahun 2021, Presiden RI Joko Widodo telah memberitahu mengenai ancaman dan bahayanya radikalisme dikalangan pendidikan, dengan cara mngingatkan pimpinan institusi pendidikan agar mulai aktif melakukan pengawasa terhadap segala aktivitas mahasiswa agar tidak terkena paham mengenai radikal. Berkembangnya paham radikal di lingkungan kampus memang terlihat dengan jelas. Ancaman mengenai radikalisme juga diungkapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Oleh karena itu sangat penting bagi kita semua, apalagi dalam lingkungan pelajar untuk memahami tentang paham radikal tersebut, agar tidak terjadi dampak buruk bagi kedepannya.
Dari buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini, mengharapkan kita sebagai pembaca untuk bisa mempertahankan sikap kepercayaan kepada orang-orang miskin, keyakinan antar sesame manusia, serta kepada pencipta dunia yang menjadi tempat dan wadah untuk bisa saling mencintai sesama manusia.
Sumber: Freire, P. (2008). Pendidikan Kaum Tetindas. Jakarta: Pustaka LP dan sumber-sumber lainnya.