Oleh: Tsabitah Zhafira (202110230311052)
Peran guru di dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah sebagai fasilitor bagi siswanya. Dalam sebuah proses pembelajaran, guru menjelaskan materi dari topik yang dibahas dan para siswa hanya harus menelan apa yang telah diberikan oleh guru. Proses pembelajaran ini disebut sebagai spoon-feeding. Setelah pembelajaran selesai, siswa diberikan evaluasi daya kemampuan mengingat dari apa yang telah disampaikan oleh guru. Evaluasi biasanya berupa ujian dalam bentuk pilihan ganda yang memaksa siswa untuk memorisasi terkait materi yang dijelaskan oleh guru. Manifestasi dari strategi pembelajaran dengan spoon-feeding ini adalah siswa yang hanya kompeten pada bagian permukaan saja tanpa memiliki kemampuan untuk menggali ide-ide lainnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas”, Paulo Freire mendefinisikan “sistem bank” pada proses pendidikan lama. Pada “sistem bank” guru merupakan subjek yang berisikan pengetahuan dan kemudian diisikan kepada siswa yang berperan sebagai objek wadah. Dengan sistem ini jelas kurang adanya komunikasi antara guru dan siswa.
Pada dasarnya, dialog adalah unsur terpenting dalam pendidikan untuk membangun interaksi dan koneksi yang kuat antara guru dan siswa. Komunikasi yang seharusnya terjadi antara guru dan siswa menuntut program pendidikan bersifat dialogis. Siswa dianggap hanya perlu menerima apa yang diberikan oleh guru dan tidak aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran sehingga tidak terjalinnya interaksi yang hidup antara guru dan siswa. Hal ini juga membuat pengetahuan yang diketahui siswa hanyalah sebuah teori tanpa adanya implementasi dalam kehidupan nyata.
Menurut Freire, proses pembelajaran dengan “sistem bank” merupakan cermin dari penindasan karena hak kebebasan siswa yang telah dirampas, dehumanisasi. Kebebasan untuk berpendapat, kebebasan untuk berbicara, dan kebebasan untuk mengekspresikan ide. Selain itu, praktik “sistem bank” pada pendidikan adalah bentuk dukungan terhadap struktur-struktur penindasan. Kaum tertindas menanggung beban penindasan dan haus akan kebebasan. Namun, bentuk kebebasan yang dilihat oleh kaum tertindas adalah pergantian peran karena adanya keterbatasan persepsi pada dua peran (yang menindas dan yang tertindas) dan mereka menginternalisasi sebuah gambaran kaum penindas dalam dirinya. Untuk itu dibutuhkan penjelasan kepada kaum tertindas akan situasi mereka.
Dengan tujuan untuk meruntuhkan “sistem bank” yang sudah melekat, Freire mendirikan sistem pendidikan baru. “Pendidikan hadap masalah” menjadikan guru dan siswa sebagai subjek yang membahas satu objek dan berpikir bersama. Dengan sistem yang bersifat dialogis ini, guru dan siswa dapat berkembang secara bersamaan. Guru tidak lagi berperan untuk menyuapi murid, melainkan memberikan pertanyaan sebagai bentuk rangsangan untuk mengasah daya pikir kritis siswa terhadap dirinya sendiri dan dunia.
Sistem pendidikan yang ada di Indonesia kini sudah mengalami perubahan. Student-Centered Learning (SCL) adalah metode pembelajaran yang mulai diterapkan oleh di Indonesia. Metode SCL berpusat pada siswa, dimana guru tidak selalu memberikan penjelasan materi pembelajaran dan siswa tidak selalu menerima apa yang diberikan oleh guru. Metode pembelajaran ini serupa dengan sistem “pendidikan hadap masalah” yang diterapkan oleh Freire.
Dalam penerapannya, metode SCL membuat siswa untuk selalu aktif dalam proses pembelajaran. Siswa diharapkan bisa mengkritisi pengetahuan melalui penjelasan singkat dari guru dan menggali ide-ide lainnya serta melakukan diskusi dengan guru dan para siswa lainnya. Interaksi antara guru dan siswa membangun adanya interaksi yang hidup, komunikasi. Dengan adanya komunikasi maka akan terbentuk pendidikan yang bersifat dialogis.
Freire menyatakan bahwa objek pada dialog antara guru dan siswa merupakan kodifikasi. Kodifikasi adalah proses penyajian elemen-elemen penuh makna dari situasi tersebut kepada masyarakat. Selain kodifikasi, terdapat pula dekodifikasi yang merupakan proses menafsrikan situasi yang telah dikodofikasi tadi. Hal ini termasuk dalam sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Freire untuk mencapai sistem pendidikan yang dialogis.
Dengan metode SCL siswa juga dilatih untuk melakukan praktik dari teori-teori yang dipelajari sehingga pengetahuan tidak hanya sebatas teori. Menurut Freire, kata adalah inti dari dialog. Kata yang sejati hanyalah kata yang melalui praksis. Praksis adalah perpaduan dari aksi dan refleksi. Kata tanpa refleksi hanyalah sebuah aktivisme, dan tanpa adanya aksi maka hanya akan terjadi verbalisme. Dilakukannya aksi pada proses pembelajaran adalah sebuah implementasi untuk menghindari terjadinya verbalisme.
Metode SCL menjadi sebuah perubahan utama yang bisa dilakukan oleh Indonesia untuk mengubah struktur masyarakat. Seperti yang dikatakan Freire tentang teori dialogik dan antidialogiknya, sistem pendidikan harus bersifat kooperatif. Teori dialogik berarti adanya kesatuan dari pimpinan kepada masyarakat dalam rangka menjunjung kebebasan dengan melakukan perombakan struktur untuk membangun kesatuan demi kebebasan. Berbeda dengan teori antidialogik, manusia dikuasai untuk tunduk dan pasif sehingga tetap pada kondisi tertindas dengan memecah belah untuk menjaga status quo
Namun, apakah metode SCL benar-benar diaplikasikan secara baik dan benar di dalam pendidikan di Indonesia? Apakah dapat berpengaruh ke arah yang lebih positif bagi kehidupan masyarakat Indonesia? Karena pada penerapannya, metode SCL sering disalahartikan oleh beberapa pihak. Siswa seringkali dibiarkan untuk bebas tanpa pengawasan dan tidak berarah sehingga siswa tidak dapat mengetahui mana yang benar dan yang salah. Dengan metode SCL, siswa tetap membutuhkan bimbingan dari seorang guru untuk mengawasi limitiasi-limitasi dan memberikan arahan yang tepat serta untuk memberikan penjelasan yang berisfat merangsang bagi para siswa untuk mereka dapat mengkritisi suatu hal.
Adapun di sisi lain dari mendapatkan feedback yang positif dan memiliki tujuan yang baik, beberapa orang tidak terlalu senang dengan diterapkannya metode SCL. Menurut beberapa orang tersebut, metode SCL hanya akan membuat guru makan gaji buta. Freire menyatakan bahwa ada beberapa orang yang memiliki perasaan (fear of freedom) atau “takut akan kebebasan.” Menurut orang-orang dengan perasaan ini, kesadaran kritis merupakan bentuk keanarkisan. Perubahan yang cukup signifikan pada pengaplikasian metode SCL dari pendidikan sebelumnya membuat beberapa orang khawatir akan dampak buruk yang kemungkinan akan terjadi. kepada penerus bangsa walaupun pada realitanya metode ini dapat mencapai sebuah kebebasan dan kemandirian.
Dengan demikian, apakah sebenarnya metode SCL di Indonesia sudah diterapkan dengan baik? Atau apakah menjadi malapetaka bagi pendidikan Indonesia karena beberapa masyarakatnya yang cenderung takut dan tidak toleransi terhadap suatu perubahan walaupun untuk kebaikan bersama?