Oleh: Rahmat Balaroa
(Direktur Lingkar Studi Syahwat Intelektual)

Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan sedikit kelebihan dibanding makhluk yang lain. Diantaranya diciptakanya akal untuk berfikir.. Manusia juga sering disebut sebagai makhluk sosial yang berarti adanya hubungan timbal balik anatara satu dengan yang lain (saling membutuhkan). Berbicara tentang manusia, pasti yang terbesit di benak kita adalah perbuatan baik dan buruk. Ada pepatah mengatakan “sepandai-pandai Tupai melompat, pasti akan jatuh juga”, mungkin pepatah tersebut bisa kita kaitkan dengan sifat manusia yangmana sebaik apapun manusia pasti pernah berbuat sebuah kesalahan.

Hal itu sejalan dengan pandangan Martin Buber seorang Filsuf jerman, ia mengatakan bahwa “Manusia adalah sebuah eksistensi atau Keberadaan yang memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam. Namun keterbatasan ini hanya bersifat faktual bukan esensial sehingga apa yang ingin dilakukannya tidak dapat diprediksi”. Dalam pandangan ini manusia punya kecendrungan untuk menjadi baik dan jahat, tergantung kecendrungan mana yang lebih besar dalam diri manusia tersebut. melihat situasi yang seperti ini, dibutuhkan kebijaksanaan dalam menghadapi kenyataan hidup, maksudnya kita selaku makhluk sosial harus bisa menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat, saling memafkan misalnya. Apa jadinya ketika semua orang di muka bumi ini saling menyakiti tanpa mengucap sedikitpun kata maaf dari lisannya, bukankah saling memafkan adalah perintah agama. Allah Swt berfirman dalam Q.S Al-A’raf;

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf :199)

Maaf dalam Al-Qur’an

Kata Al-‘afw terulang dalam Al-Qu’an sebanyak 34 kali. Kata ini mulanya berarti berlebihan seperti firman Allah SWT.  “Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan (kepada orang). Katakanlah, ‘’al-‘afw (yang berlebihan dari keperluan) (Q.S Al Baqarah [2]: 218).

Yang berlebihan harusnya diberikan agar keluar, maksudnya jika kita memiliki kelebihan maka berikanlah dan tidak menampung kelebihan tersebut. akhirnya kata al- ‘afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memafkan berarti manghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati. Lalu bagaimana jika yang bersangkutan tidak meminta maaf, apakah kita harus memaafkan?

Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan untuk memberi maaf bahkan sebelum maaf itu diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakekatnya enggan memperoleh ampunan dari Allah SWT. tidak ada alasan untuk berkata “Tidak ada maaf bagimu” karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah SWT. Memang tidak enak jika seseorang telah melakukan suatu kesalahan, terlebih tidak meminta maaf kepada korban. Namun seringkali banyak orang yang sudah meminta maaf, tapi tidak bisa dimaafkan. Bahkan terkadang orang yang dimintai maaf telah memaafkan, namun orang tersebut dalam hati tidak ikhlas, akibatnya tentu maaf itu akan terasa hampa bagai tak terucap.

Namun demikian, proses pemaafan sulit dilakukan oleh satu pihak. Karena individu tidak mungkin mengharapkan hanya salah satu pihak saja yang aktif meminta maaf ataupun memberi maaf. Proses maaf- memaafkan juga tidak dapat dilakukan tanpa intensi, di satu pihak yang bersalah secara mudah memohon maaf. di lain pihak, yang tersakiti sekedar mengiyakan saja lalu komunikasi terhenti sampai di situ. Kondisi ini menimbulkan kesan seolah-olah peristiwa itu berlalu tanpa makna. Namun terkadang masih terdapat api dalam sekam yang pada suatu saat tertentu akan menimbulkan letupan kekecewaan dan sakit hati ketika interaksi mereka menghadapi masalah lain. Sering kali kekecewaan ini berujung pada dendam yang mengharuskan diri seseorang untuk membalaskannya.

Rasa ingin membalas perlakuan orang lain terhadap kita adalah hal yang wajar. Kita menginginkan agar orang yang menyakiti kita harus merasakan seperti apa yang kita rasakan. Akan tetapi memafkan lebih baik daripada harus melakukan hal yang bisa dikatakan untuk memuaskan nafsu semata. Sebab karena dorongan nafsulah rasa dendam itu muncul dalam diri manusia. Islam menjunjung tinggi keluhuran akhlak bagi para pemeluknya. Akhlak yang luhur tersebut ditunjukan dengan menghindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan perselisihan. Lalu bagaimana dengan Firman  Allah SWT. dalam Q.S An-Nahl ayat 126, yang berbunyi;

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ َ (126)

“Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126)

Secara jelas Allah menyampaikan tentang kebolehan untuk membalas dengan perbuatan yang setimpal.  Dalam artian tidak ada larangan untuk membalas suatu perbuatan selama kita membalas dengan perbuatan yang setimpal. Akan tetapi pada dasarnya ayat ini turun bukan sebagai perintah untuk balas dendam melainkan Allah Swt. memerintahkan untuk berbuat adil dalam qisas (pembalasan) dan seimbang dalam menunaikan hak, seperti yang disebutkan dalam riwayat Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Khalid, dari Ibnu Sirin yang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

{فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ}

maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (An-Nahl: 126)

Bahwa jika seseorang mengambil sesuatu dari kalian, maka ambillah darinya yang semisal. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ibrahim, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Pembalasan setimpal ini sering disebut sebagai qisas. pada ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman;

وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

“Tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl: 126)

Dalam ayat ini Allah Swt.  menawarkan solusi dari gejolak rasa yang membara yaitu sabar. Sebagian orang untuk memilih jalan sabar adalah sebuah keniscayaan, apalagi perbuatan yang ditujukan padanya begitu menyakitkan. Tapi ingat janji Allah untuk orang-orang yang mampu menahan amarahnya. Allah meletakan kedudukan yang tinggi bagi orang yang mampu untuk bersabar. Maka benarlah perkataan khalifah Abu Bakar “Memang sulit Untuk Bersabar, tapi menyia-nyiakan pahala dari kesabaran itulah yang paling buruk”. Sabar adalah sikap yang mulia, sebab itulah Allah Swt. pada ayat berikutnya memrintahkan Nabi Muhammad untuk senantiasa bersabar.

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلا بِاللَّهِ

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (An-Nahl: 127)

Hal ini mengukuhkan perintah bersabar, sekaligus sebagai pemberitaan bahwa kesabaran itu tidak dapat diraih melainkan berkat kehendak Allah dan pertolongan-Nya, serta berkat upaya dan kekuatan-Nya.

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis mengutip perkataan Ali bin Abi thalib: “Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik”.

Catatan: Tulisan ini adalah tulisan yang telah lama hilang, ditulis tahun 2020, dan baru ditemukan tahun 2024.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here