Oleh : Ghinaa Masturina

Berbicara mengenai Pendidikan di Indonesia, tanpa disadari kita sangatlah dekat dengan kata ‘penindasan’, baik dari segi politik, sosial, budaya, Pendidikan, dan lain-lain. Penindasan dominan dirasakan oleh kaum lemah atau kaum tertindas seperti orang miskin, kelompok minoritas, penyandang disabilitas, dan lain sebagainya. Hal seperti ini telah dibahas oleh Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul “Pedagogy of Oppresed” yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi “Pendidikan Kaum Tertindas”. Freire membahas pemikirannya mengenai betapa pentingnya Pendidikan untuk kaum tertindas, humanisasi, Pendidikan gaya bank, Pendidikan hadap masalah, serta Pendidikan dialogis dan antidialogis, yang mana hal ini tak jarang ditemui dalam Pendidikan di Indonesia.

Humanisasi dapat dikatakan sebagai suatu langkah untuk memanusiakan manusia, tetapi yang dihadapi sekarang ialah belum meratanya Pendidikan di Indonesia dan masih banyak kaum yang belum merasakan kemerdekaan dalam belajar. Tidak meratanya Pendidikan di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu minimnya sarana dan prasarana, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru dan prestasi murid, kurangnya pemerataan Pendidikan ke pelosok desa, rendahnya kecocokan Pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, dan mahalnya biaya Pendidikan (Zulkarnaen & Handoyo, 2019). Faktor-faktor di atas dapat terjadi karena, ketidakseimbangan pengoptimalan Pendidikan di daerah kota dan daerah terpencil. Selain itu, kemiskinan juga berperan dalam masalah ini.

Kebanyakan kaum tertindas (miskin) tidak dapat melanjutkan pendidikannya meskipun tinggal di daerah perkotaan yang kualitas pendidikannya sudah memadai karena biaya yang terlampau mahal, atau karena mereka lebih memilih untuk bekerja demi kelangsungan hidupnya beserta keluarga ketimbang menyelesaikan pendidikannya sendiri. Sekolah-sekolah yang berada di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal)  seperti di pedalaman Indonesia Timur masih banyak yang belum memiliki fasilitas layak dan susah untuk merealisasikan dana BOS. Selain itu, tenaga jasa guru di daerah terpencil masih kurang memadai, walaupun ada biasanya mereka berasal dari masyarakat yang bekerja sukarela atau bahkan mendapat gaji lebih rendah daripada guru-guru diperkotaan. Permasalahan seperti ini dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakadilan, karena Pada era modernisasi seperti saat ini sekolah-sekolah di daerah 3T belum bisa mendapatkan sarana dan prasarana Pendidikan yang layaknya seperti di daerah perkotaan.

Salah satu bentuk dari humanisasi yang lain ialah menghargai sesama dan tidak melakukan penindasan atau tindak kekerasan terhadap satu sama lain. Namun, perundungan atau penindasan sering terjadi dikalangan pelajar atau mahasiswa di Indonesia, mereka melakukannya secara sadar maupun tidak sadar. Anak-anak atau remaja yang memiliki keterbatasan finansial, penyandang disabilitas, memiliki keterbelakangan mental, atau anak yang dianggap lemah biasanya akan mendapat ejekan atau perlakuan yang berbeda dari teman-temannya padahal mereka juga berhak merasakan kebebasan dalam belajar dan bersosialisasi di lingkungannya.

Tindakan perundungan yang terjadi di sekolah dapat merusak mental maupun fisik anak bangsa, serta menyebabkan rasa takut, trauma, putus asa, rendah diri, dan bahkan dapat menjadi penyebab kasus bunuh diri pada remaja. Anak-anak korban perundungan di sekolah terkadang menjadi perundung juga, mereka bisa saja menindas kaum yang lebih lemah daripada mereka, karena seperti yang telah dijelaskan Freire (2008), kaum yang tertindas telah menanamkan pemikiran bahwa hanya ada kaum penindas dan kaum tertindas, sehingga mereka berpikir apabila telah bebas dari kaum tertindas maka akan berbalik menjadi kaum penindas. Maka dari itu, diperlukan adanya Pendidikan untuk kaum tertindas yang dibutuhkan oleh kedua belah pihak, yaitu penindas dan yang tertindas.

Setelah membahas mengenai humanisasi, tahukah kamu bahwa sistem pembelajaran dapat menjadi sebuah bentuk penindasan dalam pendidikan? Freire (2008) mengungkapkan dalam bukunya mengenai sistem Pendidikan bank bahwa, proses yang terjadi dalam pembelajaran gaya bank adalah guru menyampaikan pertanyaan-pertanyaannya dan ruang gerak yang disediakan bagi para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Meskipun Indonesia telah menerapkan kurikulum 2013 dalam sistem pembelajaran, dimana murid di dorong menjadi lebih aktif dan menggali lebih dalam mengenai kemampuannya, masih sering ditemukan keadaan ketika para murid atau mahasiswa merasakan kejenuhan selama pembelajaran berlangsung dan ingin segera mengakhiri kelas tersebut. Tanpa disadari hal seperti ini termasuk dalam pembelajaran satu arah atau gaya bank dan para pelajar tidak merasakan kemerdekaan dalam belajar.

Solusi dari pembelajaran gaya bank telah dibahas oleh Freire (2008), yaitu sistem Pendidikan hadap masalah. Pada sistem Pendidikan ini, guru dan murid bertukar pendapat, berpikir, serta mengembangkan diri bersama. Tidak seperti gaya bank yang digambarkan Freire dimana guru sebagai subjek  dan  pelajar sebagai objeknya, tetapi dalam sistem Pendidikan hadap masalah, guru dan pelajar bersamaan menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Dalam hal ini, dialog merupakan hal yang penting, karena dari dialog terdapat kata-kata yang apabila diucapkan dapat menimbulkan komunikasi, dari komunikasi dapat tercipta pemikiran-pemikiran kritis yang dapat mengubah dunia dan memicu pembebasan. Dialog menuntut seseorang untuk bersikap mau mendengar, memahami diri sendiri, memiliki selera humor, dan berani berpendapat serta menuntut suatu program yang bersifat dialogis.

Sistem Pendidikan dialogis memiliki sifat kooperatif, yaitu pemimpin dan masyarakat menjadi satu kesatuan dalam usaha pembebasan, karena pembebasan tidak dapat terjadi karena paksaan pimpinan tetapi haruslah kesadaran dari dua belah pihak. Lawan dari sistem Pendidikan dialogis adalah sistem Pendidikan antidialogis yang memiliki ciri membuat manusia tetap tertindas dengan usaha untuk menguasai manusia. Tindakan antidialogis memanipulasi masyarakat dengan adanya mitos-mitos yang disebarkan oleh kaum penindas agar kaum yang tertindas merasa rendah diri dan menghambat kreativitas mereka. Contohnya mitos yang mengatakan bahwa orang miskin tidak perlu atau tidak bisa berpendidikan tinggi, padahal Pendidikan itu ditujukan untuk siapapun tanpa memandang status dan dapat dicapai ketika memiliki tekad yang kuat.

Setelah membaca uraian dan beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa negara kita masih jauh dari kata berhasil dalam mencapai kejayaan dalam bidang Pendidikan. Masih banyak permasalahan-permasalahan yang belum dapat terselesaikan. Namun begitu, bukan berarti pemerintah tidak memiliki usaha untuk mengatasinya. Pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk mengatasi terhambatnya kemajuan Pendidikan di Indonesia dengan menyediakan berbagai macam beasiswa, penyediaan kuota gratis untuk pembelajaran online, kunjungan sekolah di daerah 3T, dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa Pendidikan merupakan elemen yang sangat penting untuk memberantas penindasan dan membebaskan kaum yang tertindas agar nasib Pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi dan dapat mencapai kejayaan di masa depan.

Referensi :

Freire, Paulo. (Trans). (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES. Diakses pada 22 Maret 2022 dari https://drive.google.com/file/d/1ejrz9TSRxdmbnHaqgzwuH_YqFJ6Uj2KI/view?usp=drivesdk

Zulkarnaen., & Handoyo, A. D. (2019). Faktor-Faktor Penyebab Pendidikan Tidak Merata di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Nasional “Menjadi Mahasiswa yang Unggul di era Industri 4.0 dan Society 5.0”, 20-24. Diakses pada 22 Maret 2022 dari https://bimawa.uad.ac.id/wp-content/uploads/Paper-Seminar-Nasional-2.pdf

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here