
Oleh: Faishal Hazza
Potensi dan Bakat
Dalam suatu forum tentang mapping diri, aku dapat insight menarik soal potensi dan bakat bagi seorang manusia. Dua hal ini adalah faktor pembentuk seorang manusia dalam menemukan kapasitas dirinya. Potensi adalah peluang seorang manusia untuk mencapai suatu kepandaian. Sebagai contoh, Lionel Messi adalah pemain sepak bola kelas dunia, maka anak dari Messi berpotensi untuk menjadi pemain sepak bola kelas dunia pula. Meskipun potensi menujukkan adanya peluang, hal ini tak menjamin seorang manusia dapat mencapainya.
Sebut saja contohnya founding fathers Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, apakah anaknya ada yang meneruskan beliau jadi Ketua Umum PP Muhammadiyah? Sependek pengetahuan saya tidak ada. Justru yang melanjutkan posisi Muhammadiyah 01 itu adalah saudara dan murid dari KH Ahmad Dahlan sendiri. Padahal jika dipikir, anak-anak KH Ahmad Dahlan memiliki potensi besar untuk melanjutkan kepemimpinannya di Muhammadiyah. Perlu kita pahami bahwa potensi yang dimiliki seorang manusia itu bukanlah suatu jaminan, terlebih jika seorang manusia itu tak memiliki bakat yang sesuai dengan potensinya.
Berbanding terbalik dengan potensi, bakat adalah kepandaian seorang manusia yang sudah melekat sejak lahir. Menurut Prof. Dr. Sukarni Catur, bakat adalah kepandaian bawaan dari seorang manusia yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi keahlian. Jika potensi adalah peluang, maka bakat adalah penyempurna dari peluang itu sendiri. Bila kita kembali pada konteks tidak adanya sosok Ketua Umum PP Muhammadiyah dari anak-anak KH Ahmad Dahlan, maka hal ini mungkin akan menjawab kritik dari sebagian kader ortom Muhammadiyah.
“Kenapa Anak Pimpinan Muhammadiyah, Banyak yang Tidak Menjadi kader?”
Kritik ini mungkin tak salah, karena memang realitanya seperti itu hari ini. Banyak pimpinan Muhammadiyah yang anaknya justru tidak menjadi kader penerus, padahal sebagian besar dari mereka adalah jebolan dari sekolah Muhammadiyah yang unggul. Hari ini kader ortom Muhammadiyah memang didominasi oleh mereka yang secara biologis tidak lahir dari orang tua pimpinan Muhammadiyah. Apakah hal ini adalah masalah? Tentu saja tidak. Kembali ke topik, bagi mereka yang mengeluhkan soal minimnya kader dari anak pimpinan Muhammadiyah, kenapa kritik ini bisa ada?
Mereka beranggapan bahwa anak dari pimpinan Muhammadiyah memiliki banyak privellege dalam ber-Muhammadiyah, yang apabila dimaksimalkan akan sangat membantu kinerja organisasi dalam banyak lini. Sehingga kritik ini bisa dikatakan ada sebagai bentuk “kegregetan” atas mubazirnya potensi anak seorang pimpinan Muhammadiyah. Namun, apakah bagi mereka kader yang bukan anak pimpinan Muhammadiyah tidak bisa berkesempatan demikian? Tentu saja sama-sama bisa. Namun secara potensi yang berbeda.
Hal ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa menjadi kader Muhammadiyah itu tidak bisa asal-asalan, tapi juga menghendaki adanya kapasitas pada diri seseorang. Memang pada faktanya, potensi dan bakat dalam diri seseorang lah yang akan menentukan kapasitas dirinya. Faktanya, banyak anak pimpinan Muhammadiyah yang secara potensi diunggulkan dan dielu-elukan untuk jadi kader penerus, namun ternyata tak memiliki bakat atas potensi itu. Karena tak berbakat, sebagian dari mereka biasanya memilih untuk jadi simpatisan saja. Namun di sisi lain, mereka yang terlahir bukan dari anak seorang pimpinan Muhammadiyah, faktanya justru lebih banyak yang berbakat menjadi kader penerus.
Dua fakta memiliki satu kesamaan jika dilihat dari perspektif psikologi, yaitu sama-sama tentang seorang yang memilih jalan hidupnya. Hal ini sejalan dengan konsep Self-Determination Theory atau teori penentuan nasib sendiri yang dikemukakan oleh Edward Deci dan Richard Ryan. Teori ini menjelaskan bahwa siapapun berhak memilih jalan hidupnya tanpa tendesi dari orang lain.
Dalam konteks ini, anak seorang pimpinan Muhammadiyah pun berhak dan sah-sah saja menentukan diri dalam ber-Muhammadiyah, mau itu jadi kader, jama’ah pengajian, donatur, atau bahkan simpatisan. Kita tak boleh terus-terusan memberikan tendensi bagi anak seorang pimpinan Muhammadiyah untuk bisa sama dengan orang tuanya.
Sebaliknya, kita juga tak boleh meremehkan kader Muhammadiyah yang tidak ditakdirkan lahir dari seorang pimpinan. Mereka juga berhak untuk menjadi kader penerus dari seorang pimpinan Muhammadiyah. Pada akhirnya, setiap manusia berhak memilih atas jalan hidupnya. Begitupun dengan Muhammadiyah, ia berhak diteruskan oleh siapapun yang berjiwa ikhlas membesarkan!