Oleh : Rahmat Balaroa, Kader Muhammadiyah, Founder Candu Buku Kota Palu
Ada petuah yang menarik, maknanya teramat dalam disampaikan oleh guru kami, Ayahanda Abdul Hanif dengan dialeg salah satu daerah yang ada di Sulawesi Tengah. “Bermuhammadiyah itu kejar surga, jangan sampai gegara torang berorganisasi, so itu bekeng surga jauh.” Terjemahan sederhananya adalah bermuhammadiyah itu untuk mengejar surga, jangan lah kegiatan berorganisasi itu justru menjauhkan kita dari surga.
Muhammadiyah dengan kebesaran namanya, sebagaimana taglinenya “mencerahkan semesta” telah banyak melahirkan insan yang dalam bahasa Ali Syariati disebut sebagai Rausyanfikr, orang-orang yang tercerahkan, menjadi tiang inti tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Namun, jangan mengira dibalik kebesaran itu tidak terdapat gejolak api pergerakan yang mengerikan. Seakan membuat Muhammadiyah tak lagi ada marwahnya. Tapi begitulah Muhammadiyah, dengan adab organisasi yang adiluhung menjadikannya sinar surya yang terus menyinari.
Keluarga Muhammadiyah
Keluarga Muhammadiyah dan Muhammadiyah Keluarga adalah dua frasa berbeda yang kerap disatupadankan maknanya. Kalau kita menengok Pedoman Hidup Islam Warga Muhammadiyah (PHIWM), pada bagian tiga, tentang kehidupan dalam kelurga dituliskan bahwa keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut keteladanan (uswah hasanah) dalam mempraktikkan kehidupan yang Islami yakni tertanamnya ihsan/kebaikan dan bergaul dengan ma’ruf, saling menyayangi dan mengasihi, menghormati hak hidup anak, saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlaq yang mulia secara paripuma, menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka, membiasakan bermusyawarah dalam menyelasaikan urusan, berbuat adil dan ihsan, memelihara persamaan hak dan kewajiban, dan menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu.
Jelas, bahwa keluarga yang berada dalam lingukangan Muhammadiyah adalah keluarga Muhammadiyah yang membawa misi rahmatan lil alamin serta menjunjung profesionalitas dalam menjalankan amanah persyarikatan.
Kalau lah tidak keberatan, mari sejenak kita menengok satu sosok yang dalam Muhammadiyah menjadi teladan profesionalitas berorganisasi, K.H Mas Mansur. Soebagijo, dalam bukunya K.H Mas Mansur Pembaharu Islam Indonesia, menuliskan bahwa periode keemasan Muhamadiyah, ada pada periode Mas Mansur. Pernah suatu ketika, pada perhelatan besar Muhamadiyah, kongres ke-28 di Medan 1939, yang seharusnya Pimpinan Pusat disedikan tempat khusus untuk beristirahat, K.H. Mas Mansur sebagai Ketua Pimpinan Pusat kala itu lebih memilih untuk tetap bergabung bersama peserta utusan wilayah yang lain.
Selain itu, ketika kongres sedang berlangsung, K.H. Mas Mansur menerima kabar telegram bahwa istrinya yang berada di Surabaya telah kembali ke Haribaan ilahi. Di sinilah bentuk profesionalitasnya, beliau sedikitpun tak menunjukan kesedihan itu di hadapan peserta Kongres, yang sebenarnya itu bisa saja dilakukannya walau sekedear memberi tahu. Baru lah setelah kongres berakhir, K.H Mas Mansur menyampaikan bahwa telegram yang datang itu adalah kabar berpulangnya sang Istri.
Muhammadiyah Keluarga
Istilah Muhammadiyah keluarga kerapkali disandingan dengan amal kerja muhammadiyah, berupa Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang pengelolaanya dipegang oleh keluarga-keluarga tertentu. Benar saja, sering kita menjumpai praktek-praktek menyimpang itu dalam tubuh Muhammadiyah dengan motif yang berbeda-beda. Pertanyaanya, apa yang menjadi masalah ketika AUM hanya dikeola oleh keluarga-keluarga tertentu yang dengan halus kita sebut “Nepotisme AUM” bukankah akan lebih terurus ketika dipegang oleh sekelompok keluarga? Tentu ini menghadirkan pandangan yang berbeda-beda.
Namun, yang peru diingat, Muhammadiyah adalah amanat besar yang dititipkan oleh Kiyai Dahlan yang dalam prakteknya, mengesampingkan ego ingin menguasai. Memang, sejarah memberi kabar pada kita bahwa Muhammadiyah lahir dari lingkup keluarga dengan segala tantangannya. Demikian halnya dakwah Nabi Muhammad SAW. Muhammadiyah harus dirasakan oleh semua orang. Sebagaimana Jendral Sudirman, sosok pemuda yang dikenal lentur membawa identitas Kemuhammadiyahannya terhadap siapa saja yang ia temui,
Beberapa bulan yang lalu, penulis sempat mendiskusikan beberapa hal bersama karib semasa kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Salah satu poin pembicaraannya adalah, bagaimana nasib AUM yang di dalamnya terjadi praktek menyimpang sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Ya, miris. Setelah melihat beberapa kasus yang sudah terjadi, tidak salah kalau kita menarik kesimpulan bahwa sesuatu yang semula adalah kerja-kerja jamaah (bersama) akan hancur bilamana diserahkan pada tangan-tangan yang dengan sadar menuruti hawa nafsu untuk berkuasa.
Belum lagi, beberapa minggu terakhir, desas-desus dualisme wahabi-muhammadiyah kembali mencuat. Yang mengharuskan persyarikatan bertindak tegas, yang kalau dalam bahasa Bukhari Muslim, penulis buku Memenangkan Islam Progresif, “Muhammadiyah harus berani bersih-bersih.”
Seharusnya, itu menjadi penyadar bagi kita, bahwa yang harus ditumbuhkan adalah rasa memiliki persyarikatan bukan rasa ingin memliki Amal Usahanya saja. Atau paling tidak, sekurang-kurangnya menurunkan rasa ingin menguasai persyarikatan secara pribadi sebab di luar sana, ada banyak kelompok yang berusaha menguasai persyarikatan Muhammadiyah.
Kembali lagi kita pada nasihat di awal, “Muhammadiyah ini jalan kita untuk menuju surga, jangan malah menjadikan kita jauh dari surga”.