Ikhlas Beramal: Praktik Nyata Spiritualitas dalam Pengabdian Ilmiah Dr. Budi Santosa, M.Si., Med.

Oleh : Muhammad Rafli Ramadhan, Kader IPM DKI Jakarta/Peserta PKPTMU PP IPM
Dalam berbagai literatur ilmu sosial dan keagamaan, keikhlasan sering disebut sebagai inti dari nilai moral tertinggi dalam beramal. Ikhlas beramal bukan hanya menjadi tuntutan spiritual, tetapi juga dasar etis dalam praktik keilmuan dan sosial. Nilai ini tampak nyata dalam perjalanan pengabdian Dr. Budi Santosa, M.Si., Med., seorang akademisi dan praktisi yang menjadikan ilmu bukan sekadar profesi, tetapi juga ladang ibadah.
Mengintegrasikan Ilmu dan Amal
Sebagai seorang ilmuwan dan pendidik, Dr. Budi memegang prinsip bahwa ilmu yang tidak diamalkan adalah ilmu yang kehilangan maknanya. Konsep ini sejalan dengan pemikiran para cendekiawan muslim klasik seperti Al-Ghazali yang menyatakan bahwa ilmu harus menuntun pada amal saleh.
Dr. Budi secara konsisten mempraktikkan hal ini dalam berbagai bentuk pengabdian masyarakat. Ia tidak hanya terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan, tetapi juga menjadi penggerak dalam program-program kesehatan masyarakat, pendampingan komunitas, dan advokasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut dilakukan bukan karena kewajiban struktural semata, tetapi didorong oleh panggilan moral dan spiritual.
Amal dalam Kesunyian: Etika Profesional dan Sosial
Salah satu ciri utama dari amal yang ikhlas adalah dilakukannya tanpa ekspektasi pujian atau imbalan. Dalam etika profesi, hal ini dikenal sebagai altruistic professionalism—yakni motivasi kerja yang dilandasi oleh kepentingan orang lain, bukan diri sendiri. Dr. Budi menunjukkan etika ini dalam berbagai perannya.
Misalnya, dalam kegiatan penguatan kapasitas tenaga kesehatan di daerah tertinggal, beliau hadir bukan sebagai “ahli” yang menggurui, melainkan sebagai mitra belajar yang setara. Ia memahami konteks lokal, mendengar kebutuhan masyarakat, dan menyesuaikan pendekatan intervensi yang bersifat partisipatif. Ini mencerminkan pemahaman mendalam akan pentingnya empati dalam pengabdian sosial.
Transmisi Nilai melalui Keteladanan
Menurut teori pembelajaran sosial Albert Bandura, perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh model atau contoh yang dilihat dalam kehidupan nyata. Dr. Budi menjadi figur yang secara tidak langsung mentransmisikan nilai-nilai keikhlasan kepada mahasiswa, rekan sejawat, dan komunitas binaan melalui sikap dan tindakannya.
Mahasiswa yang dibimbingnya tidak hanya belajar mengenai teori dan metode riset, tetapi juga belajar mengenai pentingnya bersikap rendah hati, terbuka, dan bekerja demi kepentingan yang lebih luas. Ia memberikan ruang refleksi dalam proses akademik, menjadikan pembelajaran sebagai dialog yang bermakna, bukan sekadar transfer pengetahuan satu arah.
Kesinambungan Amal dan Relevansi Sosial
Salah satu indikator dari amal yang ikhlas dan bermakna adalah kesinambungannya serta dampak nyatanya bagi masyarakat. Dr. Budi tidak berhenti pada satu kegiatan atau proyek. Ia terus berinovasi dan memperkuat kolaborasi lintas sektor agar dampak yang ditimbulkan bersifat berkelanjutan. Pendekatan ini sangat penting dalam konteks pembangunan sosial yang berorientasi pada perubahan jangka panjang.
Dalam beberapa kesempatan, ia menekankan bahwa pengabdian bukan hanya aktivitas fisik, tetapi juga sebuah proses perenungan diri. “Amal tidak selalu harus besar dan tampak. Yang penting bernilai dan terus dijalankan,” ujar beliau dalam satu seminar pengabdian masyarakat.
Menjadikan Ilmu sebagai Jalan Ibadah
Dr. Budi Santosa menunjukkan kepada kita bahwa amal yang ikhlas bukanlah konsep abstrak. Ia adalah praktik hidup yang bisa dihidupkan dalam profesi apa pun, termasuk dalam dunia akademik dan pelayanan publik. Melalui pendekatan yang humanis, reflektif, dan konsisten, beliau telah membuktikan bahwa keilmuan yang disertai keikhlasan bisa menjadi kekuatan besar untuk menciptakan perubahan sosial yang nyata.