JANGAN SEBUT KATROL NILAI ADIL

Oleh : Fahri Friyanda (Mahasiswa Prodi PAI UMS)
Pernahkah anda merasa nilai raport tinggi. Tapi sebenarnya tidak begitu paham dengan materinya. Atau, pernahkah anda melihat raport anak yang selalu tinggi nilainya. Lalu bertanya, nak apa yang kamu dapatkan dari mata pelajaran ini. Mereka tidak bisa menjawab dengan baik. Bahkan kebingungan dan diam tidak bisa menjawab.
Dikutip dari BPS, biaya pendidikan 19 jt per-tahun untuk perguruan tinggi. Cukup mahal dengan fakta sebagian besar pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia 3,8 jt per-bulan. Tentunya dengan biaya yang mahal ini. Kita menginginkan hasil yang maksimal.
Katrol nilai. Fenomena yang marak terjadi saat ini. Fenomena inilah latar dibalik terjadinya kasus tadi. Nilai bagus hanya tercantum diatas kertas. Tapi siswa tidak paham yang mereka pelajari.
Katrol nilai merupakan tindakan merubah nilai ujian siswa menjadi lebih tinggi. Nilai-nilai hasil ujian siswa dinaikkan dengan sedemikian rupa. Sehingga bisa mencapai nilai minimal. Misalnya dari yang awalnya 40 bisa menjadi 77. Semua siswa menjadi lulus. Padahal tidak sesuai dengan standar yang harus di capai.
Tuntutan untuk meluluskan anak, serta mengejar akreditasi sekolah. Sehingga menuntut siswa untuk mendapatkan nilai tinggi. Alih-alih mengevaluasi dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Namun, justru mencari jalan pintas dengan katrol nilai.
Katrol nilai bukan hanya soal angka dalam raport siswa. Ada hal yang lebih penting dibalik itu. Evalusi pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik. Karena dengan katrol nilai akan menyebabkan kabur dalam melihat kekurangan kualitas pembelajaran.
Pendidikan menjadi fokus dalam mendapatkan nilai tinggi. Sehingga jika ada siswa dengan nilai yang rendah. Bukan dengan meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun dengan katrol nilai. Sehingga tak heran jika kualitas pembelajaran tidak meningkat.
Dulu siswa belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai tinggi. Karena tuntutan orang tua untuk naik kelas dan rasa malu ketika mendapatkan nilai rendah. Namun, sekarang siswa yang tidak serius belajar pun mendapatkan nilai tinggi. Bisa disimpulkan bahwa katrol nilai juga akan melemahkan motivasi belajar siswa. Karena dengan usaha minimal kini bisa mendapatkan nilai cukup memuaskan.
Akhirnya lulusan menjadi kurang kompeten dalam bidangnya. Walaupun nilai ataupun raportnya tercatat dengan nilai tinggi. Namun hal itu tidak sebanding dengan kompetensi dan pemahaman siswa. Tentunya ini akan menyebabkan siswa kalah saing dalam dunia kerja.
Hal ini jika dibiarkan dan terus dilakukan akan menjadi sebuah budaya. Sehingga seakan katrol nilai adalah hal wajar. Padahal ini akan menyebabkan budaya ketidakjujuran akan terinternalisasi dalam diri siswa. Tentunya sebuah hal fatal jika generasi penerus bangsa terpapar budaya ini.
Pendidikan adalah proses pembentukan manusia. Dalam undang – undang disebutkan; tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat cakap, berilmu, kreatif, mendiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 tahun 2003. Pasal 3).
Sesuai amanat UU, pendidikan bukan hanya soal nilai tinggi. Namun juga bagaimana cara untuk mengembangkan diri siswa secara holistik. Baik dalam akademik, sosial maupun keagamaan. Sehingga seharusnya pendidikan bisa mencerminkan tindakan yang mengarah untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebuah ironi bahwa katrol nilai di anggap sebuah hal yang adil. Bahkan mengatakan sebuah rahmah dari guru. Menggunakan bungkus agama supaya fenomena ini terlihat benar.
Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Misalkan gaji seorang pekerja dihitung berdasarkan jumlah barang yang diselesaikan. Maka seharusnya begitu juga dalam penilaian siswa. Nilai siswa ditentukan berdasarkan hasil usaha siswa. Maka tidak benar jika menyebut bahwa katrol nilai adil. Karena katrol nilai bertentangan dengan pengertian adil itu sendiri.
Disamping itu katrol nilai juga bertentangan dengan nilai nilai IsIam lainnya. Seperti : adala dan amanah. Katrol nilai mencerminkan lunturnya nilai kejujuran dalam pendidikan. Kejujuran adalah kesesuaian antara perkataan, perbuatan dan hati dengan kenyataan dan kebenaran. Maka pendidikan yang mencerminkan sikap jujur seharusnya tidak meng-katrol nilai. Bayangkan jika ketidakjujuran terinternalisasi dalam siswa. Tak heran jika kurupsi merata di Indonesia.
Amanah bisa dikatakan sebagai kepercayaan yang diberikan kepada seseorang untuk dijalankan secara baik. Maka amanah dalam pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik secara holistik.
Jika ada masalah dalam pembelajaran, yang tercermin dalam nilai ujian yang kurang bagus. Perlu ada perbaikan dalam kualitas pembelajaran. Sehingga kompetensi dan kemampuan siswa meningkat seiring dengan peningkatan kualitas pembelajaran. Bukan mencari jalan pintas dengan katrol nilai. Padahal katrol nilai tidak menyelamatkan akar permasalahan nilai yang kurang bagus.
Katrol nilai harus dihapuskan dari sistem pendidikan. Ini adalah masalah serius yang menimbulkan masalah lainnya. Katrol nilai bukanlah solusi yang menyelesaikan akar masalah nilai ujian siswa. Dari katrol nilai malah muncul bebera permasalahan lagi. Seperti lulusan yang kurang kompeten, motivasi menjadi menurun bahkan stagnasi pendidikan.
Sudah jelas katrol nilai tidaklah adil. Dampak yang ditimbulkan pun serius. Bukan hanya penurunan kompetensi lulusan. Bahkan menggadaikan kejujuran hanya untuk terlihat nilai siswanya tinggi.
Evaluasi pembelajaran akan berjalan dengan baik jika data nilai juga valid. Sehingga jelas bahwa data dari katrol nilai tidak valid. Imbasnya adalah pembelajaran seakan terlihat baik baik saja. Sehingga tidak ada perbaikan dalam kualitas pembelajaran.
Menanamkan nilai integritas dalam pendidikan. Hal ini supaya dalam dalam pengambilan kebijakan bisa lebih dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga pembelajaran bukan hanya formalitas. Pembelajaran dipandang sebagai sebuah amanah yang harus diselesaikan dengan sebaik mungkin.