Oleh: Teguh Jairyanur Akbar, Ketua Umum IMM FEB UMS
“Kau ingin jadi apa? pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatah disekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini?”
– Victor Serge, Bolshevik
Mahasiswa adalah seorang intelektual, kaum terdidik dan golongan yang melek angka. Seorang pembelajar yang menuntut pendidikan tingkat lanjut di perguruan tinggi dengan berbagai program jurusan yang ditempuh mulai dari ekonomi, hukum, tekhnik, kesehatan dan masih banyak lagi. Tapi, apakah menjadi seorang mahasiswa hanyalah sekedar identifikasi atas keterdaftarannya didalam suatu perguruan tinggi? Saya kira tidak, agaknya terlalu sederhana dan amatlah sempit jika kita mengartikan mahasiswa hanya melalui keabsahan administratif.
Makna Filosofis Mahasiswa
Mahasiswa terdiri dari dua suku kata “maha” yang artinya “ter, paling, tinggi” dan “siswa” yang artinya “pelajar, murid; yang menempuh pendidikan”. Apa maksud dari keutuhan dua suku kata yang membentuk nama mahasiswa itu tadi? Nampaknya disini kita akan sedikit memerlukan perenungan yang agak filosofis, daripada hanya sekedar pemaknaan secara harfiah.
Mungkin dengan skema yang sama, Ketika kedua orang tua, ayah dan ibu saling berunding untuk memberikan nama yang tidak hanya indah namun juga memiliki makna yang inheren dengan ekspektasi akan masa depan anaknya. Kiranya begitu lah yang dimaksudkan oleh siapapun itu diluar sana “si orang pertama” sekaligus si pencetus ungkapan “mahasiswa” yang kini digunakan secara universal.
Pastinya didalam kandungan nama tersebut terdapat doa, harapan, cita-cita, angan dan berbagai keinginan besar dalam pengunaan nama tersebut. Mari kita beralih pandang, masuk sekali lagi kedalam historikal etimologi dari ungkapan mahasiswa yang mungkin saja mampu untuk memberikan kita jawaban dari beban yang disandangkan oleh sipencetus.
Kata Maha yang diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti sangat besar atau mulia dan siswa yang merupakan sebuah kata serapan dari nama seorang dewa dalam trimurti hindu, yaitu siwa, sang dewa pelebur dan pemusnah yang tugasnya adalah untuk menghancurkan segala yang telah usang dan tidak berkebaikan lagi. Jadi berangkat dari etimologi tersebut, kiranya kita bisa untuk mengajukan suatu sintesis bahwa si pencetus mengemukakan suatu ungkapan yang mana si penyandangnya kelak akan membawa spirit yang linear.
Berkesinambungan dengan makna akan segala harap yang diinginkannya, yaitu seseorang yang besar dengan kemuliaan intelektualitas yang dimilikinya demi membawa perubaha. Untuk melebur dan memusnahkan yang telah usang dan menggantinya dengan yang baru dan lebih baik.
Refleksi Mahasiswa sebagai Agent of Change
Hal-hal tersebut tadi pada akhirnya termanifestasikan dalam perjuangan mahasiswa yang secara spesifik dinyatakan sebagai agent of change, yaitu agen perubahan. Dengan kecakapan yang dimiliki seorang mahasiswa pada bidang yang ditekuninya, ia diharap mampu menjadi seorang yang tidak hanya mendalami perihal teori. Namun, lebih dari itu mampu mempraktikan atau mengaplikasikannya demi penghidupan yang sejahtera kian merata dan penumpasan kesenjangan antar kalangan.
Menjadi seorang mahasiswa merupakan salah satu anugrah yang patut dibanggakan, mungkin sebagian dari kita akan bertanya, mengapa demikian? Tentulah, membawa segala angan dan ekspektasi tinggi dari keluarga di rumah. Menanggung beban cita dan cinta oleh mereka yang ditindas kezaliman sang penguasa, menjadi ujung tombak pengharapan bagi mereka yang mendekap dinginnya jalanan yang merebahkan lelah pada trotoar dan kolong-kolong jembatan yang menggantung lapar pada langit-langit tirani yang terlampau pasrah ditikam kebijakan rezim oligarki.
Terlalu remeh agaknya, jika level mahasiswa hanya memberi perhatiannya pada nilai kuantitas IPK, perutnya sendiri dan dompet pribadinya. Karena jika kita sandingkan dengan kenyataan para birokrat di kampus atau tingkat kekuasaan pemerintahan. Mereka semua adalah orang yang berpendidikan tinggi, berkecukupan dan kalangan diatas rata-rata.
Namun perihal kinerja, apakah kita semua sepakat bahwa mereka sudah memberikan yang terbaik untuk memenuhi tuntutan kesejahteraan? Saya beramsusi tentu tidak. Menurut subjektif saya, anugrah terbesar mahasiswa tidaklah berupa ia berhasil masuk kedalam perguruan tinggi bergengsi atau selalu memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan oleh kurikulum. Melainkan pada privilege berupa kebebasan dan dengan atas dasar pada kepentingan komunal, maka kebebasan itu akan menjadi sebuah senjata yang amatlah ampuh demi penghancuran kecacatan sistem pada kampus-kampus dan tanah air.
Romantisme Masa Lalu Mahasiswa
Berbicara tentang mahasiswa sebagai agen perubahan akan cukup hambar rasanya jika tidak menelisik jejak sejarah yang telah ditorehkan mahasiswa digaung jalanan. Mahasiswa sebagai kaum yang ditakuti oleh sistem, yang selalu diidamkan kemundurannya oleh rezim. Selalu berdiri digarda terdepan memperjuangkan kaum-kaum lemah, buruh-tani dan rakyat jelata. Hal ini tidak serta-merta kuafirmasi secara sepihak, karena sejarahlah yang telah menuntut bukti, bahwa perjuangan mahasiswa telah berhasil mengisi catatan penting perlawanan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara dan tervalidasi atasnya.
Sejarah perubahan bangsa yang dilakukan mahasiswa tidak terlepas dari integritas mahasiswa itu sendiri yang berhasil mendongkrak gerakan besar diberbagai belahan negara didunia, seperti; demonstrasi White Rose 1942 gerakan anti-imperialisme dan anti-nazi yang dikampanyekan oleh mahasiswa dari University of Munich – Kent State 1970 di Amerika yang saat itu sangat terbagi atas perang di Vietnam, protes anti-perang dilakukan oleh mahasiswa Kent State University di Ohio atas melunjaknya jumlah korban perang dan invansi tentara AS di Kamboja – Velvet Revolutions 1989 di Republik Ceko yang semulanya pawai memperingati hari mahasiswa internasional berubah menjadi panggung unjuk rasa anti-komunis yang mendapati tindakan represif dari aparat kepolisisan anti huru-hara dan berlanjut dengan berbagai prahara kemudian – Tiananmen square 1989 di China.
Ribuan mahasiswa berjalan di Tiananmen Square untuk memprotes pemerintahan komunis yang opersif dan hanya berselang beberapa minggu kemudian dilanjut dengan demonstrasi menuntut perubahan politik dan ekonomi yang mencapai 1,2 juta massa.
Lalu yang terjadi di tanah air ibu pertiwi ini, mei 1998 begitulah kita mengenalnya. Peristiwa saat mei 1998 berawal dari krisis ekonomi tahun 1998 sebagai imbas krisis finansial di Asia. Rakyat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun dan dinilai tak mampu mengatasi krisis berkepanjangan itu. Kalangan mahasiswa menuntut agar Presiden Soeharto melepaskan kekuasaannya. Namun, Presiden Kedua RI itu berpendirian untuk melaksanakan reformasi serelah tahun 2003.
Aksi protes mahasiswa yang tak terbendung memunculkan demonstrasi di berbagai daerah, terlebih ada kenaikan harga bensin dari Rp. 700 ke Rp. 1.200. Singkat cerita, meletuslah peristiwa 12 Mei yang disebut targedi Trisakti dan selanjutnya Ketua DPR/MPR Harmoko menyampaikan bahwa akan diadakan sidang Paripurna pada 19 Mei 1998. Akhirnya, 21 Mei 1998 hari Kamis, Soeharto melepas jabatan sebagai Presiden RI.
“Jalanan itu jadi saksi bisu, jalanan itu telah jadi panggung, jalanan itu juga merekam adegan peluru yang dihamburkan, kini jalanan itu telah mengukir banyak peristiwa, begitulah jalanan itu berhiaskan kepalsuan, maka jalanan merupakan tempat bertarung, dan kini sudah waktunya jalanan itu direbut Kembali.”
– kutipan dalam Buku “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa
Kondisi Realitas Mahasiswa Sekarang
Dengan fakta-fakta demikian alangkah betapa gagah dan heroiknya seorang mahasiswa dimata kalangan awam. Mahasiswa sebagai pembebas kedunguan akut, pembela kaum lemah, petarung yang dipersenjatai intelektualitas dan pembawa perubahan demi pencerahan. Pertanyaan sekarang, apa kabar mahasiswa kini? dimana semangat juang yang mengalir pada sel darah mahasiswa itu? seberapa lama lagi kalian memilih tidur, menutup mata, dan telinga dari dera yang diderita tanah ibu pertiwi ini?.
Saya berharap tidak, mahasiswa hanya terlampau pulas dalam tidurnya, hanya terlupa untuk sementara waktu. Ketika ia sadar dan terbangun, ia akan kembali dengan titah spirit perjuangannya lagi, yang luhur itu, yang mulia itu, perjuangan agung itu, yang selalu dibanggakan pada setiap periode lintas masa. Namun entahlah, saya sendiri pun masih kerap pesimis ketika melihat realitas yang ada.
Kini, marilah sejenak kita membuka mata akan realita yang teramat nista, menerima cuma-cuma fakta dengan tanpa menyangkalnya. Menelan mentah-mentah kenyataan pahit tanpa kita berusaha memuntahkannya, tentang bagaimana keadaan para kaum muda yang menamai dirinya dengan sebutan mahasiswa.
Mahasiswa sebagai Budak Gengsi dan Sistem Zaman
Kadang kala terasa begitu memalukan, atau bahkan sering kali kiranya, menerima ketetapan sebagai seorang mahasiswa dengan kepantasan yang seolah dikhianati, betapa tidak, cobalah tengok apa yang kini menjadi fokus perhatian kita. Kita masih seringkali terjebak dalam ilusi standar hidup ideal yang diciptakan oleh media, yang dengan sengaja ditujukan demi kepentingan komersil, dimana posisi kita diletakan sebagai komoditas.
Mahasiswa terjerumus atau mungkin sengaja dijerumuskan ke dalam budaya hidup yang glamour, yang mana dalam kasus ini “media” sangatlah berperan aktif. Oleh sebabnya, kini kaum muda dan mahasiswa khususnya lebih memilih untuk bergemelut dalam panggung hidup yang serba prestisius, mulai dari merk HP yang tidak boleh tidak lambang apel tergigit, pakaian yang harus stylish. Tas branded produk terbaru, kendaraan yang mesti terkesan mewah, model rambut yang modis dan kekinian hingga sesepele bentuk alis.
Saya lebih senang menyebutnya budak gengsi berkedok penghargaan diri, mengarustamakan eksistensi demi menggapai popularitas daripada esensi dan subtansi keberadaanya. Disisi yang lain, ada mereka yang tidak perduli dengan hal tersebut, berbeda dari yang sebelumnya. Namun sama-sama besikap apatis akan setiap kebijakan dan polemik yang menuntut nalar kritis.
Jika yang sebelumnya saya menyebutnya dengan budak gengsi yang kali ini sebut saja ia adalah budak sistem, dengan ambisi besar mendapat nilai sempurna, lulus cumlaude, melanjutkan S2 dengan beasiswa. Bahkan dengan angan sampai pada jenjang doktor, lalu pada akhirnya apa? Menjadi penerus yang meng-anak cucukan sistem yang cacat. Hingga rela menerima setiap regulasi yang serta merta condong kepada kepentingan yang diatas, dengan kata lain menunaikan kewajiban dengan merelakan haknya.
Tipologi Mahasiswa Sekarang
Mengerikan melihat apayang terjadi kalau ambisi dan harapan, tumbuh dan berkembang dalam benak orang idiot. Keduanya sama-sama sampah dan tak jauh beda dungunya. Pertama terlampau meterialis, yang jikalau sampai pada titik buntu beberapa diantarnya akan rela mengeksploitasi diri demi pemenuhan gengsi yang sejatinya hanya nafsu tak berkesudahan.
Kedua, ada mereka yang kelewat individualis, berkedok seorang akademis baik nan taat, ketika diajak berpusing akan problematika keadaan luar, ia akan membalas dengan kalimat yang begitu identik dengannya “maaf ya… lagi fokus belajar, lagi ga pengen ngurusin yang macam-macam” Jika kita logikakan sekali lagi narasi diplomatis yang ia utarakan kita akan sampai pada sebuah konklusi, yang mana ia hanya ingin mengatakan bahwa tidaklah ada yang lebih penting ketimbang goals yang dimilikinya, hanya saja secara subtil ia sampaikan.
Hal ini begitu pecundang, pada beberapa kasus penggunaan tameng keagamisan menjadi hal yang mereka halalkan, ketika agama yang seharusnya menjadi ujung tombak iman akan keyakinan untuk menegakan yang haq dan menumbangkan yang bathil, malah diperdaya gunakan sebagai tabir demi menutupi kepecundangan yang mereka miliki.
Betapa suatu kekonyolan yang fasih dan mendarah daging melihat lakon mahasiswa saat ini. Meratap tak percaya sekalipun tidaklah berarti apa-apa lagi kiranya kini. Lalu sekarang, kemanalah segala persalahan mesti bermuara. Tuntutan militansi yang ditujukan pada kita, apakah menjadi suatu yang pantas jikalau harus terganti oleh tuntutan zaman perihal masa depan dan sejatinya saja kita pun tidak tau pasti.
Kritik atas Sistem Pendidikan
Saya berasumsi bahwa sistem pendidikan secara sengaja menciptakan skenario untuk merekayasa tendensi psikologis mahasiswa. Membabi buta mahasiswa dan terus disodorkan tentang bagaimana kriteria mahasiswa yang sepatutnya yang ideal menurut sistem, melalui berbagai program dan petuah dosen dengan semua dalihnya, seperti: agar tidak membebankan biaya pendidikan terlalu lama kepada keluarga dirumah. Maka dari itu biaya pendidikan konsisten naik menjulang tinggi dari tahun ke-tahunnya, tidak peduli berapa persen itu, padahal nyatanya kita pun secara signifikan tidak pernah benar-benar merasakan perubahan.
Selanjutnya melalui berbagai program kuliah cepat, mari coba kita cermati dengan seksama. Sekarang ini kuliah lama di diskreditkan dan mendapat diskriminasi sebagai sebuah stigma negatif. Menjadi beban moril tersendiri dan aib di masyarakat, terlebih lagi ditambah dengan adanya regulasi masa studi. Secara tidak langsung mengisyaratkan kepada segenap entitas mahasiswa bahwa berkuliah adalah berwisuda dengan tepat waktu.
Rekayasa Skenoria Sistem pada Mahasiswa
Bukankah kita semua sepakat bahwa belajar tiada memiliki keterpautan atas waktu dan tidak mengenal masa? bukankah perlu kita sadari bahwa semua ini tak lain dan tak bukan hanya membulatkan dan memantapkan stigma negatif dari berkuliah lama? bukankah kita semua paham bahwa interval waktu tidak berkausalitas dengan esensi dari pendidikan?
Bukankah kita perlu bertanya-tanya apakah gerangan yang dimaksud dari semua ini kawan-kawan? kuliah yang kian ruwet, mahasiswa yang dibuat hektik. Mulai dari nilai yang dipersulit, administrasi yang diperumit hingga dengan tarif semester yang semakin melangit. Berangkat dari berbagai rangkaian problematika skenario pendidikan dalam perkuliahan itu tadi, para mahasiswa disuguhkan sebuah formulasi yang picik nan licik yang dimaksudkan sebagai antisipasi atau mungkin anti-bandingnya, yaitu melalui program kuliah cepat, yang terkesan praktis, yang sebenarnya juga sama berbelit-belitnya.
Saya pikir ini semua dimaksudkan agar mahasiswa menjadi tidak peduli akan keadaan sekitar dari yang sepele hingan krusial. Dengan menjadikan mahasiswa hanya berfokus pada kepentingan pribadinya. Lagi-lagi, hal ini semua saya katakan sebagai suatu skenario rekayasa, skema yang teramat sangat cerdik, melalui sistem pendidikan kita para mahasiswa digiring menjadi individu yang pragmatis, individualis, apatis dan dalam beberapa kasus terlampau kapitalis.
Kita semua tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Menjadi barisan sarjana yang melanggengkan penindasan dan deretan kesenjangan. Karena pada akhirnya algoritma yang sama akan terjadi kembali, lagi dan lagi, kalau tidak kita yang mendobrak konstruksi sistem yang anomali ini, maka ini semua hanya akan menjadi repitisi tak berkesudahan, lalu kembali terlupakan, di-lumrahkan, di-lazimkan, dan terakhir meng-amini kesengsaraan sepanjang masa.
Saatnya Mahasiswa Merapatkan Barisan
Mahasiswa, kaum intelektual merupakan salah satu bagian dari golongan terdidik negeri ini. Tidak semua dari kita yang menyandang gelar sebagai mahasiswa mampu merepresentasikan standar-standar ideal yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa itu sendiri. Ironis, ketika kita mangetahui fakta tentang keadaan atau kondisi yang terjadi sekarang, mungkin semacam sebuah pengkhianatan bagi keagungan dari gelar mahasiswa yang kini kita sandang.
Sepertinya ada baiknya jika kita mengambil sedikit waktu, beberapa detik saja untuk khawatir. Khawatir akan tanggung jawab yang merupakan beban dari afiliasi kita. Agent of change begitu yang kita sebut, lalu bagaimana dengan kepantasannya, apakah ketetapan itu sudah tepat dengan kita semua?.
Ambil napas panjang lalu hembuskan perlahan, sebentar saja, sebentar waktu untuk kita berpesimis akan peran kita sebagai seorang mahasiswa. Sebelum kita kembali menata diri, merapikan kerah baju, atau meniup ujung menara hijab agar siap kembali berjuang dimedan perang. Mari memperjuangkan nilai-nilai intelektualitas dan moralitas yang luhur, yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa. Menolak tunduk dan bangkit melawan karena diam adalah kehancuran dan mundur adalah pengkhianatan.
“Sudahi semua kekhawatiran dan kesangsian atas Gerakan Mahasiswa. Hanya mereka yang sanggup membawa bangsa ini menemukan harapannya. Bukti sejarah telah meyakinkan pada kita: semua penguasa jatuh dinegeri ini oleh tekanan mahasiswa. Kini saatnya Gerakan mahasiswa bangkit kembali. Menyuarakan apa yang saat ini hanya jadi keresahan dan keluhan. Tuntut kedaulatan yang telah lama hilang. Rebut kekuasaan dari komplotan para penakut. Satukan kembali kekuatan mahsiswa sebagai pendobrak kemapanan dan penghancuran tirani. Kelak sejarah akan menulis: Gerakan mahasiswa kembali merobohkan kekuasaan yang mengkhianati rakyatnya.”
– kutipan dalam Buku “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa”