Oleh: Rambo

Lahir dipelukan Sang Fajar

“From Palu, My Story Begins”

ini adalah awal dari sebuah petualangan,  abadi dalam gambar peristiwa yang akan jadi kenangan. dalam dekapan fajar Kota Palu, dipeluk sunyi di depan rumah sakit ibu dan anak, lahir seorang anak yang bertubuh mungil, dengan tangis lalu menggigil. Sekali lagi, ini awal dari sebuah petualangan. Nyaris dilahirkan di rumah sakit, tapi kenyataan selalu punya warnanya sendiri, maka lahirlah tubuh mungil itu di dalam kendaraan mobil tepat di depan rumah sakit. Itulah sebabnya, ada nama kecil yang dinobatkan padanya, “Topanjayo” yang dalam bahasa Suku Kaili Ledo yang mendiami wilayah teluk Palu berarti penjelajah, pengembara.

“Topanjayo, dengan harapan, kelak akan menjadi pengembara, menjelajahi sudut-sudut Indonesia,” Kata Wanita cantik yang melahirkannya.

Perkataan adalah doa, apalagi diucapkan oleh sosok perempuan yang dengan ketulusan hati, mengandung lalu melahirkan. Terbukti, sudut-sudut Indonesia itu di usia topanjayo yang masih terbilang muda, hampir semua sudah terjamah olehnya. Hanya tersisa satu sudut, yaitu sudut paling timur Indonesia, Pulau Cendrawasih.

Dibesarkan di “Surga” lalu diberi nama Yojo  sebagai bentuk terima kasih orang tua kepada sang pencipta karena telah dititipkan sosok mungil yang kelak menjadi tombak perjuangan keluarga. “Surga” itu adalah singkatan dari nama jalan tempat di mana ia tinggal. Sebab itulah, untuk melengkapi namanya yang hanya satu kata itu, disempurnakanlah menjadi dua kata, Yojo Baraka, yang berarti anak laki-laki yang berkah.  Si paling cepat menerka aroma, enggan untuk berkacamata, sebenarnya kacamata yang enggan padanya karena susah tegak dan nyangkut, ya hidungnya pesek. Tak mau menggantung cita-cita setinggi-tingginya, takut tidak bisa diambil lagi karena tinggi badannya tidak lebih dari seratus lima puluh senti.

Kalau soal fisik, tak mau berbisik-bisik, apa adanya saja. Hidup dalam keterbatasan, bukan hanya fisik, mungkin juga mental, Yojo mencoba keluar dari zona keterbatasan itu. Kemudian mengikrarkan diri sebagai orang yang bebas dan terbang bersama kreativitas untuk menanggalkan batas-batas pengelihatan orang terhadapnya.

Tentara di atas Awan

Berjalannya waktu, membawa manusia ke dalam angan dan cita-citanya masing-masing, tidak terkecuali Yojo. Tumbuh di kaki  gunung yang kerapkali dihantam dengan berbagai pengkerdilan. Dianggap tidak punya masa depan, tidak berhak mengenyam pendidikan, bahkan tidak berhak untuk menjadi sukses. Pengkerdilan itu Sudah menjadi makanan pokok dari pagi hingga petang. Namun, sebagai seorang manusia, yang dalam Al-Qur’an disebutkan punya derajat yang sama di mata Allah, Yojo menjadikan segala bentuk pengkerdilan itu sebagai satu kekuatan baru. Layaknya Nietzsche, seorang Filsuf dan Filolog Jerman yang menjadikan segala benturan dalam hidupnya termasuk rasa sakit yang ia alami sebagai satu inspirasi dan motivasi untuk melahirkan karya-karya yang di kemudian hari bisa mengubah dunia.

Tentara, ya, itu adalah cita-cita Yojo. Kurang lebih ketia ia berusia 11 tahun, dengan tegas mengutarakan cita-citanya itu di sebuah panggung acara wisuda tempat ia belajar membaca Al-Qur’an. Sangat berani dan lantang!. hal yang mengejutkan adalah respon tawa yang menggelegar dari mulut-mulut mereka yang merasa punya. memenuhi ruang tenda terowongan yang panjanganya kurang lebih lima meter. Rasa-rasanya tidak keberetan jika tawa itu merujuk pada postur tubuhnya yang sangat mungil yang tidak memungkinkan untuk menjadi tentara. Lagi-lagi sangat disayangkan, ternyata gelegar tawa itu dilanjutkan dengan kata yang untuk anak usia 11 tahun sangat tidak baik bagi kesehatan mental.

“memangnya mampu, punya apa untuk bisa menjadi tentara?” Suara sumbang dari pojok tenda.

wisuda yang bagi banyak orang adalah momen bahagia, tapi tidak bagi Yojo yang pada waktu itu  dalam keadaan terpuruk, kedua orang tuanya pisah ditambah lagi perkataan yang kurang mengenakkan, Hanya bisa berdiri tegak dengan pandangan kosong di situasi-situasi sulit itu. Sejak saat itu, Yojo menganggap tentara adalah cita-cita yang utopis, sebagaimana Plato dengan pemikiran alam idenya yang beranggapan bahwa yang nyata itu hanya ada di sana, di alam ide.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here