Oleh: Andi Rezti M*

Terlalu banyak memaknai arti guru. Guru adalah jembatan menuju masa depan. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Guru memberi asa tanpa putus asa. Bagiku, guru adalah seseorang yang membantuku mencintai dan mengenal Rabbku. Sebagai seorang santri, guru sangat memiliki kesan tersendiri. Sedangkan di pondok pesantren, seorang guru berperan ganda. Tak hanya sebagai guru, namun menjadi orang tua bagi para santrinya.

“Nak, pondok sepi ndak ada kalian semua. Ibuk rindu.”

Banyak sekali kata yang kujumpai tatkala sedang melakukan pembelajaran online “Rindu” salah satunya . Rindu itu kian hari akan terus meggerogoti jiwa. Memaksa ingin segera berjumpa. Sedikit nada sendu mengakhiri kalimat rindu. Sebuah pengorbanan yang telah diperjuangkan. Tak ada yang pernah tahu apa yang telah dilewati para guru di tengah pandemi.

Seringkali kami mengeluh dan berselisih paham antar kawan. Namun, guru tak mengerti dan kadang tak pengertian. Selalu akan ada yang kurang. Perlu kita pahami bahwa guru juga manusia, sama seperti kita. Kita tak bisa menuntut banyak. Yang saat ini kita butuhkan adalah sebuah relasi antara guru dan siswa yang saling memahami dan saling mengerti. Yang ku harapkan pula tuk saat ini.

Pekerjaan seorang guru adalah pekerjaan yang teramat mulia. Tak semua orang dapat bersabar mendidik seorang anak. Buktinya saat pandemi ini tak semua orang tua di rumah dapat menangani pembelajaran anak-anak mereka sendiri. ingat sebuah video yang viral tatkala seorang ibu rumah tangga sedang membantu anaknya menghafal Pancasila. Terlihat sangat kesulitan sekaligus menggelikan. Dari video tersebut, kita telah mengetahui bahwa menjadi guru memang tak semudah yang kita kira. Bukan hanya mendidik, namun juga membentuk.

Kawan apa kalian tahu? Kini, guru tak hanya soal profesi dan pekerjaan. Menurut Warsono dalam jurnalnya “Guru : Antara Pendidik, Profesi, dan Aktor Sosial”. Ia menuturkan bahwa saat ini guru pun harus menjadi aktor sosial. Aktor yang sedang berdialog menghadapi realita sosial. Menemukan jalan atas sebuah permasalahan pendidikan. Ekspektasi sosial dari masyarakat untuk mewujudkan cita-cita guru ideal semakin menambah tuntutan seorang guru. Bukan hanya soal pekerjaan dan pendapatan. Namun, panggilan jiwa dan kesadaran humanis. Tuntutan ini pun semata-mata tak akan merugikan profesi seorang guru. Justru membuat guru memiliki tambahan gaji. Gaji ekonomis (uang), gaji teologis (amal ibadah), dan gaji sosial (kesan yang baik dari siswanya dan mungkin didoakan).

Aku ngerti, kok. Pandemi ini membuat kita sama-sama susah. Mungkin selama ini, pernah terbersit dalam pikiran kita bahwa tugas yang guru berikan teramat banyak. Sangat menyusahkan, bukan? Namun, terkadang menumpuknya tugas itu karena memang salah kita yang sering menunda mengerjakannya. No offense ya! Jika guru diberi pilihan, guru pun tak ingin memberi kita tugas sekolah. Satu hal yang aku sadari, tugas yang diberikan kepada kita menjadi boomerang bagi kita sendiri. Keterbatasan waktu dalam pembelajaran, membuat kita harus mengisi kolom nilai dengan effort yang lebih.

Segala keluhan kita terkadang tanpa alasan. Hanya ingin membela diri. Mencari pembenaran yang fana. Kita  memiliki urusan lain, guru pun memiliki urusan yang lain. Tak melulu selalu mengurusi kita. Guru juga bertanggung jawab dengan keluarga mereka. Kita pun bertanggung jawab atas tugas rumah kita. Jika antar siswa dan guru saling mengerti dan memahami. Maka, perselisihan di tengah pandemi tak akan terjadi. Tak akan ada pula yang saling menyalahkan. Mencoba untuk berkaca. Bertanya pada diri, “Apa yang salah dari diri ini?”. Sekali lagi, ini semua bukan tentang kondisi namun tentang pribadi.

Hari guru kali ini harus kita maknai sebagai ajang saling memperbaiki diri. Hari guru sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa guru yang telah banyak berkorban demi pembentukan karakter dan moral bangsa. Menjadi seorang guru memiliki dua tanggung jawab. Tanggung jawab atas kita sebagai siswa dan tanggung jawab atas ilmu yang mereka berikan kelak nanti di akhirat. Jatuh bangun, sambil tertatih-tatih, kepalanya tak pernah tunduk. Banyaknya masalah tertutupi oleh senyumnya yang merekah.

Terakhir, kucapkan selamat untuk teman-temanku yang sedang menghadapi Penilaian Akhir Semester. Para guru telah begitu banyak berperan untuk kita, jadi jangan sampai mengecewakan mereka, dengan berbuat curang dan tidak jujur. Tepat waktu dan selalu jaga kesehatan. Kita pasti bisa. Bersabarlah, kawanku. Tak lama lagi, akan kita jumpai senyuman merekah itu, ketika mereka menyambut kita kembali.  InsyaaAllah wa bi idznihi.

*Penulis merupakan santri ponpes Al-Mujahidin sekaligus aktivis IPM SMA Muhammadiyah 2 Balikpapan.

Editor: Imron Alfaruq

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here