
Oleh : Zeriflita Aura Rinjani (202110230311054)
Era globalisasi tidak lepas dengan adanya modernsasi yang dapat kita simpulkan dari berbagai sudut pandangan yang berbeda-beda mencakup berbagai aspek kehidupan. Keinginan untuk melakukan perubahan menjadi salah satu bentuk adanya modernsasi yang didasari oleh dasar pemikiran juga ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak jarang bahwa setiap manusia memiliki berbagai pemikiran melalui pengalaman juga pendidikan. Pendidikan menjadi dimensi sentral dalam perkembangan kehidupan manusia. Fungsi dan peran pendidikan bangsa tidak terlepas dari kehidupan politik, ekonomi, hukum, kebudayaan, dan pendidikan itu sendiri, meskipun tidak dapat melakukan peran dalam masing-masing aspek kehidupan. Keadaan pada suatu bangsa dapat direfleksikan sebagai gambaran logis dari pendidikan suatu bangsa.
Berbagai upaya yang dilakukan dalam mengembangkan pendidikan Indonesia dalam menentukan berhasil atau tidaknya dalam menggapai cita-cita untuk memajukan kesejahteraan bersama, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Dengan adanya buku Pendidikan Kaum Tertindas yang ingin membuka pemikiran secara nyata dalam merealisasikan cita-cita tersebut melalui pemikiran Paulo Freire. Siapa itu sosok Paulo Freire?
Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, Brazil. Dari kecil Freire diajarkan untuk menghargai dialog dan menghormati orang lain oleh ibunya. Hingga pada tahun 1929 krisis ekonomi Amerika serikat mulai melanda Brazil. Orang tua Freire termasuk kelas menengah megalami kejatuhan finansial yang sangat hebat, sehingga Freide mengerti artinya kelaparan bagi seorang anak sekolah. Pada buku Pendidikan Kaum Tertindas mengungkapkan pengalaman akan kelaparan saat kecil membuat Freud bertekad mengabadikan perjuangannya melawan kelaparan agar anak-anak lain tidak merasakan kesengsaraan yang telah dialaminya. Freud tertarik pada teori-teori pendidikan ketika freud telah menikah dan memiliki anak.
Bermula pada tahun 1946-1954 pengalaman Freide terhadap kontak langsung dengan kaum miskin dari kota-kota. Pada awal tahun 1960-an di Brazil banyak terjadi kekerasan yang digerakkan oleh tujuan politik. Adanya hak pemilihan umum di Brazil mengkaitkan akan kemampuan penulisan nama masing-masing. Program kenal aksara sebagai usaha peningkatan kesadaran politik penduduk. Freire ditugaskan menjadi Direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife yang menerapkan program kenal aksara di kalangan petani daerah timur laut. Dikenal sebagai Metode Paulo Freire menarik kaum tuna aksara untuk belajar membaca dan menulis dengan waktu 45 hari yang terbilang singkat. Selain kenal aksara ada juga proses kesadaran politik, berpartisipasi aktif dan ikut menentukan arah perkembangan bersama.
Paulo Freire sempat dipenjarakan dengan tuduhan menjalankan kegiatan subversive. Lalu Pindak ke Cile tempat Freire bekerja selama 5 tahun. Program-program yang direstui oleh Cile menrik perhatian internasional, khususnya UNESCO sehingga dianggap salah satu dari lima negara tuna aksara. Banyaknya pengalaman dan perjalanan hidup Paulo Freire dituangkan melalui karya tulis seperti buku. Buku pertama Paulo Freire dalam bidang pendidikan yang cukup penting berjudul Educacao como Practica de Liberdade (Pendidikan sebagai Pelaksanaan Pembebasan). Disamping sejumlah tulisannya, Paulo Freire juga mewariskan keteladanan hidup sebagai pribadi yang terbuka, jujur, lugas dan kreatif, dan penuh perjuangan. Dia selalu sungguh-sungguh agar tindakannya mencerminkan kata-katanya. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Freire sedang menyiapkan tulisan tentang ecopedagogy dan yang paling terkenal adalah Pedagogy of the Oppressed.
Dalam prawacana ini diungkapkan bahwa Paulo Freire memiliki pemikiran-pemikiran yang kritis. Konsientitas, hadap masalah dan humanisasi merupakan model pendidikan pembebasan Paulo Freire. Seperti yang telah dituangkan dalam sebuah karya buku berjudul Pendidikan Kaum Tertindas, Freire mengungkapkan pemikiran-pemikirannya terhadap pendidikan. Cara berpikirnya yang kritis melahirkan sebuah teori ataupun pemikiran yang akan membawa kita lebih berpikir terbuka akan seberapa penting tujuan utama kita dalam menggapai masa depan melalui kualitas ilmu pengetahuan yang berdasar dari belajar dan pendidikan.
Konteks konsientitas atau proses pembangkitan kritis kata kunci yang sering dipergunakan Freire. Konsientitas adalah proses penyadaran pada konsep pembebasan dinamis sehingga mendorong penciptaan manusia yang lebih utuh. Tahap refleksi dan aksi nyata di refleksikan sebagai proses timbal balik terus-menerus. Freire sangat kritis terhadap pendidikan tradisional di Brazil bercirikan menggurui dan hafalan. Hal semacam itu dinilai akan mengalami kegagalan dalam mendewasakan dunia. Freire juga mengkritik cendikiawan Brazil yang berpikir melalui pandangan Eropa dan Amerika serikat oleh kepentingan golongan dan mempertahankan status quo. Gagasan ini dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya membuat masyarakat mengalami proses “dehumanisasi”. Bisa dipahami bahwa tingkat kesadaran setiap indvidu dapat melihat sistem kehidupan secara kritis.
Paulo Freire menyebutkan pendidikan lama sebagai “sistem bank” karena dalam pendidikan itu, guru sebagai subyek yang memiliki pengetahuan dan dibagikan kepada murid. Murid sebagai obyek yang menjadi wadah atau suatu tempat deposit belaka. Pendidikan semacam itu akan mencerminkan penindasan sekaligus memperkuat struktur-struktur yang menindas karena kurangnya komunikasi antar keduanya. Freire menciptakan sistem baru yang dinamakan “pendidikan hadap masalah” dimana pendidikan adalah realitas manusia karena realitas lekat dengan situasi yang kongkrit. Adanya masalah sendiri akan merasa tertantang dengan menanggapinya secara kritis. Selain belajar membaca dan menulis kepekaan terhadap sosial juga akan berjalan beriringan. Pada sistem ini konsientitas memungkinkan untuk terjadi karena guru dan murid bersama-sama menjadi subjek disatukan oleh obyek yang sama dapat dikenal. Dialog merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Kegiatan guru yang mengajar dan kegiatan murid yang sedang belajar sama-sama sebagai belajar dan diajar bukan melihatkan sebuah dominan.
Masalah sentral bagi manusia adalah humanisasi karena sejarah menunjukkan bahwa humanisasi dan dehumanisasi sebagai alternatif yang realistis. Humanisasi berakar dari pemikiran Paulo Freire mengenai pendidikan yang tidak manusiawi atau dehumanisasi. Dalam humanisasi penyangkalan dari yang disangkal akan diputarbalikkan oleh ketidakadilan, eksploitasi dan kekerasan kaum penindas. Oleh karena itu, kaum tertindas akan ingin kebebasan untuk merenggut kembali kemanusiannya yang hilang. Dalam perjuangan humanisasi manusia yang tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas. Persepsi yang terbatas oleh dua gambaran peran, yaitu menindas dan tertindas. Agar kesadaran manusia muncul, maka diperlukan pemahaman mengenal relasi antara penindas dan tertindas.
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, Sebagian besar Indonesia mengalami proses yang sama digambarkan Freire bahwa pendidikan sebagai kegiatan menabung. Murid sebagai celengan dan guru sebagai penabungnya. Lalu yang terjadi bukanlah menciptakan sebuah interaksi komunikasi. Guru akan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang akan diterima, dihapal dan diulangi oleh para murid. Hal ini yang membuat para murid tidak lebih mengeksplor pemikirannya lewat pemikiran kritis hingga membuat pemikiran murid hanya seperti itu atau juga bisa di sebut terbatas. Oleh karena itu, adanya pendidikan humanisasi menjadi titik tolak dan tuju dari pendidikan. Di mana pendidikan berfungsi agar memiliki kebebasan dalam berpikir terhadap situasi. Jika dikaitkan dengan adanya strategi pengajaran dalam guru. Pengajaran ini lebih bercondong pada definisi metode ekpositori, yaitu strategi yang menekankan pada proses penyampaian secara verbal atau bertutur kata sebagai alat utama dengan istilah “chalk and talk”agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Dalam strategi ini, materi disampaikan langsung oleh guru. Dalam strategi ini, materi disampaikan langsung oleh guru dan siswa tidak dituntut untuk berpikir kreatif. Materi pelajaran seakan sudah jadi dan sebatas yang disampaikan oleh guru saja. Para psikolog kognitif berpendapat bahwa siswa umumnya aktif secara mental selama kegiatan pembelajaran yang tampak pasif seperti mendengarkan dan membaca. Jika dilihat kegiatan pembelajaran ini didominasi oleh guru. Apalagi ketika ceramahnya kering, tidak runtut, membingungkan, atau tidak memotivasi dan tidak informatif.
Sumber : Freire, Paulo (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta:LP3ES.