Oleh : Noor Qonita Maulidina Salsabila (202110230311031)

Pendidikan, merupakan hal yang sangat penting dari dulu hingga sekarang. Banyak sekali tokoh dunia yang memperjuangkan pendidikan dengan usaha yang tidak main-main. Salah satunya ialah Paulo Freier yang merupakan ahli ilmu pendidikan yang sangat berpengaruh dalam bidang pendidikan dunia. Ia lahir pada 19 September 1921 dan berasal dari keluarga kelas menengah. Freire berperan penting dalam perubahan gaya pembelajaran pada pendidikan dunia. “Pendidikan Kaum Tertindas” merupakan salah satu karya terbaiknya yang membahas usaha Freire menjadikan pendidikan sebagai humanisasi atau memanusiakan manusia.

Buat kalian yang penasaran dengan isi bukunya tapi males baca buku apalagi disajikan dengan bahasa yang cukup sulit untuk dicerna. Yuk, kita intip bab-bab yang ada dalam buku, ‘Pendidikan Kaum Tertindas.’!

Pada bab pertama kita akan dikenalkan dengan kebutuhan pendidikan bagi kaum tertindas. Perlu kalian ketahui, masalah utama pada saat itu ialah humanisasi. Freire berpikir bahwa pendidikan yang dibutuhkan saat itu ialah pendidikan yang memiliki tujuan untuk memanusiakan manusia. Tentu saja pendidikan humanis itu sangat berlawanan dengan pendidikan dehumanis. Pendidikan dehumanisasi dikenal sebagai pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) yang pengimpelementasiannya berupa proses transfer ilmu, maksudnya adalah guru sebagai pemberi (menyampaikan materi) dan murid sebagai penerima, yang harus menerima semua hal yang disampaikan oleh gurunya dan juga lebih mengajarkan keahlian daripada pembentukan kepribadian murid. Tentunya dehumanisasi pendidikan ini akan berujung pada kebengisan yang dilakukan oleh para murid seperti tawuran, perkelahian antar murid, aborsi, penyalahgunaan pornografi bahkan penyalahan penggunaan obat terlarang dan kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh para murid.

Menurut Paulo Freire pendidikan dehumanis akan menjauhkan manusia dari eksistensinya sebagai manusia yang seharusnya dapat berpikir dengan bebas dan kritis, bukan malah menjadi seperti kaum tertindas yang terus menerus dimanfaatkan oleh para penindas. Karena dalam perjuangan humanisasi, manusia yang tertindas tidak boleh berganti peran menjadi penindas maka perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh kaum tertindas juga bertujuan untuk membebaskan kaum penindas karena kaum penindas tidak mungkin dapat menemukan kekuatan untuk membebaskan diri dari tindakan menindas. Pada tahap awal, kaum tertindas hanya melihat pembebasan sebagai pergantian peran orang yang tertindas menjadi penindas. Oleh karena itu, dalam tahap ini kaum tertindas tidak melihat adanya kemungkinan munculnya manusia yang baru. Manusia yang tidak menindas dan tidak tertindas. Agar kesadaran tentang manusia baru itu dapat muncul dibutuhkan pemahaman terkait relasi penindas dan yang tertindas. Oleh karena itu, muncul kebutuhan akan pendidikan kaum tertindas yang akan menjelaskan tentang situasi mereka.

Bab ini juga menyinggung perasaan takut kebebasan (fear of freedom). Mungkin sebagian dari kalian akan heran dengan orang yang takut kebebasan. Kenyatannya orang tersebut ada, mereka menganggap bahwa kebebasan itu merupakan beban karena mereka harus membuka peluang untuk bebas bertindak dan menjadi subjek atas ‘perbuatannya’ sebab semakin besar kebebasan maka semakin besar tanggung jawab yang diemban sehingga mereka memilih untuk mengikuti orang-orang lain saja bahkan mencari orang yang dapat menjamin dirinya atau menjadi ‘tempat’ untuk menggantungkan dirinya.

Bab selanjutnya, yaitu bab kedua membahas tentang bagaimana proses dari pendidikan kaum tertindas. Freire menyebut pendidikan tradisional yang ada di Brazil saat itu sebagai pendidikan ‘sistem bank’ karena guru sebagai subyek, memiliki pengetahuan yang akan diberikan kepada murid dan murid hanya bagaikan wadah atau tempat deposit belaka yang artinya menampung semua informasi yang diberikan. Simpelnya sistem bank ini hampir mirip dengan pendidikan dehumanis. Sistem bank menunjukkan tidak adanya komunikasi antara murid dan guru, seperti mencerminkan penindasan yang terjadi pada masyarakat. Lantaran Freire sangat ingin menghilangkan sistem tersebut akhirnya ia menciptakan sistem baru yang bernama problem posing education atau pendidikan hadap masalah yang memungkinkan konsientisasi, keadaan nyata yang sedang dialami. Dalam konsientisasi, guru dan murid menjadi subyek yang disatukan oleh objek yang sama, guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru yang membuat kedua belah pihak dapat mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis tentang diri sendiri dan dunia yang mereka tempati (bahwa dunia merupkan suatu proses untuk ‘menjadi’). Metode pembelajaran ini menanamkan nilai-nilai dalam berfikir kritis karena melatih peningkatan kemampuan ‘menyelesaikan’ dan proses pembelajaran luar-dalam yaitu mengeluarkan bakat yang dimiliki pada dalam diri murid. Kegiatan dari metode ini ada dua yaitu pembentukan masalah atau soal dari situasi atau pengalaman murid dan yang kedua adalah pembentukan dari soal yang sudah ada. Ringkasnya metode ini merupakan kegiatan merumuskan kembali masalah menjadi lebih sederhana agar mudah dipahami. Contoh masalah yang dimaksud ialah soal-soal matematika.

Di bab ketiga kita akan mendapat pengetahuan tentang dialog yang menjadi unsur pendidikan kaum tertindas. Lebih tepatnya dialog disini merupakan unsur dari metode yang telah diolah oleh Freire yaitu pendidikan hadap masalah. Perlu kita ketahui bahwa ‘kata’ merupakan inti dialog yang mempunyai dua dimensi yaitu refleksi dan aksi. Jika tidak ada dimensi refleksi, maka dialog hanya akan menjadi verbalisme atau tindakan. Sedangkan, jika tidak ada aksi, maka dialog hanya menjadi aktivisme. Kedua dimensi itu menjadi padu dan disebut dengan praksis. Karena kata sejati pada bersamaan akan menghasilkan bentuk praksis. Oleh karena itu, kata sejati dapat mengubah dunia yang artinya mengubah dunia harus dengan tindakan-refleksi. Komunikasi menuntut dialog dan dialog menuntut program pendidikan yang bersifat dialogis. Menurut Freire, dialog merupakan bentuk pertemuan sesama manusia. Selain itu, bab ini akan mengenalkan landasan-landasan model dialog yang diumpamakan sebagai kerendahan hati maksudnya dialog bagaikan kemauan untuk belajar, bersandar pada cinta-kasih, berasaskan pengharapan, menuntut sikap mau mendengar, memahami diri sendiri, dan memiliki sense of humour. Dialog harus berasal dari kebebasan berekspresi agar kreativitas semua pihak dapat menjelaskan dirinya secara terbuka dan jujur demi kemajuan. Terlebih jika dialog dilakukan untuk nilai-nilai pendidikan karena dialog dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik sebab dialog dapat membuat masa depan manusia terlihat semakin jelas dan pasti.

Bab terakhir menjelaskan tentang perbandingan antara pendidikan dialogik dan adialogik oleh Freire. Pendidikan dialogik bersifat kooperatif, karena adanya kesatuan pemimpin dan masyarakat dalam proses pembebasan. Sedangkan pendidikan antidialogik ditandai dengan usaha menguasai manusia, membuat manusia tunduk, pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga mereka akan terus tertindas. Tindakan dialogik membangun kesatuan sedangkan antidialogik akan memecah-belah dan menguasainya dengan bertujuan untuk melestarikan status quo (mempertahankan keadaan yang sekarang ada), memaksakan pandangan hidup, dan menghambat kreativitas masyarakat serta menciptakan rasa rendah diri. Tindakan dialogik juga mencakup organisasi yang otentik sedangkan antidialogik akan memanipulasi dengan menghambat masyarakat saat berpikir secara kritis dengan menciptakan mitos-mitos yang disebar luaskan.

Itulah sekilas bab-bab yang ada pada buku “Pendidikan Kaum Tertindas” yang sangat inspiratif, membuat kita dapat melihat, berfikiran, dan mengetahui banyak hal lebih dalam dan luas tentang sistem pendidikan dunia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here