FeaturedOpini

Kiai Fathurrahman Kamal: Suara Rakyat, Suara Tuhan?

Oleh: Fathurrahman Kamal
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Eforia dalam suatu perhelatan politik elektoral hal yang biasa terjadi. Namun, ungkapan retorik-romantik “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” , yang berasal dari bahasa Latin “Vox Populi Vox Dei” : mengandung cacat secara filosofis (logical fallacy), terlebih lagi dalam timbangan akidah & keimanan seorang muslim.

Tuhan tak sepantasnya direpresentasikan dengan tindakan manusiawi, apalagi dengan sajian kolosal ketimpangan prosedural, mal-praktek etika, hukum, & moral. Istafti Qalbaka!

Antara Seteguk Air Langit dan Syahwat Kekuasaan

Sebegitu dahsyatkah keperluan hidupmu di alam fana ini sehingga segalanya kau halalkan?. Tak perlu risau berlebihan menjalani dinamika hidupmu. Allah Ta’ālā Yang Maha Menjamin makan-minummu (raga), & rasa aman nan damai hidupmu (jiwa).

Apalah makna tinggi jabatanmu, besar sanjungan awam atas dirimu bila saja seteguk air dan sesuap nasi tak lagi sanggup engkau hantarkan ke dalam pencernaan jasadmu.

Percayalah, dan jangan lagi halalkan segala cara. Eman-eman bila akhirnya menikmati adzabNya yang tiada tara. Ingat, kata Nabi ‘alaihissalam, amanah yang diraih dengan cara-cara mesivialis, termasuk tak menunaikannya dengan baik, hanyalah menjelma kehinaan dan penyesalan di Hari Akhir.

Monggo ditadabburi makna yang terkandung dalam QS. Quraisy : 106/1-4, (1) Kerana kebiasaan aman tenteram kaum Quraisy (penduduk Makkah), (2) Yaitu kebiasaan aman tenteram perjalanan mereka (menjalankan perniagaan) pada musim sejuk (ke negeri Yaman), dan pada musim panas (ke negeri Syam), (3) Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan yang menguasai rumah (Kaabah) ini, (4) Tuhan yang memberi mereka penghidupan: menyelamatkan mereka dari kelaparan, dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Bagaimana Kemunkaran Berubah Menjadi Kebaikan?

Banyak sekali kemunkaran & kezaliman yang tersebar luas di tengah masyarakat, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian, kemunkaran dan kezaliman tersebut takkan tertanam kokoh (permanen) dalam nurani publik, kecuali “dilegalkan”.

Caranya seperti apa?. Bisa saja seorang intelek membenarkannya secara retoris dengan memutar-balik kebenaran; dan, atau, menyaksikan kemunkaran & kezaliman tersebut namun diam seribu bahasa, bahkan menikmatinya. Na’ūdzilubillāh!.

Suara Rakyat, Bukan Suara Tuhan

Tak perlu berlebihan, Tuan. Sebut saja bahwa kemenangan elektoral sebagai suara mayoritas rakyat dalam sebuah proses demokrasi. Tak perlu disimbolisasi sebagai “suara Tuhan”.

Sebab, DEMOKRASI SENDIRI TAK MEMILIKI DEFINISI TENTANG TUHAN. Demokrasi itu semata berpusat pada manusia (antroposentrisme), serta pada apa-apa yang dipersepsi oleh manusia tentang selain dirinya (Antropomorfisme).

Editor: Najihus Salam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button