Oleh: Faliha Dhiya Ulhaq
Dewasa ini banyak orang menjalani hidup mereka seperti automaton, bergerak mengikuti input yang dilahirkan dari rutinitas mereka sebelumnya. Kadang juga tak jauh berbeda dengan hewan, hidup hanya sekadar hidup saja tanpa merencanakan masa depan. Walaupun manusia secara biologis memiliki kesamaan dengan hewan – bernapas, bergerak, dan berkembang biak-, manusia dianugerahi dengan akal dan hati nurani. Namun, berapa lama waktu yang kita luangkan untuk memaksimalkan kinerja akal dan hati dalam keseharian kita? 1 jam? Satu menit? Atau tidak sama sekali? Jangan sampai diri kita tenggelam dalam rutinitas dan mengabaikan hakikat dari kehidupan yang kita jalani. Sebuah penghinaan bagi manusia untuk berdiri di atas anak tangga yang sama dengan robot dan binatang. Ada makna yang harus diberikan untuk setiap langkah yang kita ambil.Ada tanggung jawab yang hadir bersama dengan akal sehat dan hati nurani yang kita miliki.
Ada jurang dalam yang memisahkan manusia dengan robotic programming dan insting hewani. Perbedaan signifikan yang membatasi antara manusia dengan robot dan binatang terletak pada level kesadaran manusia yang kompleks dan mendalam. Teknologi mungkin bisa menciptakan robot yang secara penampilan sangat mirip dengan manusia, beberapa diantara mereka memiliki sistem internal dengan kecerdasan buatan tingkat tinggi yang biasa dikenal masyarakat dengan sebutan artificial intelligence (AI). Kecerdasan buatan yang ada pada sistem internal dan digital pada robot memang memungkinkan automaton untuk belajar secara mandiri demi meningkatkan kinerjanya. Sekilas memang robot-robot tersebut sangat mirip dengan manusia, baik dari segi visual maupun kesadaran, namun tentu ada satu konsep yang tak mungkin terjangkau bahkan oleh AI sekalipun, yaitu “free will”. Robot dan AI hanya beroperasi berdasarkan program dan algoritma. Walaupun robot dan AI mampu meniru perilaku sadar sebagaimana manusia pada umumnya, mereka tidak benar-benar mengalami kesadaran, sedangkan manusia memiliki kesadaran utuh dan kehendak bebas.
Dalam hal kesadaran, hewan jauh lebih unggul daripada robot dan AI. Hewan memiliki kesadaran mereka sendiri, bahkan pada beberapa hewan ditemukan kesadaran tingkat tinggi seperti primata dan lumba-lumba. Tentu hewan memiliki kesadaran akan lingkungan dan insting untuk bertahan hidup. Sama seperti manusia yang terus bekerja demi memenuhi kebutuhan mereka, hewan pun akan pergi berburu ketika rasa lapar datang. Seekor singa berlari menyusuri hutan dengan keempat kakinya yang tangguh untuk mencari mangsa sebelum mengoyak santapannya dengan taringnya yang tajam. Bukankah ia mampu memiliki kesadarannya sendiri dan mengeksekusinya? Bagian mana yang berbeda dengan manusia? Apakah manusia hanya hidup untuk memenuhi perut mereka?
Setelah membahas mengenai perbedaan yang mendasar antara kesadaran manusia dengan robot dan hewan, ada baiknya kita melihat sejenak bagaimana paradoks ini bisa muncul dalam masyarakat modern. Sebagai contoh, mari melihat saudara kita yang sering kali dilabeli sebagai masyarakat yang hidup di “masa depan”, negeri matahari terbit. Negeri maju dengan standar kehidupan yang tinggi. Japan is living in the future. Ungkapan yang sama sekali tidak asing di telinga kita. Jika dikatakan bahwa Jepang adalah standar ideal untuk negara maju, saya tidak akan menentang, namun persoalannya akan lain jika masyarakat jepang secara umum dinobatkan sebagai manusia yang benar-benar “hidup.” Ada hal lain yang perlu kita perhatikan, tidak lain adalah angka bunuh diri masyarakatnya yang termasuk tinggi. Berdasarkan data dari statista, pada tahun 2023, angka bunuh diri di Jepang adalah 17.6 per 100,000 penduduk. Fenomena karoshi (kematian akibat kerja berlebihan) dan hikikomori (isolasi sosial) juga menjadi pertanda bahwa kemajuan material tidak selalu sejalan dengan kesejahteraan mental. Lingkungan hidup yang baik -walaupun menjadi salah satu faktor penting-, tidak menjamin kehidupan yang baik.
Viktor Frankl dalam teori existential vacuum miliknya mendeskripsikan bahwa ketidakadaannya tujuan hidup dapat menciptakan kekosongan luar biasa bagi manusia. Ketidakmampuan manusia untuk memberi makna dalam kehidupan hanya akan membawa manusia pada kehancuran. Manusia yang gagal memberi makna pada kehidupan yang ia jalani akan kehilangan arah. Nihilnya tujuan hidup menafikan ambisi dan menumpulkan optimisme. Prajurit perang yang hidup di medan tempur justru memiliki semangat hidup yang tinggi. Lima jilid Tafsir Al-Azhar milik HAMKA lahir di penjara. Opresi tidak cukup untuk membunuh keinginan manusia untuk terus hidup, hilangnya esensi hidup lah yang menjadi belati tajam.
Pembaca akan menutup buku setelah selesai membacanya. Kompor akan dimatikan setelah koki selesai memasak. Orang buta akan meninggalkan tongkatnya setelah ia bisa melihat. Namun, berbeda dengan robot yang akan berhenti ketika tidak lagi menerima perintah ataupun hewan yang hidup hanya untuk sekadar bertahan, manusia mampu untuk terus mencari dan memberi makna pada kehidupan yang dijalaninya.
Perjalanan hidup manusia adalah sebuah eksplorasi yang panjang. Manusia harus terus memiliki tujuan dalam menjalani hidup. Jika satu tujuan tercapai, maka harus ada tujuan lainnya. Sangat mungkin bagi manusia untuk merasa puas, tak jarang pula merasa cukup setelah mencapai tujuannya untuk kemudian terombang-ambing sebab kehilangan arah. Semua hal akan “mati” setelah memenuhi tugasnya. Begitu pun manusia, mereka akan “selesai” setelah tujuan mereka tercapai. Jika manusia ingin hidup selamanya, seharusnya mereka tak boleh mencapai garis finish. Jauhkan. Dekati tapi jangan langkahi. Begitukah? Apa bedanya dengan kematian?
Tentu ada beberapa hal yang ada di luar kendali manusia, salah satunya adalah faktor luck, atau keberuntungan. Ada hal yang tidak bisa dicapai oleh akal manusia, tapi bukan berarti kita tidak bisa berusaha untuk mencapai apa yang menjadi tujuan kita. Bukankah suatu ketidakpastian seperti keberuntungan itu indah? Hal-hal kecil seperti turunnya hujan setelah kita pulang ke rumah atau bertemu belahan jiwa tanpa penantian panjang tentu merupakan hal yang menyenangkan. Kita tidak bisa hidup seperti robot yang sudah memiliki jalan “hidup” yang jelas atau menjalani hari dengan terbatas tanpa adanya pikiran akan masa yang akan datang seperti binatang.
Robot tidak mengenal kebebasan individu meski menggunakan kombinasi dahsyat robotika dan AI. Hewan tidak bisa membangun peradaban layaknya manusia walau dengan kesadaran dan insting mereka. Manusia berada pada tingkat yang berbeda dari robot dan hewan dengan akal sehat dan hati nurani. Kecerdasan intelektual manusia memang sangat luar biasa, namun IQ saja tidak cukup untuk menjalani hidup.
Akal yang penuh dengan rasionalisme tidak akan mampu membuat manusia bisa bertahan hidup di bawah penderitaan. Ketakutan, kelaparan, kemiskinan, dan keputusasaan, akal tidak bisa melalui itu semua sendirian. Manusia akan bisa terus hidup hanya dengan rasa pengharapan, ketakutan, dan cinta. Hatilah yang menjadikan manusia sebagai “manusia.” Visi sementara tak membuat manusia “hidup”, tapi pemahaman akan hakikat kehidupan sebenarnya akan menjadikan manusia hidup selamanya.