Oleh: Rendy Nanda Saputra
Ketua Umum PK IMM FAI UMY

Pesta Demokrasi di Indonesia dilaksanakan selama 5 tahun sekali. Diwaktu tersebut kalangan migran berbondong-bondong untuk pulang dengan niatan ikut serta dalam pemilihan dan sekalian berkunjung ke keluarga dikampung akantetapi, ada juga yang tidak memilih pulang dengan cara pindah TPS atau memilih golput. Pemilihan umum selayaknya media penyalur suara rakyat untuk memilih pemimpin yang di percayainya dengan berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau biasa disebut dengan Luberjurdil. Faktanya pesta demokrasi yang 5 tahun sekali tersebut tak selalu sejalan dengan asas-asas yang telah ditetapkan, kecurangan berada Dimana-mana salahsatunya yakni politik uang atau biasa dikenal sebagai money politic.

Praktik money politik seakan menjadi penyakit kronis yang menggerogoti tubuh demokrasi Indonesia. Praktik politik uang atau money politic bisa muncul dimulai dari pra kampanye, saat kampanye bahkan serangan fajar yang mengetok pintu tiba-tiba demi meraih kemenangan. Masyarakat dihantui dengan bantuan sosial seperti beras, minyak, dll dengan jaminan ketika yang memberikan terpilih kehidupan rakyat akan makmur sejahtera. Praktik tersebut hanya akan menghasilkan pemimpin yang curang dan korup lantaran banyaknya biaya yang dikeluarkan, seperti biaya mahar politik, kendaraan partai, kampanye dll. Yang menjadi pertanyaan mengapa politik uang sungguh subur setiap pemilu berlangsung?

Praktik politik uang memiliki dampak buruk bagi cara berfikir masyarakat dan menghabiskan uang banyak bagi para calon pejabat yang akan mencalon. Money Politik akan menimbulkan politik transaksional yang sering dimaknai sebagai politik saling memberi dan menerima, politik simbiosis mutualisme, siapa dapat apa, hari ini menjadi problematika yang parah pada pesta demokrasi lima tahunan yang agaknya susah diurai dan diperbaiki. Pada tulisan kali ini penulis ingin sedikit mengulas mengenai bagaimana buruknya kualitas demokrasi lima tahunan yang ada di Indonesia, dan kemudian membahas mungkinkah politik uang atau money politic bisa dihilangkan atau setidaknya dikurangi.

Demokrasi dan Politik Uang yang Mencederai

Makna sederhana dari demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya demokrasi mendudukan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Mengutip dari Jean Jaques Rousseau dalam teori yang disebut sebagai contract social (perjanjian masyarakat) terdapat banyak prinsip penting demokrasi yang mengalami perubahan pasca reformasi. Diantarannya yakni pemilihan umum langsung, prinsip pemilihan umum tidak langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER) akantetapi juga jujur dan adil (JURDIL). Perubahan ini idealnya memiliki kapasitas untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita dibandingkan sebelumnya.

Pemilu yang digadang sebagai wujud demokrasi yang seseungguhnya justru tercederai dengan praktik kecurangan dan politik uang. Tujuan awal untuk mendaoatkan pemimpin yang ideal, pro rakyat, selalu membela hak-hak kaum tertindas, menemani rakyat dikala suka dan suka, namun sebaliknya pemimpin yang terpilih karena politik uang. Dalam pandangan Thomas Hobbes korupsi politik adalah sebuah praktik yang haram dilakukan berupa penyelewengan yang dilakukan pejabat atau politisi demi mengusung kepentingan pribadi dan meninggalkan kepentingan rakyat. Janji-janji yang terpampang pada baliho yang besar seakan menjadi janji manis yang jarang ter realisasikan. Begitu banyak kasus politik uang merajalela di negeri ini dari tataran pusat hingga daerah bahkan masuk ke ranah pelosok desa. Tentu hal tersebut menurut hemat penulis adalah sebuah kompetisi yang tidak fair, selayaknya para calon mengeluarkan gagasan yang apik dan kemudian di laksanakan ketika terpilih, bukan hanya janji manis yang tak berujung dan sumpah palsu yang di khianati.

Mungkingkah Politik Tanpa Uang?

Berangkat dari pertanyaan diawal “Mengapa politik uang sungguh subur setiap pemilu berlangsung?”. Menurut jurnal yang dirillis oleh Majelis Republik Indonesia setidaknya ada 3 penyebab mengapa politik uang tumbuh begitu subur. Pertama, karena ketidakmampuan dan rendahnya kempetensi kontestan sehingga harus menggunakan politik uang guna meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya. Kedua, sikap pragmatis yang menilai pemilu tidak dapat merubah apa-apa termasuk nasibnya. Ketiga, pengawasan dan penegakan hukum terhadap politik uang yang lemah serta dalam rana habu-abu.

Fakta politik uang yang silang sengkarut terjadi dimata kita semua setiap pesta demokrasi berlangsung. Dibeberapa kalangan mahasiswa bertanya apakah bisa benang kusut politik transaksional ini bisa diurai? Sudah barang tentu yang menjawab hanyalah bersifat normatif dan kalaupun hal itu bisa diurai pasti tidak semudah seseorang dalam membalikkan tangan. Meningat money politik merupakan sebuah hal yang wajar bagi masyarakat bahkan menjadi sebuah budaya yang selalu dirawat sehingga, butuh waktu yang cukup panjang untuk proses netralisirnya.

Salah satu cara untuk bisa melawan politik uang adalah dengan politik bersih. Akantetapi penerapan politik bersih tidak semudah yang dibayangkan, karena kekuasaanlah adalah menjadi tujuan utama. Jika paradigma yang dikenakan adalah mengahalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan sulit mengharapkan politik uang sirna. Namun sebaliknya jika paradigma yang dikenakan adalah pemilu sebagai bukan sebagai ajang perebutan kekuasaan melainkan sebagai sarana mensejahterahkan rakyat, dan pemimpin sebagai pelayan dari Masyarakat masih memungkinkan upaya perubahan menuju politik bersih itu ada.

Rasanya tagline politik uang vs politik bersih bukan sebuah hal yang mudah disandingkan. Menurut Indah Sri Utari ada empat persoalan utama ditengah kompleksitas problematika politik uang. Pertama, Terjadinya krisis nilai yakni gejala kemerosotan :pola bersama” tentang apa yang benar, baik, dan luhur sebagai bangsa. Kedua, krisis kewibawaan hukum. Ketiga, belum terciptanya demokrasi yang terkonsolidasi, dan yang terakhir. Keempat, krisis sumber daya ekonomi.

Kesimpulan

Sejarah pesta demokrasi telah menyaksikan politik uang. Indonesia mungkin hanya model dan bentuknya yang selalu berubah sesuai dengan waktu dan kebutuhan. Politik transaksional melibatkan politisi dan mesin politiknya serta masyarakat pemilih yang pragmatis dan materialis. Hubungan simbiosis mutulisme ini telah secara bertahap merusak dan menghancurkan demokrasi. Politik uang yang menggurita dalam sendi-sendi kehidupan demokrasi kita tetap harus dilawan melalui kesadaran kolektif berupa sikap anti politik uang dan menggelorakan spirit politik yang bersih dan santun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here