Menjaga Nalar, Merawat Nilai: Suara Baik di Tengah Riuh Demokrasi

Oleh: Nur Sita, ST, Anggota Nasyiatul ‘Aisyiyah Kepulauan Sangihe
Di ruang publik hari ini, sering kali yang terdengar bukanlah yang paling benar, tapi yang paling nyaring. Suara kebaikan, yang berangkat dari niat tulus dan akal sehat, sering kalah oleh suara yang bising, sensasional, bahkan penuh provokasi. Bukan karena kebaikan itu salah arah, tapi karena ia tak cukup cerdas dalam menyusun kata dan langkah.
Kondisi ini memperlihatkan sebuah ironi. Saat orang-orang yang berpikir jernih dan waras memilih diam atau menjaga diri dari keramaian opini, justru yang paling lantang mendominasi ruang wacana. Dalam banyak kasus, mereka yang niatnya baik malah tak terdengar, tenggelam di antara suara keras tanpa dasar atau logika yang matang. Mengapa ini terjadi?
Ketika Niat Baik Tak Cukup
Menjadi pribadi yang bernilai dan punya komitmen terhadap kebaikan publik tidak cukup hanya bermodal semangat. Ia butuh kapasitas berpikir sistemik, memahami tata kerja negara, memahami proses pembuatan kebijakan, hingga mampu berbicara dalam bahasa yang relevan dengan realitas publik.
Kebaikan hati tanpa arah, tanpa logika, tanpa strategi—mudah menjadi emosi yang meledak-ledak, lalu padam karena kelelahan. Ia hanya menjadi teriakan di lorong-lorong digital atau mimbar-mimbar sesaat, tanpa meninggalkan dampak kebijakan nyata.
Dalam konteks negara demokratis, suara publik memang penting, tapi lebih penting lagi adalah suara yang membawa data, argumentasi, dan rasionalitas. Demokrasi bukan sekadar ajang berebut tepuk tangan atau adu sindiran di media sosial. Ia adalah ruang kolaborasi pikiran, nilai, dan solusi konkret.
Peran Ilmu dan Riset dalam Menjaga Nilai
Agar nilai-nilai luhur tetap hidup dalam kebijakan publik, kita butuh lebih dari sekadar opini moral. Kita butuh pendekatan berbasis ilmu. Riset dan data tidak boleh hanya menjadi pajangan akademik atau wacana seminar. Ia harus hadir sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan yang menyentuh hidup banyak orang.
Dalam bukunya The Fifth Risk (2018), Michael Lewis menjelaskan bahwa banyak kebijakan publik terbaik lahir bukan dari ide politisi yang populer, tapi dari birokrat dan ilmuwan yang bekerja dalam diam, menggunakan data, logika, dan empati. Hal serupa terjadi dalam konteks kita: jika ingin kebaikan menjadi nyata, maka pendekatan ilmiah harus menjadi panglima.
Dengan berpikir jernih dan bicara terbuka, menggunakan argumen yang logis dan bahasa yang merata, kita bisa membawa nilai kebaikan menembus sekat-sekat perbedaan. Karena kebaikan bukan milik satu golongan, satu agama, atau satu warna politik. Ia adalah milik bersama.
Kebijakan yang Baik Tak Lahir dari Teriakan
Sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak ruang kebijakan publik yang diracuni oleh suara paling nyaring—bukan paling benar. Padahal, kebijakan publik yang adil dan berpihak kepada banyak orang sering kali lahir dari perdebatan yang kompleks dan mendalam, bukan dari siapa yang paling cepat menyerang atau paling keras berteriak.
Kita butuh orang-orang yang mau mendengar sebelum berbicara. Yang membawa logika dan data ke ruang keputusan, dan bukan hanya ego atau ambisi. Dibutuhkan keberanian untuk berpikir jernih, bahkan ketika dikepung badai opini atau tekanan kekuasaan.
Menurut riset dari World Bank (2021), kebijakan yang partisipatif dan berbasis data cenderung menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih baik dibanding kebijakan populis yang dibentuk dari tekanan politik jangka pendek. Di sinilah pentingnya suara-suara waras untuk tetap bersuara, meski kadang terasa tidak populer.
Namun, kita tidak boleh pesimis. Saat ini, semakin banyak anak muda, akademisi, jurnalis, dan bahkan politisi yang mulai sadar pentingnya membawa nilai dalam kerja kekuasaan. Mereka hadir bukan hanya membawa retorika, tapi membawa substansi. Mereka tahu bahwa kekuasaan bukan soal “memaksakan iman”, tapi soal menyuntikkan nilai: keadilan, kasih, akal sehat, dan keberpihakan pada yang lemah.
Mereka menyadari bahwa kebijakan publik harus disusun bukan hanya dari sudut pandang hukum dan politik, tapi juga dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Ini adalah kabar baik. Karena perubahan besar tidak selalu dimulai dari gerakan massa, tapi dari keberanian segelintir orang untuk berpikir berbeda, dan bertindak berdasarkan nilai.
Demokrasi Bukan Hanya Tentang Kebebasan, Tapi Juga Tanggung Jawab
Akhirnya, kita harus ingat: demokrasi bukan hanya tentang kebebasan berpendapat, tapi juga tentang tanggung jawab menggunakan suara secara cerdas. Kita perlu memastikan bahwa ruang publik tidak hanya diisi oleh yang lantang, tapi juga oleh yang bernas.
Kebaikan harus mulai bicara. Ia tak boleh lagi diam. Tapi juga tak boleh bicara dengan emosi semata. Ia harus menyusun kalimat dengan data, menyampaikan gagasan dengan empati, dan mengajak berdiskusi dengan cara yang memanusiakan. Dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa ruang publik kita tidak hanya jadi ajang perebutan kekuasaan, tapi juga tempat bertumbuhnya nilai-nilai luhur.