Oleh : Kurnia Lisnadatul Anggraini (202110230311042)

Kehadiran setiap manusia ke dunia tak terlepas dari bagaimana suatu pengetahuan di pertanyakan eksistensinya. Pengetahuan hadir membawa ilmu yang di mana setiap isi dari ilmu tersebut di tuangkan dalam sebuah wadah yang dinamakan Pendidikan. Dalam situasi Pendidikan terutama di negara kita ini, yaitu Indonesia tidak jauh dari benda yang dinamakan buku. Selain itu, sistem dalam Pendidikan pun sering kali menjadi topik perbincangan utama dalam berbagai kondisi yang sedang terjadi. Pendidikan ialah salah satu sumber dari proses berlangsungnya suatu interaksi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.

Kehidupan pendidikan di Indonesia sangatlah berwarna-warni, tak hanya jenis sekolahnya namun juga proses pembelajarannya. Selain itu, kondisi pendidikan juga kerap kali dipengaruhi berbagai faktor eksternal. Hal itulah yang membawa berbagai macam orientasi pada masyarakat mengenai tahapan kehidupan baik dalam hal sosial, pekerjaan, maupun politik. Dimulai dari pendidikan di sekolah, menurut penjelasan Paulo Freire dalam menjalani perjalanan hidupnya terdapat kaum penindas juga kaum tertindas. Hal itu dapat di cerminkan pada sistem yang ada di berbagai sekolah yang ada di Indonesia, di mana pihak sekolah kebanyakan mengutamakan siswa atau murid yang orang tua mereka merupakan orang-orang berkedudukan tinggi atau memiliki kewenangan besar entah di bidang pendidikan, masyarakat, ataupun pemerintahan. Dari kondisi itu, dapat dikatakan bahwa pihak sekolah merupakan kaum penindas sedangkan kaum tertindas ialah mereka yang tidak memiliki orang tua dengan jabatan yang tinggi.

Masih seputar kisah di sekolah, setiap manusia memiliki kelebihan yang berbeda-beda yang berupa bakat dan minat terpendam dari diri mereka. Sekolah bisa dikatakan begitu lengkap dengan hadirnya sebuah prestasi. Pencapaian berharga yang menghadirkan rasa bangga bagi yang mendapatkannya juga bagi mereka yang ikut terlibat dalam langkah-langkah perjuangan besar. Dalam lingkup pendidikan terdiri atas bidang akademik dan bidang non-akademik, di mana akademik meliputi ilmu yang memiliki sifat ilmiah juga teori yang mempelajari ilmu pengetahuan sedangkan non-akademik ialah bidang yang bergerak pada kemampuan yang berlepasan dari hal yang bersifat teori-teori atau ilmiah.

Penindasan yang terjadi pada kaum tertindas meninggalkan perasaan sangat mengerikan yang hanya bisa diartikan oleh mereka sendiri karena pengalaman menanggung dan menerima beban penindasan. Proses akademik secara mayoritas di Indonesia yang terjadi diantara guru dan murid sangat erat kaitannya dengan teori Paulo Freire. Tak sedikit juga, lembaga pendidikan yang terkenal dengan segudang prestasinya bahkan seringkali mendapat kedudukan juara umum di berbagai perlombaan. Namun di balik prestasi yang begitu banyaknya terdapat kisah pilu yang terjadi hampir dialami sebagian besar murid di sekolah ini. Berhubungan dengan proses pembelajaran yang terjadi kerap kali ketika musim olimpiade tiba guru melakukan kewajibannya namun tidak sepenuhnya. Tak hanya guru, pihak sekolah pun lebih mengutamakan mereka yang memiliki kecerdasan lebih di bidang akademik dan memberikan pengajaran ekstra untuk mereka. Sementara di sisi lain murid yang dikatakan biasa saja ditinggalkan dengan tugas dengan sedikit bimbingan di kelas bahkan kerap kali hanya diberikan tugas pengganti.

Selain itu, murid yang bisa dikatakan cerdas di bidang non-akademik pun juga mengalami hal yang sama. Mereka hanya diambil prestasinya saja dan untuk sebelumnya mereka sulit mendapatkan izin untuk keluar mengikuti olimpiade di bidang mereka masing- masing. Dua keadaan di atas sangat relevan dengan teori yang ada. Baik dari segi kaum tertindas dan kaum penindas maupun sistem yang telah ada di dalam sekolah ini

Kaum tertindas disini dilihat dari bagaimana dan siapa yang mengalami kondisi terpinggirkan. Hal ini menimbulkan amunisi negatif pada mereka yang mengalami kondisi ini dan bahkan bisa saja mereka juga menginginkan kebebasan itu yang juga dapat menghadirkan adanya dehumanisasi di antara mereka. Situasi tersebut disebabkan oleh adanya proses internalisasi kaum tertindas menggambarkan diri sebagai kamu penindas. Manusia tidak lepas dari yang namanya komunikasi karena manusia memiliki kebutuhan akan interaksi dalam menjalani hidupnya. Oleh karena itu, dalam teori Freire ini diharapkan pembebasan yang ada tidak terbatas pada dua peran saja, yaitu kaum tertindas dan kaum penindas tetapi pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan yang tidak menimbulkan pembalikan peran. Sehingga dapat timbul pemahaman baru mengenai relasi akan adanya kesadaran yang terdapat dalam diri yang tertindas dan penindas.

Berbicara mengenai sistem pembelajaran yang telah banyak terjadi di negara kita ini, dikatakan bahwa proses pembelajaran tidak menghadirkan adanya kesamaraatan akan pemahaman terhadap pelajaran yang diajarkan. Hal itu sesuai dengan “sistem bank” yakni Pendidikan merupakan alat yang digunakan oleh guru (subyek) yang memiliki suatu isi (pengetahuan) untuk diletakkan pada murid (wadah). Paulo Freire menerapkan sistem baru untuk mendapat konsientisasi. Maka dari itu, kondisi ini diperlukan adanya kerja sama yang kooperatif untuk menciptakan adanya tindakan dialogik seperti yang dipaparkan dalam teori Freire yang bertujuan untuk memacu adanya pembebasan.

Tidak hanya sistem pendidikan di Indonesia saja tetapi juga berbicara mengenai proses interaksi antara rakyat dengan pemerintah, apakah sudah menemukan demokrasi yang sebenarnya? Atau justru kata “demokrasi” hanya menjadi label semata. Hal ini berkaitan dengan humanisasi dan dehumanisasi yang merupakan bagian dari teori Freire. Humanisasi merupakan sebuah hal yang harus bisa dicapai sedangkan dehumanisasi sendiri ialah adanya penurunan suatu nilai-nilai yang ada di masyarakat. Menilik dari konteks tersebut bisa kita lihat bahwa dalam ajang pemilu yang ada di Indonesia diikuti oleh berbagai bahkan sangat banyak partai yang memperjuangkan posisi sebagai bagian dari politik pemerintah. Setelah mereka mencapai hasil yang telah mereka dapatkan maka mereka menjalankan program kerja yang telah disepakati sebelumnya. Akan tetapi keadaan yang ada menjadikan mereka bertindak secara otoriter tanpa melihat seluruh kondisi rakyat di Indonesia. Hal inilah yang membuat mereka terkesan menjadi kaum penindas dan rakyat sebagai kaum tertindasnya. Dari kondisi itu juga dapat memicu adanya dehumanisasi dari rakyat jika kelak mereka bisa berada di posisi tersebut. Oleh karena itu penting adanya komunikasi di antara rakyat juga pemerintah yang oleh Freire dikatakan sebagai kemampuan dialogik untuk mencapai kepentingan yang sama atau bisa dikatakan kebebasan.

Dari apa yang disampaikan oleh Freire diharapkan kita semua sebagai manusia dapat merasakan kebebasan yang sebenarnya dalam hal apapun. Tak hanya kebebasan, namun juga kita mampu memetik nilai moral yang juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya sebuah komunikasi tak hanya berlaku diantara dua orang saja namun juga bagi khalayak ramai yang saling berinteraksi dalam suatu wilayah hingga dapat mencapai kedamaian bersama. Meratanya suatu pendidikan memiliki arti yang begitu penting bagi setiap insan yang hidup agar mereka memiliki bekal yang kuat dalam menghadapi berbagai problema yang muncul tanpa diminta di kehidupa yang sangat keras ini.

Sumber Rujukan :

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Pustaka LP3ES, 2008.

Robikhah, A. S. (2018). Paradigma Pendidikan Pembebasan Paulo Freire Dalam Konteks Pendidikan Agama Islam. IQ (Ilmu Al-qur’an): Jurnal Pendidikan Islam1(01), 1-16.

Sutri, S. (2014). Paradigma Pendidikan Kaum Marginal Andrea Hirata dalam Karya-Karyanya (Kajian Strukturalisme Genetik). Judika (Jurnal Pendidikan UNSIKA)2(1).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here