Oleh: Naufal Febrian*

Dilansir dari www.bps.go.id (28/09/2020) bahwa Badan Pusat Statistik Indonesia mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini minus 5,32%. Pemerintah dan pengamat juga telah memprediksi kemungkinan pertumbuhan negatif berlanjut pada kuartal ketiga. Hal ini terjadi akibat pandemi Covid-19. Indonesia akan masuk jurang resesi jika kondisi ini terus terjadi pada kuartal-kuartal berikutnya. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini pandemi telah menghantam hampir semua sendi kehidupan kita. Mulai dari pendidikan, aktivitas keagamaan, tradisi budaya/kebiasaan, hingga sampai pada ancaman resesi ekonomi. Dampak pandemi Covid-19 masih akan terus terasa jika kasus tak kunjung turun.

Akhir 2019 pertama kali pihak berwenang China melaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa ada kluster virus baru di Wuhan yang memiliki gejala mirip pneumonia. Perlahan tapi pasti virus yang belakangan diketahui sebagai SARS-CoV-2 itu menyebar tanpa diduga-duga. Dengan cepat merambat ke banyak negara dan tumbuh secara eksponensial dalam waktu kurang dari empat bulan semenjak kemunculannya.

Meski sudah banyak pihak yang menganggap bahwa kasus sudah ada di Indonesia saat itu, Namun pemerintah baru secara resmi mengumumkan kasus pertama terjadi pada tanggal 2 Maret 2020. Tepatnya pada saat total kasus di dunia telah mencapai angka 88.948 kasus. Sebelumnya otoritas pemerintahan sibuk membangun narasi optimisme dan kelakar publik bahwa virus korona tidak berani masuk ke Indonesia. Tragis, karena satu bulan kemudian tercatat ada 1.528 kasus positif yang dilaporkan.

Pemerintah kemudian memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Banyak yang menilai bahwa itu pilihan yang gamang karena tidak cepat dan tidak ketat. Kurva kasus penyebaran Covid-19 tidak melandai. Akibatnya ekonomi ikut melemah. Tidak tinggal diam, pemerintahpun segera mencoba adaptasi kebiasaan baru (AKB) agar ekonomi produktif kembali. Kendati demikian jumlah kematian dan kasus Covid-19 pun terus naik tanpa bisa dikendalikan.

Harus diakui bahwa kita gagal memanfaatkan momentum emas di awal untuk menghadapi wabah. Kita semua kehilangan kesempatan. Hingga detik  ini -ketika tulisan ini dibuat- lebih dari 300.000 kasus positif dengan lebih dari 10.000 kematian telah terkonfirmasi di Indonesia.

Langkah terbaru pemerintah sembari menunggu vaksin adalah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020). Kendali diambil alih oleh tim gabungan kementerian. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 turun derajat menjadi satuan tugas. Akankah komite ini bisa bekerja cepat dan tepat di tengah sempitnya waktu dan tantangan alur birokrasi yang tidak mudah? Apakah pilihan langkah pemerintah akan efektif? Bagaimana jika vaksin terlambat dan virus semakin mengganas? Apa yang dapat dilakukan?

Berkaca dari pengalaman selama ini, penulis memandang bahwa penanggulangan masalah masih cenderung dihadapi secara parsial. Ini terbukti menyulitkan. Paradigma harus diubah. Harus ada penanganan pandemik yang terencana dan menyeluruh (komprehensif). Penanganannya harus melibatkan semua pihak dan semuanya bersatu untuk menghadapi persoalan yang tak kunjung reda ini. Ada beberapa komponen penting yang perlu diperbaiki demi penanganan masalah pandemik serta untuk perbaikan fondasi kesehatan kita.

Pertama, kepemimpinan (leadership) yang merupakan kunci tata kelola. Kepemimpinan ini harus ada mulai dari pusat hingga daerah. Akhir Juli lalu Presiden meminta semua pihak harus memiliki sense of crisis. Kepekaan terhadap krisis dari seorang pemimpin penting untuk memahami masalah dan mampu membangun strategi jitu untuk menangani pandemi Covid-19 ini.

Kedua, keakuratan data. Tanpa evidence based  yang kuat jelas berpotensi menimbulkan kebijakan yang dikeluarkan bisa salah sasaran. Presiden sudah pernah meng-highlight 3T (test, tracing, and treatment). Kalau tes kurang, surveillance lemah (contact tracing), maka data selamanya akan under-reported. Sebagian besar (50%) contact tracing belum didapatkan datanya oleh satuan tugas nasional. Kondisi ini bisa membuat arah kebijakan menjadi salah. Gugus tugas pernah mengeluarkan rekomendasi, boleh berkegiatan bagi pekerja di bawah 45 tahun yang datanya hanya diambil dari laporan kematian di rumah sakit. Ini adalah langkah bias karena tidak menggambarkan populasi dan tren masalah secara keseluruhan. Di luar sana kasus suspect dari penderita yang bergejala ringan atau bahkan tanpa gejala bisa memperluas transmisi kejadian sehingga angka terus bertahan di puncak. Cari, temukan, kemudian karantina untuk isolasi penyebarannya. Jika tidak, kasus tanpa gejala akan terus menularkan membentuk kluster-kluster baru yang tak berkesudahan.

Ketiga, kesiapan fasilitas kesehatan (Faskes). Hal ini hanya bisa dilakukan kalau semua fasilitas ditingkatkan. Seperti peralatan (jumlah tempat tidur, ventilator, dan alat pelindung diri). Tak kalah pentingnya pengaturan ruang rawat termasuk sirkulasi udara maupun standar pelayanan. Analisis kesiapsiagaan pandemi yang dilakukan saat wabah flu burung merebak memperlihatkan lemahnya faskes kita jika pandemi tidak terbendung. Dalam hitungan bulan kita bisa kolaps dan tenaga kesehatan (nakes) akan bertumbangan jika penyebaran virus tidak dapat dihentikan. Ancaman penularan dalam ruangan maupun kekhawatiran munculnya kluster baru di rumah sakit atau faskes adalah keniscayaan. Saat ini Indonesia salah satu negara dengan kematian nakes tertinggi di dunia.

Terakhir, kita harus membangun partisipasi masyarakat secara sistematis, masif, dan terorganisasi. Kita memiliki 1.5 juta rukun tetangga (RT) dan 800.000 kader pemberdayaan kesehatan keluarga (PKK) yang terbukti militan dan terstruktur hingga ke daerah perifer, yang bisa menjadi corong promosi kesehatan yang ampuh. Selama ini kita bertumpu pada peran dua jejaring tersebut dalam pelaksanaan program kesehatan di masyarakat seperti posyandu, imunisasi serta gizi. Tokoh masyarakat dan tokoh agama adalah aktor lain yang bisa banyak berperan.

Ini adalah momentum untuk perbaikan dan mengefektifkan sistem yang sudah berjalan. Bukan hanya untuk kondisi saat ini. Lenih dari itu juga untuk membangun pertahanan di masa depan karena sejarah bisa berulang. Perbaikan tata kelola, kepemimpinan, pencatatan dan pelaporan, kualitas layanan dan efektivitas peran serta masyarakat harus terus ditingkatkan.

Tanpa strategi yang jitu mustahil bagi kita untuk keluar dari situasi yang buruk ini. Bahkan kita akan semakin berlama-lama dengan masalah yang bukan hanya menambah jumlah kasus dan kematian. Bisa jadi akan melahirkan masalah kesehatan masyarakat baru seperti penyakit menular, stunting, dan kematian ibu hamil dari aspek kesehatan. Sedang resesi ekonomi semakin hari kian mendekat.

Saudaraku, Apakah kita ingin sejarah mencatat negara kita sebagai salah satu bangsa yang sukses memenangi pertempuran ini? Atau apakah kita ingin menjadi bangsa pecundang yang menjadi penonton hebat bangsa lain dalam menyelesaikan persoalan dan membangun sebuah peradaban?  Kemampuan untuk memilih strategi sembari berharap pada imunisasi buatan adalah langkah kunci yang jadi penentu hasil akhir pertempuran kita melawan pandemi. Selain itu mari kita tingkatkan kesadaran diri dengan tetap mematuhi protokal kesehatan. Bersiaplah jadi pemenang atau jadi pecundang yang tentu sangat tidak kita harapkan.

*Penulis adalah santri dan anggota Ikatan Pelajar Muhammadiyah Pondok Pesantren Al-Mujahidin Balikpapan

Editor: M. Andhim

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here